Pahlawan Nasional - Perjuangan Patuan Na Lobi Ritonga Melawan Penjajah Belanda
Mengenang Perjuangan Patuan Na Lobi Melawan
Penjajah Belanda Pada abad 19 terdapat sebuah kampung bernama Gunung Tinggi,
yang terletak di pinggir Aek Bilah ke arah Rantau Parapat. Dahulu kampung yang
kecil dan terpencil ini (sekarang masuk wilayah Kecamatan Dolok Sigompulon,
Kab. Padang Lawas Utara, Prov. Sumatera Utara, Indonesia) merupakan pusat kerajaan
Luat Gunung Tinggi.
Kerajaan ini dipimpin oleh popparan Ritonga,
mulai dari Patuan Bosar, dilanjutkan putranya Sutan Humala Pandjang Uhur dan
seterusnya dilanjutkan Patuan Na Lobi. Walau sudah lama kampung ini
ditinggalkan, namun sampai sekarang nama luat Gunung Tinggi masih tetap
dilestarikan, sebagai nama wilayah adat di perbatasan Kab. Paluta dengan Kab.
Labuhan Batu.
Pada tahun 1830-an, Kolonial Belanda
menerapkan pengutipan blasting (pajak) yang tergolong tinggi kepada seluruh
rakyat di kampung - kampung daerah Padang Lawas. Raja - raja Luat di sana
menilai kebijakan kolonial tersebut sangat memberatkan, lalu ada tiga Raja Luat
yang bersepakat untuk menolak pengutipan blasting tersebut kepada rakyatnya.
Ketiga Raja Luat dimaksud adalah Raja Luat
Gunung Tinggi, Raja Luat Portibi dan Raja Luat Hadjoran. Rakyat di tiga luat
ini menyambut positif keputusan raja mereka dan siap berhapadan dengan penjajah
dan konco - konconya. Sikap perlawanan Raja - raja Luat kepada panjajah Belanda
ini bermula pada tahun 1835. Pada waktu itu, raja yang berkuasa di Gunung
Tinggi adalah Sutan Humala Panjang Uhur.
Bersambung……..
Kalau dilihat dari huta - huta Ritonga di
kiri-kanan Sungai Aek Bila, dapat dikatakan bahwa sebagaian besar warga Ritonga
jauh dari jangkauan penjajah Belanda. Wilayah - wilayah kekuasaan Raja - raja
Luat Ritonga - seperti Tapus, Tolang dan Gunung Tinggi - adalah wilayah yang
"merdeka" (dalam tanda petik) dari intimidasi kolonial Belanda.
Jadi, sesungguhnya panggilan hati nurani lah
yang mendorong Raja - raja Luat Ritonga ikut-serta dalam perjuangan melawan
penjajah.
Sejak awal, memang raja-raja Ritonga sudah
menunjukkan sikap antipati dan permusuhan terhadap kolonial Belanda. Selain
tidak mau membayar blasting dan kerja rodi sejak tahun 1830-an, Raja - raja
Luat Ritonga tidak mau tunduk pada aturan kolonial dan berusaha untuk
melawannya.
Ada tiga catatan Neumann (seorang ahli
Belanda) yang dikutip di sini sebagai bukti perlawanan Raja - raja Ritonga
terhadap Belanda:
1. Pada
Desember tahun 1864, Gubernemen Belanda di Padang Sidimpuan mengundang
raja-raja Luat dari seantero Padang Lawas dan Sipirok untuk membahas pembagian
wilayah raja-raja Luat. Ada beberapa raja Luat yang tidak mau mengikuti rapat
ini, termasuk Raja Ritonga dari Luat Tapus dan Luat Gunung Tinggi. Walau pun
tidak dihadiri, ternyata Belanda tetap mengakui eksistensi Luat Tapus dan Luat
Gunung Tinggi sebagai dua luat yang dikuasai Ritonga (dari 16 luat yang
dikukuhkan).
2. Pada
Agustus 1865, Tapus dan Gunung Tinggi mengumpulkan kekuatan untuk menyerbu ke
Sipirok, daerah yang sudah dijaga oleh Belanda.
