Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 14



Genre : Misteri Dan Romance
Pukul 2 dini hari Aliya terbangun. Saat netranya terbuka, dada Roby terpampang tepat dimatanya. Ia kemudian mendongakkan wajah, menatap suaminya yang tertidur pulas. Tubuhnya terasa lebih hangat dari biasanya.

Kembali air matanya luruh membasahi pipi. Sakit dihatinya belum juga hilang. Ia beralih menenggelamkan wajahnya didada sang suami. Getar tubuh Aliran yang menangis membangunkan Roby.


Kembali ia eratkan pelukannya. "Tolong jangan menangis lagi. Aku mohon maafkan aku," lirih Roby dengan mata tertutup. Entah kenapa matanya terasa berat untuk dibuka, mungkin karena seminggu ini tidurnya tak menentukan.

"Kakak, hiks... hiks... Kenapa rasanya sangat sakit. Aku tak terluka dan berdarah, tapi dadaku terasa sesak dan perih... hiks." Ucap Aliya sambil terisak dipelukan Roby.

Roby terenyuh mendengar penuturan isteri mungilnya. "Tolong maafkan aku. Aku mencintaimu Aliya." Mata Roby tetap tertutup, bahkan sekarang kepalanya juga terasa sakit.

Sejenak Aliya terdiam menatap wajah suaminya. "Sungguh.?" Roby hanya tersenyum.

"Bisa sekarang kita tidur lagi, Al.? Aku benar-benar mengantuk," Pinta Roby dengan nafas yang sedikit memburu. Aliya yang sedikit bingung melepaskan pelukan Roby. Disentuhnya dahi Roby, panas.

"Kak, kakak demam! Tunggu sebentar biar Aliya ambil obat dan kompresan." Namun gerakannya terhenti saat Roby menarik kembali tubuhnya kedalam pelukan.

"Tidak usah, aku hanya ingin seperti ini. Tolong jangan tinggalkan aku, Al." Dipeluknya tubuh Aliya posesif, seolah takut kehilangan. Sebenarnya Aliya sedikit gerah, karena panas dari tubuh Roby.

Ada banyak yang ingin ia tanyakan pada Roby. Tapi tak mungkin melihat keadaan suaminya yang sedang sakit. Luka dihati coba ia tutupi untuk saat ini.

"Cepat sembuh, Kak. Aliya gak suka liat Kakak sakit." Aliya mendaratkan sebuah kecupan di pipi suaminya, membuat Roby mengukir senyum lalu membalas dengan mengecup kening Aliya cukup lama.

Aliya melangkah menuju kamar membawa nampan yang berisi bubur dan air putih. Setelah subuh, Roby kembali tidur karena tubuhnya masih sakit.

"Kakak, bangun. Makan dulu, Aliya udah buatin bubur." Namun Roby hanya berdehem tanpa membuka mata.

"Nanti saja, Al. Aku belum lapar." Suara Roby terdengar berat.

"Mau jam berapa lagi, Kak? Sekarang sudah jam delapan lewat. Kakak harus sarapan dan minum obat biar cepat sembuh." Aliya menarik lengan Roby agar bangun. Sudah tiga kali ia bolak-balik kamar membawa bubur ini.

"Biar Aliya suapin." Dengan telaten ia menyuapi Roby. Saat suapan keempat, Roby hanya terdiam.

"Kakak ... buka mulutnya."

"Maafkan aku, Al. Maaf karena menyakitimu, maaf karena selalu membuatmu menangis." Roby menatap lekat wajah isterinya. Isteri yang mampu merebut hatinya hanya dalam waktu tiga bulan pernikahan.

Aliya kembali meneteskan air mata mengingat masalah mereka. "Apa ... Kakak mencintai kak Halimah.?" Tanyanya dengan wajah tertunduk.

"Itu dulu, Al. Setelah kita menikah, aku berusaha menghapus namanya dari hatiku. Percayalah, sekarang hanya ada namamu." Aliya menatap lekat manik Roby, tak ada kebohongan disana.

"Lalu kenapa Kakak menemuinya?" Roby menghembuskan nafas kasar.

