Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 11
![]() |
Alwiyatul Ajibah Harahap |
Genre : Misteri Dan Romance
Saat kembali dari madrasah, Aliya sedikit
heran melihat gelagat aneh Suaminya. Biasanya saat sampai rumah, Roby akan
mengecup keningnya dan sedikit tanya -tanya. Tapi tidak hari ini. Dia hanya
terdiam dengan raut wajah yang terlihat bingung. Tak ada kecupan, tak ada tanya
atau candaan. Roby langsung masuk kamar, setelah mandi dia langsung berbaring
dengan menumpukan lengan di jidatnya. Seolah ada hal berat yang ia fikirkan.
"Kakak, kita makan siang dulu, yuk.
Aliya udah masak tumis kangkung sama lele sambel." Setelah dua bulan
pernikahan, Aliya sudah mulai bisa memasak walaupun hanya masakan sederhana. Ia
belajar dari sosial media dan juga sering bertanya pada bu Darmi.
Namun tak ada sahutan dari suaminya. Roby
malah menutup matanya sambil berbalik membelakangi Aliya. Melihat hal itu,
terlihat raut kesal di wajah Aliya. Aliya kemudian naik keranjang, mengambil
posisi memeluk tubuh Roby dari belakang.
"Kakak, kenapa, sih.? Dari tadi diam
saja.? Apa ada masalah.? Atau kakak marah sama, Aliya.?"
"Aku sedang tidak ingin bicara,"
jawab Roby datar tanpa membalas pelukan sang isteri.
"Kenapa gak mau bicara? Kakak marah.?
Atau lagi sakit gigi.? Atau lagi puasa bicara? Atau lupa sikat gigi tadi pagi.?
Kena..."
"Tolong, diam!" Roby kemudian
menepis tangan Aliya yang melingkar di perutnya. Kata-katanya penuh dengan
penekanan. Kemudian keluar rumah, dengan membanting pintu sedikit keras.
Meninggalkan Aliya yang telah bercucuran air mata. Ini kali pertama Roby
bersikap kasar sejak pernikahan mereka dua bulan lalu. Hatinya begitu sakit,
seolah tersayat benda tajam.
POV Roby :
Aku terus melangkah tak tentu arah, dadaku
seolah membawa beban berat. Sejak kejadian saat pulang sekolah tadi, aku merasa
bingung. Saat akan hendak pulang, Halimah menghampiriku.
"Mas, Roby," sapanya dengan senyum
yang terukir di wajah cantiknya.
"Ada apa, Halimah.?"
"Bisa bicara sebentar.? Ada yang ingin
Halimah katakan ke mas, Roby." Aku mengangguk. Lalu dia meminta untuk
bicara di kantin madrasah yang sudah sepi.
"Mas. Halimah mau nagih janji mas
dulu."
"Janji.? Janji apa.?" Tanyaku
heran sambil mengernyitkan dahi. Aku tak mengerti apa yang ia bicarakan.
"Janji buat nikahin Halimah. Halimah
sekarang udah 24 tahun, Mas. Bapak sama Ibu juga udah sering nanyain. Jadi
kapan mas mau datang kerumah.?" Aku tertegun mendengar kata - katanya.
Teringat janji yang ku berikan padanya sebelum aku menikah.
Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Sampai saat
ini Halimah belum tahu perihal pernikahanku. Dengan segenap keberanian, aku
menarik nafas dalam,
"Maafkan aku, Halimah. Aku tak bisa
menikahimu. Aku sudah beristri." Halimah membekap mulutnya sendiri sambil
menggeleng, seolah tak percaya. Sedangkan aku hanya mampu tertunduk.
"Gak, gak mungkin. Apa maksudmu, Mas.?
Jangan bohong." Terlihat matanya mulai berkaca-kaca, membuat hatiku
teriris. Jauh di sana, masih ada nama Halimah yang terukir, walaupun tak
sebesar dulu lagi.
"Benar, aku sudah menikah dua bulan
lalu."
"Siapa? Siapa wanita itu, Mas.? Lalu
bagaimana denganku.? Aku telah menunggumu dan menolak setiap laki - laki yang
datang melamarku. Katakan aku harus bagaimana? Kenapa kau menghianati janjimu
sendiri?" Dia terisak, melupakan setiap kata-kata yang mewakili
kekecewaannya. Dengan lembut kuraih tangannya. Sungguh hatiku sakit melihat
gadis yang ku sukai selama bertahun-tahun menangis karenaku.
