Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 22
Genre : Misteri Dan Romance
[Al, maaf. Hari ini aku pulang telat karena
masih banyak urusan. Jangan menunggu dan jangan lupa makan.]
Sederet pesan masuk yang membuatku
menghembuskan nafas kasar, pantas saja Roby belum pulang, padahal sudah mau
maghrib. Akhirnya kuputuskan masuk kamar untuk mandi dan melaksanakan sholat
maghrib.
Kupanjatkan do'a diakhir sujud, meminta pada
yang maha kuasa agar selalu melindungi keluarga kecilku. Menjaga suami yang
menjadi tulang punggung, serta sehatnya bayi di dalam kandunganku.
Setelahnya, aku berbaring di ranjang yang
telah menjadi tempat peraduan selama hampir setahun terakhir, menatap langit - langit
putih.
Aku menyelam kemasa lalu, mengingat semua
yang telah kulewati. Sungguh terasa bagai mimpi. Apa lagi mengingat
pernikahanku dengan Kak Roby yang didasari perjodohan, dan kini cinta
bersemayam indah disegumpal daging merah di dalam sana. Aku terus mengukir
senyum sambil mengelus sayang perutku yang kini terisi benih cinta.
Azan isya menyadarkan lamunanku. Segera ke
kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan sholat. Namun hingga salam, belum
ada tanda - tanda kepulangan suamiku.
Untuk sesaat aku masih berusaha berbaik
sangka. Namun hingga pukul sembilan ia tak jua kembali. Apa yang ia lakukan
sampai jam segini.? Apa guru sesibuk itu.?
Aku mulai sibuk mengutak - atik benda pipih
ditangan, mencoba menghubungi kontak atas nama Kak Roby. Namun nihil.
Dengan fikiran yang kalut, aku berjalan
menuju dapur untuk mengambil segelas air minum. Namun sebelum sampai, ponselku
berbunyi. Pesan masuk.
Langkahku terhenti menatap pesan gambar yang
masuk. Tiba - tiba dunia terasa berputar, oksigen terasa menghilang. Segumpal
daging merah di dalam sana seolah tersayat, perih.
Pesan gambar pertama memperlihatkan suamiku
memeluk seorang wanita, gambar kedua terlihat ia menggendong dan gambar
terakhir meletakkan wanita itu di ranjang. Dan terdapat pesan teks diakhir,
[selanjutnya coba tebak apa.!]
Wanita itu... Halimah.
Ingin rasanya aku menghilang seketika.
Sesuatu di dalam dada terasa perih. Duniaku tiba - tiba hancur. Apa yang
terjadi.? Apa ini kesibukan yang kau maksud.?
Tubuhku merosot di lantai dapur seiring
luruhnya air mata. Apa yang telah di lakukan suamiku di luar sana.?
Aku benar - benar tak bisa berfikir jernih.
Semua kemungkinan berputar di kepala, hingga aku merasa tak mampu lagi untuk
berekspresi. Aku hanya terdiam sambil memeluk lutut. Tak ada lagi suara terisak
dan tubuh bergetar, hanya air mata yang mengisi kekosongan.
*****
Aku melangkah masuk. kulihat lampu seluruh
ruangan masih menyala, padahal sudah hampir pukul sebelas. Apa Aliya belum
tidur.?
Setelah mengunci pintu, aku bergegas ke
kamar. Namun kosong, Aliya tak ada. Kemudian aku beralih ke kamar tamu, dan
akhirnya saat melangkah menuju dapur tak sengaja aku menginjak kaki seseorang,
Aliya.
Kulihat dia duduk meringkuk sambil memeluk
kaki, tatapannya seolah kosong. Bahkan kakinya yang tak sengaja terinjak,
seolah bukan apa - apa.
"Al, kenapa duduk disini.?" Aku
berjongkok dan menyentuh bahu Aliya, namun tak ada jawaban. Kemudian kuangkat
dagunya, sehingga aku bisa melihat air mata mengalir dari sarang yang sudah
membengkak.
"Hei, kenapa menangis.?" Namun
Aliya tetap diam dengan tatapan kosong. Aku seolah tak terlihat dimatanya,
membuatku jadi khawatir.
"Kau mendengarku.?"
"Aliya bicaralah, jangan membuatku
takut.!" Tetap saja Aliya diam dengan air mata yang terus mengalir.
Kuguncang bahunya dengan hebat. Apa yang salah dengan isteriku ini.? Apa yang
terjadi.?
Bahkan matanya tak berkedip sedikitpun, ia
terus menatap kosong membuatku kehilangan akal. Ditengah kepanikan, kutarik
tubuhnya masuk kedalam dekapan. Aku benar - benar takut melihat nya yang seolah
tak sadar.
