Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian Unsur - Unsur Pertanggung Jawaban dan Sanksi Hukum Tindak Pidana



A.   Pengertian Tindak Pidana
Menurut Poernomo, Bambang Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. (Poernomo, Bambang. Asas - asas Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1992, hal 130)


Menurut Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana (strafbaar feit). Adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :

·         Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
·         Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

·         Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.

Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van den person).

Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility).

Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya.

B.   Unsur - Unsur Tindak Pidana
Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang - undangan pidana tentang perbuatan - perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi.

Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang.

Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.

Menurut Simons, unsur - unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah :

·         Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).
·         Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
·         Melawan hukum (onrechtmatig)
·         Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
·         Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).

Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar feit).

Unsur Obyektif :
a.    Perbuatan orang
b.    Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
c.    Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat

openbaar” atau “dimuka umum”.
Unsur Subyektif :
a.    Orang yang mampu bertanggung jawab
b.    Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana :

a.    Perbuatan (manusia)
b.    Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)
c.    Bersifat melawan hukum (syarat materiil)

Unsur - unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :
1) Kelakuan dan akibat
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a. Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal tersebut.

b. Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat pidana yang dijatuhkan.

Pentingnya pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur tindak pidana. Sekalipun permasalahan tentang “pengertian” unsur-unsur tindak pidana bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian perkara pidana.

Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli) ataupun dari yurisprudensi yan memberikan penafsiran terhadap rumusan undang-undang yang semula tidak jelas atau terjadi perubahan makna karena perkembangan jaman, akan diberikan pengertian dan penjelasan sehingga memudahkan aparat penegak hukum menerapkan peraturan hukum.

C.   Pertanggung Jawaban Pidana
Pertanggung jawaban pidana menurut hukum pidana positif yakni dapat dipertanggung jawabkannya dari si pembuat, adanya perbuatan melawan hukum, tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat.

Dengan mengutip pendapat Alf Ross, Roeslan Saleh memberikan jawaban bahwa bertanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.

18 Pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti untuk tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum tertentu, dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan itu. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa tindakan (hukuman) itu dibenarkan oleh sistem hukum tersebut.

Hal itulah yang mendasari konsepsi liability menurut Roeslan Saleh. Perlu juga dicatat keterangan-keterangan Alf Ross yang dikutip Roeslan Saleh lebih jauh menegaskan tentang pertanggungjawaban itu dinyatakan adanya hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat - akibat hukum yang disyaratkan.

Hubungan antara keduanya itu tidak bersifat kodrati atau tidak bersifat kausal, melainkan menurut hukum. Jadi, pertanggungjawaban itu adalah pernyataan dari suatu keputusan hukum. Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut :

Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.

Di dalam penjelasannya dikemukakan :19 Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana.

Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.

Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana-tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.

Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.

 D. Sanksi Hukum Pidana

Dalam hukum pidana, Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) membagi hukuman dalam dua jenis, yakni hukuman pokok dan hukuman tambahan:

1. Hukuman pokok terbagi menjadi:
a. Hukuman Mati :
Setiap orang memang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya sebagaimana termaktub dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Akan tetapi, hak tersebut dapat dibatasi dengan instrumen undang-undang. Hukuman mati dijatuhkan pada perkara pidana tertentu, salah satunya adalah perkara narkotika sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”).

Sedangkan tata cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (“UU 2/PNPS/1964”) yang antara lain mengatur bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer dilakukan dengan ditembak sampai mati. Penjelasan lebih lanjut mengenai hukuman mati dapat Anda simak dalam artikel Pelaksanaan Hukuman Mati Kejahatan Narkotika.

b. Hukuman Penjara :
Pidana penjara adalah pidana pokok yang dapat dikenakan untuk seumur hidup atau selama waktu tertentu. Pidana penjara selama waktu tertentu yaitu antara satu hari hingga dua puluh tahun berturut-turut (Pasal 12 KUHP) serta dalam masa hukumannya dikenakan kewajiban kerja (Pasal 14 KUHP). Pidana penjara dikenakan kepada orang yang melakukan tindak pidana kejahatan.


c. Hukuman Kurungan        
Hukuman penjara maupun kurungan, keduanya adalah bentuk pemidanaan dengan menahan kebebasan seseorang karena melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 22 KUHP. Pidana kurungan dikenakan kepada orang yang melakukan tindak pidana pelanggaran (lihat buku ketiga KUHP tentang Pelanggaran), atau sebagai pengganti pidana denda yang tidak bisa dibayarkan [Pasal 30 ayat (2) KUHP].

Penjelasan selengkapnya mengenai hukuman penjara dan hukuman kurungan dapat Anda simak dalam artikel Perbedaan Pidana Kurungan dengan Pidana Penjara dan Pengertian Pidana Kurungan, Pidana Penjara, dan Pidana Seumur Hidup.

d.   Hukuman Denda
Hukuman denda dikenakan terhadap pelanggaran yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan Pasal 30 ayat (2) KUHP, jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.

e.   Hukuman Tutupan   
Pidana tutupan merupakan salah satu bentuk pidana pokok yang diatur dalam Pasal 10 KUHP. Penambahan pidana tutupan ini didasarkan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (“UU 20/1946”).

Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan. Demikian yang disebut dalam Pasal 2 ayat (1) UU 20/1946. Penjelasan selengkapnya mengenai hukuman tutupan dapat Anda simak dalam artikel Mengenai Hukuman Tutupan.

2. Hukuman tambahan terbagi menjadi:

a.  Pencabutan beberapa hak yang tertentu;
b.  Perampasan barang yang tertentu;
c.  Pengumuman keputusan hakim.

Sebagaimana antara lain yang pernah dijelaskan dalam artikel Pidana Pokok dan Tambahan, KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa hukuman tambahan tersebut terbatas pada 3 (tiga) bentuk di atas saja.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU Korupsi”) misalnya, diatur juga mengenai hukuman tambahan lainnya selain dari 3 bentuk tersebut, seperti: pembayaran uang pengganti yang besarnya sama dengan harta benda yang dikorupsi, penutupan perusahaan, dan sebagainya.

Pada prinsipnya memang pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara berdiri sendiri tanpa pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah merupakan tambahan.

Source :

Posting Komentar untuk "Pengertian Unsur - Unsur Pertanggung Jawaban dan Sanksi Hukum Tindak Pidana"