Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 23
Genre : Misteri Dan Romance
Berhubung hari ini libur, pagi-pagi Roby
sudah sibuk mengajak Aliya kesuatu tempat.
"Kita mau kemana sih, Kak.?" Tanya
Aliya bingung.
"Sudah, kamu naik saja." Roby
kemudian menghidupkan motor yang akan membawa mereka.
Sekitar dua puluh menit kemudian mereka tiba
disebuah rumah makan yang masih terlihat sepi.
"Kak, bukannya kita udah sarapan.?"
Roby kemudian menggandeng tangan Aliya masuk. Hingga akhirnya Aliya bertemu
pandang dengan seorang wanita yang selama ini selalu menjadi masalah.
"Aku ingin bicara.!" Halimah
kemudian mengarahkan untuk mengambil tempat di sudut ruangan. Roby duduk
bersebelahan dengan Aliya, sementara Halimah dihadapan mereka. Sorot mata
diantara dua wanita beda usia itu terlihat saling mengunci, seolah punya dendam
masing-masing.
"Apa ini.?" Roby memecah
keheningan dengan menyodorkan ponsel berisi gambar yang beberapa hari lalu
membuat Aliya gusar. Sekilas Halimah terlihat menegang, kemudian kembali
tenang. Sangat mudah baginya menguasai diri.
"Apa.? Aku tak tahu.!" Jawabnya
datar sambil menaikkan bahu.
"Jangan pura - pura, pasti kau yang
melakukannya. Kau menginginkan suamiku kan.?" Kini Aliya yang angkat
bicara.
"Kalau sudah tahu, kenapa harus
bertanya.!" Aliya meradang mendengar ucapan Halimah.
"Benar - benar memalukan. Apa kau
semenyedihkan itu.? Apa kau sudah tak punya harga diri lagi.? Eh, sepertinya
kau benar - benar tak ada harga diri sama sekali. Memalukan.!" Aliya
melipat tangan didada sambil tersenyum sinis. Bahkan Roby sampai membulatkan
mata, dari mana Aliya belajar berkata sekejam itu.?
Halimah terlihat mengepalkan tangan,
nafasnya naik turun. Kemudian berdiri dan tanpa jeda langsung mendorong kursi
yang diduduki Aliya, sehingga Aliya terjungkal ke belakang. Roby yang sedikit
lalai tak sempat menahan kursi yang sudah oleng.
Bhuukk.
"Aliya.!" Pekik Roby sambil
mengangkat tubuh isterinya.
"Kak, sakit." Aliya memegangi
perutnya yang sudah sedikit buncit. Sedangkan Halimah masih berdiri dengan
nafas memburu menahan emosi.
Halimah yang masih mematung dengan tatapan
tajam, sontak kaget saat tangan Roby terayun menyentuh pipinya.
Plaakk.
Roby menampar keras pipi mulus itu, bahkan
terlalu keras hingga sudut bibir Halimah mengeluarkan cairan merah.
"Apa yang kau lakukan.? Jika sampai
kandungan Aliya kenapa - napa, aku takkan pernah memaafkanmu.!" Roby
kemudian membopong tubuh isterinya menuju klinik terdekat. Meninggalkan Halimah
yang tengah mematung. Kandungan.? Aliya.?
Tiba - tiba pagi yang cerah, terasa mendung
bagi Halimah. Aliya mengandung.? Anak Roby.? Apa kini Roby benar - benar
mencintai Aliya.? Apa dia telah melupakanku.? Lalu tatapan Roby pada Aliya.?
Seolah mendapat tamparan yang lebih keras,
Halimah menangis. Lenyap sudah harapannya. Kini semuanya telah berakhir. Tak
ada lagi kesempatan. Hatinya begitu hancur.
Halimah kemudian berlalu dengan langkah
setengah berlari, membawa luka dan air mata. Terus melangkah hingga ia tiba
didepan sebuah rumah. Ini... rumah Ian.
Halimah kemudian menggedor pintu sambil
terisak. Hingga nampaklah seorang pria yang keluar sambil menguap, menggunakan
kaus oblong dan celana pendek, kusut. Pasti baru bangun tidur, ck. Dasar bujang
lapuk, sudah jam sembilan masih ngorok.