3. Pada
tahun 1869, Tolang, Tapus dan Garoga merencanakan penyerbuan ke daerah yang
sudah dikuasai Belanda.
Data ini sebagai indikasi bahwa pada darah
Ritonga mengalir spirit Parisang - isang Sahorbangan yang anti pada penjajahan,
dalam bentuk apapun wujudnya.
Di Labuhan Batu, yang berdekatan dengan Luat
Gunung Tinggi, terdapat beberapa kerajaan / luat, antara lain di Huta Godang
(Luat marga Tambak), di Hadungdung (luat marga Dasopang), Kerajaan Pane di
Labuhan Bilik dan Kesultanan Kota Pinang (berpusat di Kuala Pane). Kerajaan - kerajaan
kecil ini masih "merdeka" dari intervensi kolonial, kecuali
kesultanan Kota Pinang yang sudah mengikat perjanjian dengan Belanda (sejak
Januari 1865).
Kota Pinang yang didukung oleh kolonial
Belanda cukup bangga dengan status tersebut, sehingga Sultan pun mengibarkan
bendera Belanda (warna merah-putih-biru) di halaman istananya dan memampangkan
gambar Ratu Emma dan Raja Willem III di tengah istana. Selain itu, sultan pun
diberi tanda mata berupa sebuah tongkat perak yang di hulunya terpateri lambang
kerajaan Belanda (Je Maintendrai). Itu semua merupakan simbol bagi Kota Pinang
sebagai kerajaan yang berada di bawah perlindungan pemerintah Nederland di
Eropa.
Perbedaan status tersebut memicu permusuhan antara
Kota Pinang dengan raja - raja di sekitarnya yang tidak mau tunduk kepada
kolonial Belanda. Karenanya, peperangan pun beberapa kali terjadi antara Kota
Pinang dengan Kerajaan Pane (di hilir sungai Barumun) dan antara Kota Pinang
dengan Raja Dasopang di sebelah hulu dan Raja Tambak di daerah gunung.
Pada 1871, Sultan Kota Pinang (waktu itu
disandang oleh yang Dipertuan Mustafa) bermaksud menyerang ke arah hulu Barumun
dan ke daerah Pegunungan, termasuk ke Ujung Padang dan Huristak di arah
selatan, untuk memenuhi ambisinya menguasai daerah sekitarnya. Kabar niyat
jahat ini sampai juga ke Dja Mambalai, Raja Hadundung, lalu ia pun memberi tahu
ke kerajaan-kerajaan sekutunya, sepeti ke Raja Hadjoran, Raja Sampuran na Onang
dan Raja Gunung Tinggi.
Informasi ini mendapat sambutan positif, dan
lalu disepakati "daripada diserang musuh, lebih baik terlebih dahulu
menyerang mereka". Rencana untuk menyerang Kota Pinang inipun disampaikan
ke kerajaan lain yang jauh, antara lain ke Gunung Tua.
Sebelum mengungkap sejarah penyerangan ke
Kerajaan Kota Pinang, perlu juga disampaikan di sini alasan atau faktor - faktor
yang mendorong Raja Gunung Tinggi begitu keras hendak melawan Belanda.
Pada postingan lalu sudah diutarakan bahwa
dalam tubuh Parisang - isang Sahorbangan mengalir darah ant i- penjajahan dan
semangat untuk merdeka serta siap-siaga untuk melawan penindasan. Darah inilah
yang mengalir di tubuh marga Ritonga, terlebih pada diri Patuan Na Lobi, Raja
Luat Gunung Tinggi.
