Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 6



Genre : Misteri Dan Romance

Selama perjalanan, kami hanya saling diam. Tak ada saling tanya dan kikuk. Selang 2 jam perjalanan kami tiba di rumah. Beruntung Aliya sudah berhenti menangis. Jika tidak, umi akan mengira aku yang membuatnya menangis.

Saat mobil berhenti, kulirik Aliya yang tertidur. "Al, bangun. Kita sudah sampai!" Aku sedikit mengguncang bahunya. Nihil, dia terlihat pulas. "Mungkin masih lelah karena acara kemarin." Fikir ku.


Aku memutuskan untuk menggendongnya masuk. "Assalamu'alaikum, Umi, Bah," salamku saat memasuki rumah. Kulihat Umi keluar dari dapur.

"Waalaikumsalam. Eeh, kalian sudah sampai, By. Loh, Aliya kenapa, By?" Kulihat wajah Umi sedikit bingung melihat Aliya di gendonganku.

"Gak papa, Mi. Tadi Aliya ketiduran di mobil. Mungkin masih capek, Mi," jawabku

"Yasudah, bawa naik ke kamar. Kalian istirahat dulu." Aku langsung menaiki tangga. Tubuh Aliya yang mungil membuatku tak kesulitan. Ku perkirakan, mungkin hanya 47 kilo dengan tinggi yang hanya 158 cm. Aku tersenyum sendiri memikirkan itu.

Setelah masuk kamar, ku rebahkan Aliya di kasur. Dia sedikit terusik. Ku lirik jam tangan yang menunjukkan pukul 11 siang. Lalu aku berlalu menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri. Setelah 15 menit, aku keluar dengan wajah yang lebih segar. Kulihat Aliya masih tertidur pulas.

"Aliya masih tidur, By.?" Tanya Umi saat aku sampai di dapur untuk mengambil air minum.

"Iya, Mi. Sepertinya, menantu Umi itu tukang tidur," jawabku sambil tertawa.

"Masih capek kali, By." Umi juga tertawa mendengar perkataan ku.

"Abah kemana, My.?" Tersadar sejak tadi tak melihat Abah.

"Abah lagi di bengkel. Tadi katanya ada urusan. Sebentar lagi juga pulang." Aku mengangguk mendengar jawaban Umi.

Aku berlalu menuju sofa yang ada di ruang tamu sambil menonton tv. Sedangkan Umi, kembali melanjutkan aktivitas memasaknya.

Tepat pukul 12 Abah sampai rumah.

"Aliya mana, By.?"

"Di kamar, Bah. Ketiduran tadi di mobil," jawabku sambil menyalami tangan Abah.

"By, panggilkan isterimu. Kita makan siang," teriak Umi dari dapur.

"Iya, My." Aku langsung menuju kamar. Ku lihat ia masih tertidur pulas.

"Al, Aliya bangun. Ini sudah siang." Aku mengguncang bahunya.

"Eehg." Ia menggeliat karena terusik. Lalu kemudian duduk. Kulihat ia memutar-mutar kepala melihat sekeliling.

"Kakak, kita sudah sampai.?" Dengan suara parau sambil mengucek mata.

"Sudah dari sejam yang lalu." Aku duduk di sisi ranjang.

"A-apa.? Kenapa gak bangunin Aliya.? Terus siapa yang bawa Aliya ke kamar.?" Terus, Umi.? Ihh, kakak gimana, sih.! Aliya kan jadi gak enak sama, Umi.!" Rentetan pertanyaan keluar dari bibirnya dengan wajah khawatir.

"Tadi aku udah bangunin kamu pas sampai rumah. Tapi kamunya aja yang tidur kayak tupai lagi berhibernisasi." Aliya cemberut mendengar perkataan ku.

"Sudah, sekarang kamu cuci muka. Kita turun ke bawah, Abah dan Umi udah nunggu di meja makan." Ia langsung berlari menuju kamar mandi. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Setelahnya kami turun bersama.

"Ehh, Aliya. Duduk, sayang. Kita makan siang Sama - sama." Aliya menyalami Umi dan Abah.

"Maaf ya, Mi. Aliya gak bantuin Umi masak." Aliya terlihat kikuk. Ku lihat Abah tersenyum.