"Al, aku merasa bersalah padanya. Aku pernah berjanji akan menikahinya, dan dia terus menungguku. Saat mengetahui pernikahan kita, dia merasa tertekan dan terpukul. Dia bahkan melakukan hal-hal buruk, merubah penampilannya dan mulai masuk ke Dunia pergaulan bebas. Aku hanya merasa bersalah, Al. Tidak lebih, percayalah." Aliya mengukir senyum di wajahnya. Dia tak tahu apa yang akan terjadi kedepannya, tapi saat ini ia merasa lega.

"Apa kau percaya padaku.?"

Aliya mengangguk dan kembali menyendok bubur. "Sekarang buka mulutnya. Kakak harus cepat sembuh jika ingin Aliya percaya."

Dengan senyum Roby menerima suapan dari Aliya. "Sekarang rasanya jadi manis." Aliya mengernyitkan dahi mendengar perkataan Roby, lalu menyicip bubur tersebut. Manis.? Tapi menurut rasanya justru hambar.

"Manis, karena kamu sekarang sudah tersenyum." Satu kecupan Roby daratkan di bibir mungil sang isteri. Membuat Aliya menegang lalu kemudian tertunduk dengan wajah bersemu merah. Ya Tuhaaaaaan... jantungnya hampir saja berhenti berdetak.

"Kakak... kok gitu sih, curang tau." Roby terkekeh melihat tingkah mengemaskan Aliya.

"Curang? Maksudnya harus ijin dulu kalau mau nyium.? Yaudah, Aku mau nyium kamu lagi. Boleh-kan.?"

"Gak. Harus bayar kalau mau nyium," jawab Aliya sambil mengerucutkan bibir. Dengan gerakan kilat, Roby kembali menyapu bibir Aliya.

"Ih, Kakaaaaak." Aliya menumpukan wajahnya dipangkuan Roby. Ia benar-benar malu. Sedangkan Roby.? Ia hanya tertawa puas karena berhasil menggoda Aliya pagi ini.

Karena tidak enak badan, hari ini Roby tak masuk mengajar. Seharian penuh ia hanya di rumah, menikmati waktu bersama dengan isteri tercinta.

PoV Halimah.

Selama dua tahun aku menunggu mas Roby. Ia telah berjanji akan menikahiku. Hatiku senang bukan main saat pertama kali ia mengatakan akan melamarku, karena selama ini aku juga diam-diam menyukainya. Kami pertama kali bertemu saat masih mondok, berlanjut di bangku kuliah, dan di madrasah tempat kami mengajar.

Penantianku terasa begitu indah memikirkan Mas Roby yang akan segera menghalalkanku. Banyak lelaki yang datang kerumah dengan niat ingin mempersuntingku, termasuk Bang Ian, teman kerja kami. Namun semua lamaran itu kutolak, dan terus menanti Mas Roby.

Pernah suatu hari aku bertemu dengan Mas Roby di mini market. Dia bersama dengan seorang gadis remaja, kukira itu adiknya. Aku tak terlalu memikirkan wanita itu dan terus menanti. Hingga suatu hari aku merasa bagai di sambar petir di siang bolong mendengar pengakuan Roby.

Baca juga : Cerpen Cinta – Penawar MataPart 13

"Maaf, aku tak bisa menikahimu. Aku telah menikah dua bulan lalu dengan Aliya."

Sungguh hatiku remuk dan hancur berkeping-keping. Aku benar-benar kehilangan akal mendengarnya. Apa salahku.? Apa kurangku.?

Aku terus merasa terpukul, sakit dihatiku semakin terasa perih. Dia yang telah berjanji tanpa kuminta, tapi justru menghianati janjinya sendiri. Aku mulai mencari penenang di luar sana. Hijab dan gamis kuganti dengan pakaian minim dan terbuka, aku bahkan berhenti mengajar. Hampir setiap malam aku meminta mas Roby menemuiku, jika ia tak datang aku mengancamnya dengan bunuh diri. Sakit dihati membuatku tak bisa berfikir jernih.

Sungguh, aku seperti wanita yang kehilangan harga diri. Sebenarnya aku sendiri jijik melihat penampilanku sekarang ini.
#aurora

Bersambung...




Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 14"