Lebih dari itu, dari hasil bacaan terhadap
data sejarah, saya menyimpulkan dua faktor penting yang mendorong Patuan Na
Lobi Ritoga menjadi sangat serius melawan kolonial Belanda, yaitu :
1. Tuanku Tambusai dan sejumlah tentaranya pernah
beberapa bulan tinggal (bersembunyi) di Gunung Tinggi. Seperti kita ketahui,
bahwa Tuanku Tambusai adalah seorang Panglima Perang Tuanku Imam Bonjol yang
menjadi pemimpin perang Paderi melawan Belanda di Sumatera Barat. Tuanku
Tambusai bersama sejumlah tentera sengaja berkeliling ke Tapanuli untuk
mempengaruhi raja-raja lokal untuk berperang melawan penjajah Belanda.
Kunjungan ke Gunung Tinggi ini dapat dipastikan menjadi motivasi bagi Patuan Na
Lobi untuk mengambil bagian dalam perang melawan penjajah.
2. Patuan Na Lobi melakukan kunjungan ke Tanah Deli
(Medan sekitarnya) ketika Perang Sunggal sedang bergolak, di mana rakyat sedang
berjuang melawan kolonial Belanda. Beliau menyaksikan di sana betapa rakusnya
investor Belanda merampas tanah rakyat, bahkan tidak sedikit pemukiman yang
mereka paksa pindah untuk maksud perluasan perkebunan. Beliau juga melihat
dengan jelas betapa makmurnya raja-raja Melayu yang menjadi perpanjangan tangan
penjajah Belanda.
Tidak pelak lagi, faktor kedua ini menjadi
motivasi yang kuat bagi Patuan Na Lobi untuk bangkit berperang melawan Belanda
dan kerajaan yang dilindunginya. Seperti gayung bersambut, ketika Kerajaan Kota
Pinang ingin memperluas wilayah kekuasaannya dan Raja Hadundung mengajak raja -
raja sekitar untuk melawan Kota Pinang, dengan spontan Patuan Na Lobi
meresponnya. Lebih dari sekedar merespon, beliau juga merekrut raja-raja Luat
yang ada di Padang Lawas dan Labuhan Batu Selatan untuk bersama - sama melawan
Kota Pinang berikut pemerintah Belanda yang ada di belakangnya. Seperti akan
diutarakan nanti, atas usaha Patuan Na Lobi tidak kurang 16 luat yang ikut
serta dalam gerakan rakyat melawan kolonial ini.
Saat waktu yang disepakati untuk menyerang
sudah tiba, yaitu di bulan Juli 1871. Rombongan / pasukan perang dari Gunung
Tinggi merapat ke Huta Godang. Mereka ini terdiri Patuan Na Lobi dan adiknya
Baginda Na Lobi yang diikuti sejumlah hulubalang, antara lain; Mara Lelo
Ritonga, Ja Tabal Ritonga, Ja Lang Laut Ritonga, Ja Pinang Ritonga, dan Ja
Barayun Ritonga.
Kedatangan rombongan Patuan Na Lobi di Huta
Godang disambut dengan suka-cita dengan semangat berapi-api oleh rakyat Huta
Godang. Rombongan ini juga diupah-upah secara besar-besaran sepanjang adat.
Selain dari Gunung Tinggi, rombongan pasukan
juga ada dari Hadundung yang dipimpin oleh Ja Mambelai. Ikut bersamanya
sejumlah pasukan, di antaranya terdapat nama-nama; Ja Lempang Dasopang, Ja
Imbalo Dasopang, Ja Hurlang Dasopang dan Ja Saitan. Selain itu, masih bergabung
sejumlah pasukan dari Luat lainya, yang menurut catatan terdiri atas 16 Luat / Kerajaan.
Semua pasukan pun dipersenjatai, sekaligus mengenakan pakaian seragam berupa
baju, celana, ikat kepala dan stagen semuanya berwarna kesumba.
Setelah musyawarah dilaksanakan, di mana
Patuan Na Lobi disepakati sebagai pemimpin pasukan, rombongan pun berangkat
menuju Kuala Pane (pusat kerajaan Kota Pinang). Tepat pada 18 Jul 1871 di pagi
hari, pasukan Patuan Nan Lobi sudah berada di gerbang istana Raja Kota Pinang.