"Sia-... Halimah, kau kenapa.?"
Mata Ian berubah segar saat melihat Halimah berdiri mematung sambil menangis.
"Bang, Ian. Hiks... Abang masih
sayangkan padaku.?" Tanya Halimah dengan mata yang masih bercucuran bulir
bening, dengan ragu Ian mengangguk.
"Kalau begitu menikahlah denganku,
Bang. Hiks... bantu aku untuk menghilangkan sakit ini. Bantu aku melupakan
segalanya." Sedetik kemudian ia menghambur kepelukan Ian, membuat sang
empu menegang. Apa aku sedang bermimpi.? Tidak, ini terlalu nyata.!
"Apa yang terjadi.?" Dengan lembut
ia membalas pelukan Halimah. Mencoba menyalurkan kekuatan.
"Menikahlah denganku, aku mohon.!
Bukankah kau bilang akan menungguku! Sekarang aku siap, Bang." Aliya
mendongak masih sedikit terisak, menatap mata Ian. Tatapan keduanya terkunci
untuk beberapa saat, deru nafas Ian juga menerpa wajah Halimah. "Bagaimana.?"
Tanya Halimah dengan tubuh masih sedikit bergetar.
Ian menyentuh pipi Halimah yang masih setia
memeluknya. Perih terasa saat melihat wanita yang ia sukai meneteskan air mata.
Lalu kemudian mengangguk dengan mata yang masih saling mengunci. "Aku akan
menikahimu." Dengan lembut ia hapus air mata yang masih setia mengalir.
Namun senyum sudah terukir diwajah cantik itu.
"Bang.? Belum sikat gigi, yah.?"
Ian kemudian mendongakkan wajah. Yang benar
saja Halimah, apa nafasku sebau itu.? Seharusnya kau pura - pura tidak tahu.!
Benar - benar bau mulut sialan, merusak suasana saja.
Berbeda dengan Ian yang merasa malu. Halimah
kembali membenamkan wajah dipelukan Ian. "Aku ingin menikah secepatnya,
Bang."
*****
Segelas susu menjadi penutup makan malam
Aliya. Roby sempat khawatir tadi pagi atas insiden di rumah makan Halimah.
Beruntung bayinya tidak apa - apa, kata dokter hanya karena sedikit terguncang
membuat Aliya merasakan sakit.
"Tidurlah, Al. Aku ke kamar mandi
sebentar."
Roby kemudian melangkah dan keluar setelah
beberapa saat.
"Kakaaaak.!" Seketika Roby
bergidik mendengar suara Aliya yang sangat manja dan mendayu - dayu. Menyiapkan
mental, pasti ada sesuatu yang tak beres.
"Kenapa.?" Tanya Roby sambil melap
wajah.
"Tidurnya pakai ini, yah." Roby
melirik, dan kemudian terjingkat saat melihat baju tidur berwarna pink yang
ditangan Aliya.
"Astagfirullah..." dengan kasar
Roby menghembuskan nafas. Apa - apaan
ini?
"Mau, yah.!" Bujuk Aliya dengan
membulatkan mata, bertingkah seperti anak kucing yang menggemaskan.
"Gak, aku gak mau.! Kamu pikir aku laki
- laki apaan Al pakai kayak gituan.?" Roby bergidik, mana mungkin memakai
pakaian warna pink. Aku ini lelaki tulen.
"Ih, buruan, Kak." Aliya kemudian
berdiri memeluk tubuh Roby. Dengan wajah masih sok imut.
"Gak, gak mau. Lagian itukan baju kamu,
gak muat aku pakai." Roby kokoh
Namun seperti biasa, Aliya selalu punya
jurus andalan. Matanya mulai berkaca - kaca dan saat siap membuka mulut hendak
menangis, dengan sigap Roby membekap mulut Aliya.
"Ok, ok. Aku pakai." Dengan kasar
Roby mengambil pakaian kemudian berjalan dengan menghentak - hentakkan kaki
menuju kamar mandi. "Aaarrghh." Sementara Aliya hanya terkekeh, lalu
duduk di ranjang.
