Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 3

Kualuh Selatan Labura - sumatera Utara (aripinrit.blogspot.com)
Fitri Nababan & Resmi Indah Sari


Genre : Misteri Dan Romance

Minggu lalu, abah mengejutkan ku saat kami sedang makan malam bertiga dengan Umi.
"By, sudah siap untuk menikah.?" Aku tersedak mendengar pertanyaan Abah.

"Pelan-pelan, By!" Umi menepuk-nepuk bahuku seraya memberikan segelas air putih.

"Kenapa tiba - tiba Abah bertanya begitu.?"

"Abah hanya ingin tahu," jawab Abah singkat. Aku terdiam sejenak, meletakkan sendok.

"Insya-Allah, sudah siap, Bah." Ku lihat Abah tersenyum mendengar jawaban ku.

"Sudah punya calon.?" Aku kembali terdiam mendengar pertanyaan Abah. Aku belum berani menyampaikan niat ku yang ingin melamar seorang gadis. Akhirnya aku hanya menggeleng.

"Kalau begitu minggu depan kita berangkat. Kita akan meminang seorang gadis untuk mu." Aku kaget bukan main. Bagaimana ini? Apakah aku harus beritahu tentang gadis yang aku sukai.? Tapi apakah Abah akan terima.?

Sejenak ku pandang wajah Umi yang tersenyum sambil mengelus-elus bahuku. Dan karna itu, aku semakin ragu untuk menyampaikan maksudku. Dan akhirnya aku hanya mengangguk.

"By, sudah siap belum.? Kalau sudah turun, kita akan berangkat.!" Teriakan Umi menyadarkan lamunanku.

Sejenak memandang diri di depan cermin, celana jeans biru, kemeja putih, yang ku tambah dengan sebuah jaket hitam dan jam tangan. "Iya, Mi. Roby sudah siap." Aku langsung turun menemui Abah dan Umi.

"Kalau begitu, kita langsung berangkat." Abah menyerahkan kunci mobil pada ku. Segera, mobil Avanza hitam melaju, meninggalkan pekarangan rumah.

Selama perjalanan aku benar-benar tidak tenang. Gugup, detak jantung tak beraturan, nafas memburu. Ya, Tuhaaaan. Tolong lah. Hingga akhirnya kami tiba di sebuah rumah. Kulihat seorang pria paruh baya menyambut kami. Mungkin seumuran dengan Abah.

"Halo, sastra. Apa kabar?" Ucap pria itu sambil memeluk Abah.

"Baik, sangat baik. Kenalkan ini putra ku, Roby." Pria itu tersenyum, aku langsung menyalaminya lalu mencium tangannya takzim. Lalu kemudian kami di persilakan masuk. Ku lihat Abah dan juga Om Bima asik berbicara, seolah melepas rindu. Begitu juga dengan Umi. Sedangkan aku? Aku sama sekali tidak tenang. Gugup ku semakin bertambah. Hingga akhirnya langkah kaki mengalihkan pandangan kami.

Seorang gadis dengan gamis navy dengan hijab senada turun, menapak setiap anak tangga dengan wajah menunduk. Tak ada make up tebal di wajahnya. Sederhana, fikirku. Tapi dia terlihat masih sangat muda. Apa dia calon istri ku? Tapi kenapa wajahnya tak asing? Apa aku pernah bertemu dengannya?

Kemudian Abah dan Om Bima saling memperkenalkan kami. Aliya, itulah namanya. Tapi ia tetap menunduk. Tak menoleh sedikitpun.

"Nak, Aliya. Abah dan Umi datang kemari bermaksud melamar kamu untuk Roby. Abah kira kamu juga sudah tahu. Lalu bagaimana?" Mendengar pertanyaan Abah kulihat dia mengangkat wajahnya. Memandangi Umi, Abah, lalu aku. Tapi saat menatap ku, ia terlihat kaget. Kenapa? Apa yang salah dengan ku?

Ku lihat ia menarik nafas dalam. "Bismillah, Aliya terima lamarannya, Bah." Seketika Hamdalah menggema. Aku juga melepas nafas lega.

"Lalu, kapan pernikahan nya akan di laksanakan? Bagaimana kalau bulan depan?" Tanya Abah.

"Itu terlalu lama. Minggu depan saja. Niat baik harus di segerakan." Aku dan Aliya hanya bisa terdiam. Seolah ini semua bukan tentang kami. 'Mungkin dia juga tidak menginginkan ini' fikir ku.

Hingga akhirnya kesepakatan selesai. Pernikahan akan di adakan jum'at depan, dan hanya mengundang keluarga terdekat. Setelahnya, kami pamit pulang, karna malam sudah semakin larut. Kembali dada ku terasa sesak untuk yang kesekian kalinya, memikirkan minggu depan akan menjadi hari pernikahan ku.


Seminggu terasa cepat berlalu, hari ini aku akan datang menghalalkan gadis pilihan Abah. Aku mematut diri di cermin. Kemeja putih, jas putih, peci putih serta celana senada, di tambah sebuah jam tangan. Sempurna dari segi penampilan. Tapi tak ada gurat kebahagiaan di wajah ku. Aku sibuk memikirkan gadis yang sudah lama aku sukai.

"By, ayo berangkat. Jangan sampai kita terlambat. Akadnya akan di laksanakan jam 10." Ku alihkan pandangan pada Umi, terlihat rona bahagia di wajahnya. Hingga akhirnya aku tersenyum dan mengangguk.

Bersambung...

Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 3"