Kalaupun dengan senjata rakyat yang sederhana, namun pasukan menunjukkan
semangat yang tinggi dan bergelora, Patuan Na Lobi tampil di depan dikawal oleh
sejumlah prajurit sambil menyuarakan sorak-sorai yang bersahut-sahutan.
Pihak Kota Pinang, tentu saja, tidak tinggal
diam, pengawal-pengawal istana mencoba memberikan perlawanan, tetapi akhirnya
tidak dapat menahan serangan Patuan Na Lobi. Dalam "Geschiedenis van
Sumatera`s Oostkust" dicatat, bahwa "walaupun Kuala Pane cukup pertahanan dan
persenjataan, namun istana raja telah berhasil diserbu tanpa perlawanan yang
berarti".
Tanpa menunggu waktu lama, Patuan Na Lobi
sudah ada di halaman istana. Di sana mereka melihat Bendera Belanda sedang
melambai di atas tiang, lalu pasukan Patuan Na Lobi memotong tiang bendera
serta mengambil bendera berwarna merah-putih-biru itu sebagai barang rampasan.
Ketika memasuki pintu istana, Patuan Na Lobi
melihat Yang Di Pertuan Mustafa hendak melarikan diri, tetapi dengan cepat
peluru menembus dada sang Raja lalu tewas seketika. Selain raja, adiknya pun
Sutan Djaenal serta 6 orang pengawal lainnnya ikut tewas di tempat, ditambah
puluhan ulu balang ditangkap hidup-hidup. Sejumlah pengawal lainnya sempat bersembunyi
dan kemudian melarikan diri ke daerah Rumbia.
Dari keberhasilan itu, Patuan Na Lobi sudah
menguasai istana Kota Pinang. Lebih dari itu, ketika Patuan Na Lobi pun
memasuki balairung ia melihat gambar raja Belanda Willem III dan Ratu Emma
tergantung di dingding, lalu ia memerintah ulubalang untuk menembaknya.
Tetapi karena tidak juga berhasil, Patuan Na
Lobi tidak sabar, lalu menembaknya sehingga jatuh. Gambar yang sangat dihormati
kolonial itupun dipijak-pijak prajurit dan membiarkannya begitu saja terletak
di lantai. Tentu saja, sejumlah barang-barang berharga yag terdapat di istana
itu pun diambil dan dijadikan sebagai rampasan perang.
Setelah pasukan Patuan Na Lobi melampiaskan
amarah sejadi - jadinya di lingkungan istana, mereka kembali dengan membawa
sejumlah tawanan perang dan barang berharga sebagai tanda kemenangan melawan
musuh.
Mengenang Perjuangan Patuan Na Lobi Ritonga
Melawan Penjajah Belanda Sudah beberapa lama Kota Pinang dikuasai pasukan
Patuan Na Lobi, tetapi belum ada tanda-tanda munculnya pembalasan dari Belanda.
Kontrolir Belanda di Labuhan Batu tidak berani membalas, bahkan tidak berani
mudik ke Kuala Pane (sekedar melihat keadaan) walau pasukan Patuan Na Lobi
sudah meninggalkan tempat itu. Demikian juga Asisten Residen Belanda dari Siak,
kalau pun dia dengan sejumlah pengawal sudah tiba dari Bengkalis ke Labuhan
Bilik, tetap saja tidak berani mendatangi Kota Pinang.
Tindakan yang dilakukan oleh Asisten Residen
Locker de Bruyne adalah meneruskan laporan penyerangan itu ke Batavia. Isi
pokok laporan itu adalah bahwa situasi tidak dapat dikendalikan lagi, jalan
keluar satu-satunya supaya militer turun tangan, pasukan besar-besaran harus
didatangkan ke sana. Balasan Gubernur Jenderal Belanda terhadap laporan
tersebut muncul pada tanggal 10 Desember 1871, berisi beslit untuk melancarkan
SATU EKSPEDISI MILITER LANGSUNG KE GUNUNG TINGGI.