"Halimah, maafkan aku. Percayalah,
pernikahan ini bukan keinginanku. Aku di jodohkan," ucapku seraya
mengeratkan genggaman tanganku.
"Kalau begitu ceraikan isterimu itu,
Mas. Aku tau kau masih mencintaiku! Toh, pernikahan ini bukan keinginan kalian
berdua." Aku tertunduk mendengar perkataannya.
"Kalau boleh aku tahu, siapa wanita itu.?"
Tanyanya sambil menyeka air mata.
"Aliya." Seketika dia melongo.
Menatap tak percaya. Nafasnya terjeda untuk sesaat.
"Apa kau bercanda? Kukira dia itu
adikmu. Jadi kau meninggalkanku karena gadis remaja itu.? Apa dia lebih dariku.?
Apa tidak keterlaluan menikahi gadis semudah itu?" Tanyanya sambil kembali
meneteskan air mata. Akupun setuju bahwa dia lebih dari Aliya. Lebih dewasa,
lebih berpendidikan, pakaiannya lebih tertutup, dan sedikit lebih cantik. Namun
tetap saja, sekarang Aliya adalah isteriku. Tak mendapat jawaban dariku ia
memilih pergi.
Aku tak sadar bahwa aku telah berjalan jauh
dari rumah. Fikirkanku terus melayang pada kejadian tadi siang. Apa yang harus
aku lakukan. Halimah adalah gadis yang telah aku sukai semenjak duduk di bangku
kuliah. Dan sampai saat ini hatiku masih menyisihkan sedikit ruang untuknya.
Hingga akhirnya suara azan asar menyadarkan
lamunanku. Seketika aku mengingat apa yang telah aku lakukan pada Aliya tadi.
Kenapa aku sebodoh ini.? Kenapa aku harus marah pada Aliya.? Dia tak tahu
apa-apa.
Kemudian aku mengambil langkah seribu menuju
rumah. Saat tiba, tak kutemui Aliya di ruang tamu ataupun dapur. Aku mengarah
ke kamar. Saat pintu terbuka, kulihat Aliya duduk meringkuk memeluk lututnya.
Bahunya bergetar karena menangis. Pilu, itulah yang kurasakan saat melihatnya
menangis karenaku.
"Al, maafkan aku. Aku tak bermaksud
membentakmu. Maafkan aku." Kutarik tubuh isteriku kedalam dekapan. Aliya
semakin terisak, membuatku merutuki diriku sendiri. Bagaimana bisa aku
menyalahkannya. Pernikahan ini juga bukan kehendaknya. Walaupun begitu dia selalu
berusaha menjadi isteri yang baik untukku, meski tak tahu apakah ada atau tidak
cinta dihatinya untukku. Tapi aku justru membuatnya menangis.
"Maafkan aku." Ku kecup pucuk
kepalanya berulang kali. Tak bisa kupungkiri bahwa saat ini namanya juga sudah
terukir indah dihatiku. Bahkan lebih kokoh dari pada nama Halimah.
"Kakak. Hiks... hiks. Kenapa harus
marah.? Apa Aliya ada salah.? Hiks...." Aliya bertanya sambil membalas
pelukanku dengan erat. Aku tahu sekarang dia benar-benar terluka karena
sikapku. Bodohnya aku.
"Tidak, kau tidak salah. Aku lah yang
salah. Aku yang salah, Aliya. Maafkan aku." Kembali kukecup pucuk
kepalanya berulang kali sambil ku usap bahunya. "Maafkan aku."
Kemudian dia melepaskan pelukan sambil menatap mataku. Terlihat matanya yang
sembab dan bengkak, membuatku semakin memaki diri sendiri.
Baca juga : Cerpen Cinta – Penawar MataPart 10
"Kakak. kalau Aliya ada salah, tolong
katakan saja. Jangan membentak seperti tadi. Aliya sakit kalau di bentak
seperti itu," ucapnya dengan nada manja.
Lalu segera ku sentuh pipinya dan kuhapus
air mata yang jatuh karena ulahku. "Maafkan aku. Aku tak akan
mengulanginya lagi."
"Janji.?" Aku mengangguk dan
seketika senyuman terukir di wajahnya. Sungguh mudah baginya maafkanku, padahal
aku sendiri masih merutuki kebodohanku. Mungkin ia tak secantik Halimah, tak
sepintar Halimah, juga tak sesoleha Halimah. Tapi yang aku tahu, sekarang dia
isteriku, isteri yang berhati mulia.
Bersambung...
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 11"
Silahkan tinggalkan komentar agar kami lebih baik.