"Kakaaaak, kenapa lama sekali.?"
panggil Aliya setelah Roby berada di kamar mandi selama lima belas menit.
Kenapa lama sekali.?
"Sayang, emang harus ya aku pakai baju
ini.?" Terdengar suara frustasi Roby dibalik kamar mandi.
"Iya, Kak. Buruan keluar, Aliya ngantuk
pengen dipeluk."
Ceklek...
Roby keluar dengan wajah memelas, sambil
menarik - narik celana dibagian selangkangan. Terlihat baju itu sangat kekecilan
untuknya. Bahkan pusatnya tak tertutup, dan bagian kaki hanya sampai betis.
Hancur sudah citra ku sebagai lelaki... memalukan.
Aliya yang sedari tadi mengamati, kemudian
tertawa terbahak - bahak. Bahkan sampai berguling - guling di kasur. Pria dengan
otot dan rahang tegas itu berubah jadi menggemaskan dengan pakaian pink dengan
pusat yang tak tertutup.
"Apa kau puas.?" tanya Roby sambil
menghempaskan tubuh ke ranjang. Baju ini benar - benar sempit dan tak nyaman...
Tentu saja, itukan ukuran tubuh Aliya.
Kemudian Aliya membimbing tangan Roby agar
mengelus perutnya. "Kakak, lucu." Aliya masih cekikikan.
"Kau benar - benar tega, Al,"
lirih Roby sambil terus mengelus sayang perut isterinya yang sudah sedikit
menonjol.
"Kak.!" Aliya berbisik, membuat
Roby kembali merinding. Cobaan apa lagi ini.?
"Apa lag.i?" tanya Roby ragu.
"Aliya pengen sate." Seketika Roby
tersenyum.
"Baiklah, aku ganti baju dulu."
Dengan semangat Roby duduk handak mengganti pakaian.
"Eh, jangan diganti. Kakak belinya
pakai itu.!"
Hah.? Cobaan apa lagi ini.? Ayolah...
"Gak, gak mungkin. Aku gak mau.!"
Dengan kasar Roby kembali berbaring dan membelakangi Aliya. Namun setelah
beberapa saat, terdengar isakan tangis. Oh, ya Tuhaaaaan... tolonglah. Demi
buih di lautan, dan musim duren di Antartika...
"Sayang, tolong. Aku akan belikan tapi
tidak dengan baju ini." Roby memelas, namun nihil. Aliya terus menangis.
"Baik, baiklah." Roby kemudian
menyambar jaket dan berlalu. Meninggalkan Aliya yang kini mengukir senyum puas
karena telah berhasil mengerjai suaminya habis -habisan.
"Rasain, Kak. Ini balasan karena
kemarin kamu buat aku nangis."
Selang dua puluh menit Roby kembali. Masuk
ke kamar dengan wajah ditekuk dan lesu, serta rambut yang acak - acakan. Seolah
sedang frustasi, seperti perawan yang baru kehilangan kesucian.
Baca juga : Cerpen Cinta – Penawar MataPart 22
"Aku sangat malu, Al. Semua orang
menertawaiku." Aliya hanya bisa tertawa sambil membekap mulut. Benar -
benar puas...
"Makanlah." Roby meletakkan
bungkusan pesanan Aliya lalu duduk disisi ranjang. Tiba - tiba rasa menyesal
menghinggapi Aliya saat melihat suaminya pasrah.
Cepat - cepat Aliya duduk dipangkuan Roby
sambil mengalungkan tangan di leher. "Kakak, maaf." Namun Roby hanya
diam dan menatap mata isterinya datar.
"Aliya minta maaf." Berulang kali
Aliya minta maaf sambil mengecup pipi suaminya yang pasti sedang merajuk.
"Sudah, makan itu." Namun Aliya
menggeleng. Dengan kasar Roby membaringkan Aliya, "Apa kau mengerjaiku.?"
Aliya mengangguk sambil tersenyum jahil.
Dan setelahnya, sensor.
Rasain pembalasan gue By...
Aurora
Bersambung...
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 23"
Silahkan tinggalkan komentar agar kami lebih baik.