Pertimbangan - pertimbangan yang diambil
dalam melancarkan ekspedisi ke Gunung Tinggi itu mencakup kenyataan bahwa:
1. Pihak musuh membawa pergi bendera Belanda, berarti
musuh pada babak pertama itu sudah berhasil dengan serangannya;
2. Pihak musuh merusak potret Sri Baginda Maharaja
Willem III dan permaisuri Emma; ini merupakan pemberian malu yang tak dapat
diabaikan.
3. Sesuai perjanjian politik antara Belanda dan Kota
Pinang, di mana raja Kota Pinang telah bersumpah setia kepada Belanda,
selama-lamanya, selama ada bulan dan matahari, dan Belanda berkewajiban untuk
melindungi Raja Kota Pinang.
Tegasnya SERANGAN BALASAN harus dilancarkan,
dengan sebab utama ialah bahwa bendera harus direbut kembali dan bahwa malu
harus ditebus, karena inilah yang melibatkan langsung prestise Belanda sebagai
penjajah yang harus selamanya sukses dalam perang kolonial.
Menyusul beslit yang dikeluarkan Gubernur
Jenderal Belanda pada 10 Desember 1871, ekspedisi Belanda yang diberangkatkan
khusus dari Batavia untuk menyerang Gunung Tinggi pada tanggal 25 Desember
1871. Ekspedisi ini dikepalai F.A.J Perie dan ajudannya A.F. Vebeek, sedangkan
infantri yang diberangkatkan terdiri dari dua kompi, satu kompi Eropa yang
terdiri atas 11 opsir, 149 orang tentara, dan satu kompi lagi dari infantri
bumiputra berjumlah 118 orang di bawah komando kapten muda H.C.v.a. Demneri.
Untuk memperkuat pasukan, disertakan pula
satu detasemen artileri (barisan meriam) dengan membawa 2 mortir di bawah
komando Letnan G. d. Wijd dengan anggota. berjumlah 8 opsir Eropa dan 8 orang
bumiputra. Setiap anggota infantri dilengkapi dengan 100 patrun dan setiap
mortir artileri dilengkapi dengan 20 granat. Selain itu masih disertakan tenaga
kesehatan sebanyak 11 orang.
Pasukan ini bertolak dengan kapal
“G.G.Mijer” dari Priok dan tiba di Riau pada 31 Desember lalu kemudian singgah
terlebih dulu di Riau. Maksud persinggahan ini, selain akan dipindahkan ke
beberapa kapal perang, juga tentara akan menerima latihan lebih dahulu. Latihan
giat berlangsung selama 2 minggu barulah mereka dipindahkan ke kapal-kapal
perang yang menurut catatan resmi terdiri dari kapal-kapal perang “Marnix”,
“Banka”, “Den Briel”, Java, dan “Kapuas”.
Kapal Den Briel berangkat lebih dahulu pada
1 Januari 1972 dengan membawa Asisten Residen Locker de Bruyne dan 125 orang
tawanan perang yang akan dipekerjakan sebagai kuli, termasuk mendayung perahu
ke hulu. Turut serta pembesar sipil, Residen Schiff dari Riau, dari Siak, dan 2
orang kontrolir, Larive dan Trinite. Sementara tiga kapal lainnya berangkat 13
Januari dengan mambawa pasukan, amunisi dan perbekalan makanan untuk satu
bulan.
Jadi sampai ada 5 buah kapal perang, dengan
mana dapat dibayangkan betapa seriusnya Belanda untuk melakukan perang terbuka
terhadap Patuan Nan Lobi sekaligus untuk menamatkan riwayat Gunung Tinggi
sebagai kerajaan merdeka.
Setelah dua setengah hari di laut, armada
itupun tiba di kuala Panei dan berlabuh (sembunyi-sembunyi) di balik Pulau
Kantang. Di sini dibangun bivak dan latihan - latihan diteruskan. Di sana sudah
lebih sampai kontrolir setempat dari Labuhan Batu, d’Engelbronner dan Kaathoven
dari Asahan yang menyambut kedatangan pasukan penyerang sambil mengelu-elukan
mereka.