"Sudah, tidak apa - apa. Umi tau, kamu pasti masih capek." Umi mengelus - elus bahu Aliya dengan penuh kasih sayang. Hem... Kasih sayang umi akan terbagi, fikirku.

"Ehm. Ehm. By, Abah sudah lapar. Kamu bagaimana.?" Tanya abah karna merasa di acuhkan.

"Iya, Bah. Roby juga lapar. Rasanya ada perang dingin di perut Roby." Umi dan Aliya terkekeh mendengar perkataan ku. Lalu setelahnya kami makan siang bersama dalam kehangatan.

Setelah makan siang, Umi pamit pergi menemui temannya. Sedangkan Abah dan Kak Roby pergi kebengkel. Akhirnya aku memutuskan kekamar setelah selesai mencuci piring. Di rumah ini memang tidak ada asisten rumah tangga, hanya ada seorang supir.

Aku membuka lemari pakaian kak Roby, bermaksud mencari tempat untuk menaruh pakaian ku. Kulihat, hanya setengah dari ruang lemari yang terpakai. Memudahkan ku untuk menyimpan pakaianku.

Saat menjelang magrib, Abah dan kak Roby pulang. Langsung masuk ke kamar masing-masing untuk mandi. Setelahnya pergi ke masjid dan pulang setelah isya. Sementara aku dan Umi sholat di rumah.

Setelah selesai makan malam, aku dan kak Roby masuk kamar.

"Al, dua hari lagi kita akan tinggal di rumah kita," ucap kak Roby sambil membaringkan tubuh di kasur saat kami memasuki kamar.

"Ke mana, Kak.? Kenapa kita harus pindah.?" Tanyaku sambil berlalu menuju sofa.

"Aku punya rumah di jalan ***, hari kamis depan aku sudah masuk ngajar lagi. Kemarin aku hanya ambil cuti 3 hari. Jarak rumahnya lebih dekat ke madrasah." Aku baru tahu, kalau suamiku ini adalah seorang guru. Ku dengar suara kak Roby mulai pelan. Tunggu, pelan.?

"Kak, kakak gak akan tidur di kasur, kan.?" Pekikku dengan suara nyaring. Membuat mata kak Roby terbuka kembali.

"Kenapa sih, Al.? Gak boleh.? Udah sah juga," ucapnya sambil menutup kembali matanya.

"Ta- tapi Aliya gak mau tidur bareng, kakak.!" Jawabku.

"Sudah, gak papa. Aku gak bakalan ngapa - ngapain kamu. Sini tidur, aku ngantuk." Kak Roby tetap memejamkan matanya. Membuat ku memutar otak, agar dia mau bangkit dari kasur itu. Aku belum siap untuk tidur bersamanya.

"Ya-yasudah. Kalau begitu, biar Aliya aja yang tidur di sofa." Tapi nihil, kak Roby tak bergeming.

Kulihat nafasnya sudah teratur. "What.? Jadi aku beneran tidur di sofa.? Dasar suami gak peka.! Gimana bisa dia biarain aku tidur di sini.? Iiiiiih, suami nyebelin." Gerutuku dalam hati. Akhirnya aku harus tidur di sofa dengan perasaan dongkol.

Adzan subuh membangunkanku dari tidur nyenyak. Nyenyak.? Aku tersadar bahwa aku berada di atas kasur. Dan kulihat kak Roby berada di sofa. Sekilas aku tersenyum. Ku dekati kak Roby yang masih tertidur.

Memandangi wajahnya lebih dekat. Rahang tegas, alis hitam tebal, hidung yang cukup mancung, bibir yang tidak terlalu tebal, bulu mata sedikit lentik, tubuh kekar.


"Astagfirullah, ampuni mataku ya, Allah," gumamku sambil mengalihkan pandangan. Tunggu, bukannya dia suamiku.? Aku kemudian tersenyum geli membayangkan itu semua.

"Kakak, bangun. Sudah subuh." Aku menarik - narik lengan bajunya.

"Eh, Al. Sudah bangun.? Sudah subuh, ya.?" Aku langsung mengangguk dan mundur beberapa langkah. Kemudian kami sholat subuh bersama.
#aurora

Bersambung...




Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 6"