"Al, tolong bicaralah. Kau mendengarku
kan.! Jangan membuatku takut." Ku belai punggungnya dengan selembut
mungkin sambil kukecup pucuk kepalanya berulang kali. Hingga akhirnya aku
merasakan tubuh Aliya mulai bergetar, menangis.
Aliya terus menangis pilu sambil meremas
kemeja belakangku. Aku hanya terdiam sesaat, membiarkan seluruh air matanya
tumpah melupakan rasa.
"Apa yang terjadi.?" Kemudian
Aliya melerai pelukan dan melihatku dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Seharusnya aku yang bertanya, Kak. Apa
yang terjadi.? Apa yang telah kau lakukan dengan wanita itu.?" Aku
terdiam, coba mencerna maksud dari perkataannya. Wanita.?
"Apa maksudmu, Al.?" Aku benar - benar
bingung. Aliya mencebik seolah sedang berhadapan dengan seorang pembohong.
"Apa kau masih mencintainya.? Apa
artinya aku bagimu.? Apa arti anak ini.? Apa aku masih kurang untukmu.?"
Berbagai pertanyaan ia lemparkan, membuatku semakin bingung. Apa sebenarnya
yang terjadi.?
"Apa yang kau bicarakan.? Apa maksudmu.?"
Tanyaku frustasi.
"Kenapa harus selingkuh.? Jika kau
sudah bosan denganku, tolong katakan saja. Aku akan pergi tanpa membuat
keributan."
"CUKUP.!" Aku hampir kehilangan
akal mendengar perkataannya. "Apa maksudmu.? Jangan membuatku
bingung."
Lalu dia mengambil ponsel dan menyuguhkanku
pesan gambar. Terlihat aku memeluk Halimah, menggendong dan meletakkannya di
kasur. Tiba - tiba darah terasa naik ke ubun - ubun. Sekarang aku mengerti.
"Aliya, kau harus percaya padaku. Ini
tak seperti yang kau fikirkan." Dengan erat kugenggam tangannya yang
gemetar.
"Lalu apa.? Bagaimana aku harus
berfikir tentang photo itu.?" Aliya kembali terisak dan menundukkan wajah,
"aku ingin pulang, aku ingin Ayah." Dia terisak semakin pilu.
Aku menggeleng cepat. Tidak akan ada yang
pergi, tidak isteri atau anakku. "Gak. Gak, Al. Kamu gak akan kemana - mana.
Aku mohon percayalah.!" Segera kupeluk tubuh isteri yang sedang mengandung
anakku, membuat tangisnya semakin pecah.
"Apa yang sudah kau lakukan, Kak.?
Kenapa wanita itu selalu saja muncul.? Kenapa rasanya sangat sakit.?"
Hatiku semakin perih mendengarnya.
"Aliya dengarkan aku. Aku mencintaimu.!
Tadi aku hanya menolong Halimah yang tiba - tiba pingsan, dan gambar itu, aku
tidak tahu siapa yang melakukannya. Aku mohon percayalah.! Aku mencintaimu
isteriku." Kukecup keningnya berulang kali. Memelas, berharap ia percaya.
"Kak, rasanya sangat sakit.! Aku benar -
benar tidak kuat." Aku semakin terenyuh.
"Aliya percayalah.! Aku tidak akan
pernah mengkhianatimu. Aku mohon percayalah.!" Perlahan kurasakan Aliya
mulai membalas pelukanku. Kubiarkan ia terus menangis meluaskan segala rasa.
Hingga akhirnya sedikit tenang.
Segera kuangkat tubuhnya yang hanya dibalut
daster pendek ke kamar. Kududukkan di ranjang dan mengusap sisa air mata di
pipi. Lalu matanya yang telah membengkak juga tak luput dari usapanku.
"Apa kau percaya padaku.?" Aliya
mengangguk. Kusapu bibirnya sekilas, lalu menariknya kedalam pelukan. Masih
terasa tubuhnya bergetar menahan sisa tangisan. Hampir saja aku kehilangan akal
beberapa saat lalu, saat dia mengatakan ingin pergi. "Tolong jangan pernah
berfikir untuk meninggalkanku, Al." Sejenak kami dalam keheningan.
Baca juga : Cerpen Cinta – Penawar MataPart 21
"Apa kau sudah makan malam.?"
Aliya menggeleng, "tunggu aku ambilkan." Namun Aliya menghentikan
tubuhku yang hendak berdiri.
"Aliya ngantuk, Kak. Aliya capek
menangis terus dari tadi." Kemudian ia menguap, membuatku melukiskan
senyum. Benar-benar polos. Aku mengerti maksud perkataannya. Segera aku
berbaring dan menariknya kedalam pelukan. Lagi-lagi, aku harus tidur tanpa
membersihkan diri.
Aurora
Bersambung...
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 22"
Silahkan tinggalkan komentar agar kami lebih baik.