Pada kesempatan itu kedua pembesar Belanda
ini memberikan info terperinci seperlunya. Dalam kemungkinan yang masih bisa
dilayari oleh kapal-kapal angkatan laut itu diteruskan juga masuk ke sungai Bila,
jurusan ke hulunya yang jadi tujuan.
Bersambung.
Perjalanan selanjutnya adalah perjalanan
mudik dari Kuala Panei / Labuhan Bilik ke Negeri Lama. Melihat kondisi sungai
yang kecil dan dangkal, pelayaran menuju hulu tidak mungkin diikuti oleh kapal
besar, khususnya Marnix dan Banka. Krena itu, sebelum berangkat, pasukan dan
logistik yang ada di kapal - kapal besar dipindahkan ke kapal yan lebih kecil.
Sementara Kapal den Briel dan de Java dipaksa untuk berangkat dengan dilengkapi
sekoci-sekoci di dalamnya.
Pasukan mulai bertolak tanggal 19 Januari
menelusuri ke arah hulu Sungai Bila yang dipandu oleh Raja Muda Bilah.
Perjalanan ke hulu ini harus mengikut air pasang laut, supaya dapat dilayari.
Pada 21 Januari 1872, semua pasukan sudah sampai di Negeri Lama.
Tahap berikutnya adalah menuju Kuala Merbau
yang dilaksanakan pada besok harinya (22-1-1872). Tetapi karena arus sungai
yang deras, serta banyak belokan dan rintangan, maka kapal den Briel dan de
Java tidak dapat melanjutkan pelayaran, dan karenanya harus kembali ke Labuhan
Bilik. Pasukan dan logistik dipindah ke sekoci - sekoci besar seberapa yang
bisa, lalu dijemput beberapa kali ke Negeri Lama. Baru pada 25 Januari seluruh
pasukan berada di Kuala Merbau.
Setelah di sampai di Kuala Merbau, kapal
Kapuas tidak lagi dapat melanjutkan pelayaran, karena itu semua pasukan, alat -
alat meriam, senjata dan perbekalan harus diturunkan ke stommbarkas-stommbarkas
serta beberapa banyak sekoci yang sudah dilengkapi dengan senjata. Kemudian
ditambah dengan 70 buah perahu dayung, lalu keseluruhannya bertolak mudik
melawan air mengalir. Perjalanan dari Kuala Merbau menuju Juru Banang ini
dimulai 26 Januari hanya bisa berjalan lambat sehingga pasukan baru bisa sampai
semua di Juru Banang pada 7 Februari 1872.
Pada 6 Februari, pasukan pembuka jalan mulai
bergerak melalui jalan darat menuju Bandar, sementara yang lain menyusul; ada
yang menggunakan skoci dan perahu dayung dan ada yang melalui jalan darat. Dapat
dibayangkan betapa repotnya pemberangkatan dilakukan karena sungai Bila itu
makin ke hulu makin dangkal dan mengecil, sehigga perjalanan lewat sungai hanya
dapat dilakukan hingga Bandar. Seluruh pasukan tiba di Bandar pada tanggal 13
Februari 1872.
Mengenang Perjuangan Patuan Na Lobi Ritonga
Melawan Penjajah Belanda Sedikit mengulang ke belakang, sejak di Labuhan Bilik,
pasukan ke Gunung Tinggi dipecah melalui dua arah. Pertama, satu kelompok yang
lebih besar menelusuri Sungai Bilah, seperti sudah diceritakan di atas, dan
kelompok kedua menuju ke Kota Pinang menelusuri Sungai Barumun dan kemudian ke
Gunung Tinggi. Kelompok pasukan kedua yang berjumlah 150 bumiputra yang
dipersenjatai, dipimpin Kontroler d'Engelbronner, bertugas untuk menyelidiki
sikap penduduk di kampung-kampung, terutama Hadungdung dan Sampuran na Onang,
terhadap keputusan Belanda menyerang Gunung Tinggi.
Walau lebih jauh menempuh perjalanan darat,
ternyata kelompok pasukan kedua (jalur Kota Pinang) sudah lebih dulu sampai di
Bandar. Jadi dua kelompok besar pasukan sudah berkumpul di Bandar pada 13
Februari itu.
Perjalanan selanjutnya adalah memasuki
kampung Gunung Tinggi. Tetapi jalan dari Bandar ke sana terlalu sulit, selain
banyak tebing terjal juga masih hutan lebat, sementara kapal dan perahu sudah
harus ditinggalkan karena terhalang air terjun (sampuran) di tengah Sungai
Bilah. Untuk mengatasi ini, kuli dan tentara bumi putra harus bekerja ekstra
untuk membuka jalan, dengan menebas belukar dan melempangkan jalan yang akan
dilalui. Dalam proses pembukaan jalan itu, beberapa kurir dikirim untuk
menyelidiki keadaan di Gunung Tinggi.
Akhirnya pada 18 Februari, pasukan sampai ke
tujuan utama, yaitu kampung Gunung Tinggi, tepat pada 10.30 pagi. Menurut
laporan Belanda, ketika pasukan penyerang masuk, Gunung Tinggi sudah
ditinggalkan penduduknya. Kampung yang berdiri di atasnya 28 rumah, termasuk
Bagas Godang (berukuran 40 x 40 yard), sudah sepi. Selain penduduk yang tidak
kelihatan, barang-barang berharga dan senjata juga sudah dibawa pergi, kecuali
3 buah tombak dan 55 senapan tua serta sedikit mesiu. Lalu kemana Patuan Na
Lobi? Masih menurut laporan Belanda, Patuan Na Lobi bersama 10 lainnya sudah
lebih dulu meninggalkan Gunung Tinggi menuju Padang Sidempuan.
Dalam kondisi demikian, anggota pasukan
diperintah untuk mencari barang-barang rampasan perang yang dibawa pasukan
Patuan Na Lobi dari Kota Pinang. Hasilnya, mereka menemukan 20 Gong milik Kota
Pinang/Kuala Pane.
Ketika memasuki Bagas Godang, ternyata
pasukan Belanda menemukan Sutan Humala Panjang (ayah Patuan Na Lobi) dan Inanta
Soripada (permaisuri) masih bertahan di dalam rumah. Sang mantan raja yang
sudah renta itu pun diinterogasi dan diminta supaya memanggil penduduk yang
sembunyi dengan membawa barang rampasan dari Kota Pinang. Ditunggu sampai malam
hari. Tidak lama kemudian, dua wanita dan dua anak (tawanan Patuan Na Lobi)
muncul, dan pada hari besoknya keluar pula beberapa penduduk Gunung Tinggi.
Sebagian disuruh mencari para pengawal Patuan Na Lobi serta permaisurinya. dan
sebagian lainnya dijadikan tawanan perang.
Pada 20 Februari, komandan pasukan bersama
Asisten Residen mengambil keputusan, bahwa besoknya akan kembali dan sekaligus
membakar hangus kampung Gunung Tinggi, termasuk semua ladang dan pohon
buah-buahan sebagai hukuman kepada penduduk yang melancarkan perang melawan
Belanda. Keputusan ini benar-benar dilaksanakan, maka hanguslah kampung Gunung
Tinggi tanpa sebuah rumah pun tersisa pada 21 Februari 1872. Sejak hari itu
sampai sekarang, Gunung Tinggi hanya tinggal kenangan, tanpa ada yang membangun
ruah kembali.
Sumber:
1. Harian WASPADA
Sabtu, 4 Juni 2011; "Mengenang Patuan Na Lobi Melawan Belanda", oleh
H. Mohd. Said Ritonga;
2. Kumpulan makalah
Seminar, "Patuan Na Lobi Menentang Penjajahan Belanda", hasil
penelitian Prof. Dr. Abdurrahman Ritonga.
3. Parluhutan S.
Ritonga
Posting Komentar untuk "Pahlawan Nasional - Perjuangan Patuan Na Lobi Ritonga Melawan Penjajah Belanda"
Silahkan tinggalkan komentar agar kami lebih baik.