Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 8

Sihalo halo
Sahdia Ritonga


Genre : Misteri Dan Romance

Suara Azan subuh selalu menjadi alarm bagiku. Ku pandangi wajah sendu Aliya yang masih tertidur pulas berbantal lenganku, membuat darah seolah tak mengalir dan kesemutan.

"Apa sebenarnya yang terjadi pada mu, Al.? Kenapa selalu ketakutan.?" Bisikku sambil mengelus pipinya. Tapi pertanyaanku tak pernah terjawab. Seolah dia menyembunyikan sesuatu.

"Al, bangun! Sudah subuh." Aku menepuk-nepuk pipinya pelan. Namun bukannya bangun, dia malah mengeratkan pelukannya. Sejenak aku terdiam, menikmati waktu ku yang bisa memandangi wajahnya dengan puas. Ada getar aneh di dada.


"Aliya, bangun. Kita sholat dulu, nanti kau bisa lanjut tidur lagi." Ku goncang sedikit bahunya, agar segera bangun. Dan berhasil, dia bangun lalu kami melaksanakan sholat bersama.

Hari ini aku akan kembali mengajar setelah cuti selama tiga hari. Setelah selesai berkemas dan sarapan bubur yang ku beli di warung sekitar rumah, aku berangkat menuju madrasah.

"Al, aku berangkat." Pamitku. Aliya mencium tanganku takzim.

"Jam berapa kakak akan pulang.?"

"Aku akan pulang sekitar jam 12. Kita akan makan siang bersama." Aliya mengangguk. Dan aku berangkat menggunakan motor, aku memang jarang menggunakan mobil untuk ke madrasah. Hanya sesekali saat di perlukan.

Saat Roby memasuki pekarangan madrasah, banyak siswi yang menyapa. Bahkan ada yang berbisik-bisik memuji. Itu sudah menjadi hal biasa baginya.

Ketika hendak memasuki ruangan, dia berpapasan dengan Halimah, yang juga pengajar di madrasah ini. Seketika jantungnya berpacu, Halimah adalah gadis yang telah lama ia suka. Bahkan pernah berniat untuk melamar gadis itu.

"Selamat pagi pak, Roby.?" Sapa Halimah sambil menundukkan pandangannya. "Tumben selama beberapa hari bapak tidak keliatan di sekolah!" Lanjutnya.

"E- eh. Iya, bu. Selamat pagi. Kemarin saya mengambil cuti, ada urusan," jawab Roby terbata. Rasa bersalah terbersit di sanubari. Bersalah karna pernah menjanjikan akan melamar gadis yang ada di hadapannya ini, dan juga merasa bersalah pada isterinya yang belum bisa mencintainya hingga kini. Dan masih ada nama Halimah di hatinya.

"Kalau begitu saya pamit!" Halimah berlalu meninggalkan Roby yang masih mematung. Roby belum memberitahu perihal pernikahannya. Pasalnya saat pernikahan, hanya keluarga dekatlah yang di undang. Dan mereka baru pindah kemari kemarin sore.

Setelah Roby berangkat, Aliya mulai melakukan aktivitasnya. Mulai dari membereskan pakaian mereka ke lemari, menyapu dan juga mengepel. Saat tinggal bersama Ayah, ia tak pernah melakukan itu semua. Ada bu Darmi yang selalu bisa di andalkan. Tapi sekarang berbeda, sadar telah menikah, Aliya harus mulai belajar melakukan tugasnya sebagai isteri.

Hingga tak terasa jam telah menunjukkan pukul 11 siang. Aliya membuka kulkas, berniat untuk memasak. Walaupun sebenarnya ia tak bisa, tepatnya belum pernah memasak. Tapi kulkasnya kosong. Segera ia mengambil ponsel dan menghubungi Roby.

Tuuut... tuut...

"Hallo, kakak. Assalamu'alaikum.?"

"Waalaikumsalam, Al. Kenapa.?" Tanya Roby.

"Kak, Aliya mau masak. Tapi kulkasnya kosong," adu Aliya.

"Memangnya, kamu bisa masak.?" Aliya terdiam sambil mengerucutkan bibir mendengar pertanyaan Roby.

"Sudah, nanti aku akan beli makan di luar. Kita belanja setelah aku pulang."

"Baiklah. Aliya tunggu. Assalamu'alaikum." Aliya mematikan sambungan telpon. Lalu beranjak menuju kursi di ruang tamu. Berniat untuk istirahat, tapi ternyata malah ketiduran.

"Assalamu'alaikum." Jam setengah 1 aku tiba di rumah. Aku langsung di suguhkan pemandangan isteri ku yang tertidur pulas di kursi. Kulihat rumah sudah bersih. Pasti lelah, fikirku.

"Al, bangun. Kenapa tidur di sini?" Ku elus kepalanya yang tak terbungkus hijab. Beginilah Aliya saat di rumah, menggunakan pakaian yang sedikit terbuka.

"Eh, kakak. Sudah pulang! Tadi Aliya ketiduran." Ia duduk lalu mencium tanganku.

"Sudah solat?" Ia menggeleng. "Yasudah, sholat dulu. Lalu kita makan siang." Ia beranjak menuju kamar untuk sholat. Aku kedapur menyiapkan makan siang yang ku beli tadi. Sebelumnya aku sudah sholat di mushola madrasah.

Seperti janjiku tadi, sore ini aku mengajak Aliya ke pasar untuk berbelanja. Ia terlihat antusias dan bersemangat. Dan sesekali ia tertawa saat berinteraksi dengan pedagang. Aku hanya tersenyum menyaksikannya.

Setelahnya kami mampir ke mini market untuk membeli beberapa barang lain. Aliya juga mengambil beberapa barang pribadi, ada barang khusus yang selalu diperlukan wanita tiap bulan di keranjang yang ku tenteng. Aku tertawa geli melihat benda itu. Namun tawaku terhenti ketika melihat Aliya yang menatapku dengan tatapan tajam, seolah hendak menerkam.

Saat mengantri di meja kasir, aku kembali bertemu dengan Halimah.

"Eh, ada mas Roby." Begitulah, saat di luar madrasah Halimah memanggilku dengan sebutan mas. Dia melirik Aliya yang berdiri di sampingku, sambil mengernyitkan dahi.

"Eh, ini siapa, mas.? Hallo, saya Halimah." Halimah menyodorkan tangannya.

"Aliya." Menyambut tangan Halimah sambil tersenyum. Aku diam seribu bahasa. Lagi-lagi rasa bersalah menyelimuti hatiku. Tak kujawab pertanyaan Halimah. Setelah membayar belanjaan, aku langsung mengajak Aliya kembali.

"Maaf, Halimah. Kami duluan." Aku langsung menyambar tangan Aliya menuju mobil.

"Kakak kenapa.? Kenapa jadi tegang begitu.? Lalu, siapa wanita tadi?" Rentetan pertanyaan Aliya membuatku semakin bingung.

"Bukan siapa-siapa." Singkatku, ku lihat Aliya mencebik.


Setelah selesai makan malam, aku dan Aliya masuk kamar. Aku tak banyak bicara sejak kejadian tadi siang. Kulihat Aliya juga sedikit kesal dengan sikapku.

"Kakak kenapa tidur di kasur, Aliya.?" Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaannya. Sejak kapan ini menjadi kasurnya.? Aku yang membeli kasur ini, camku dalam hati.

"Sudah, tidak apa-apa. Aku janji gak bakal nyentuh kamu. Lagian nanti kalau mati lampu lagi gimana?" Kulihat sejenak Aliya berfikir, lalu kemudian ikut berbaring sambil membelakangiku. Tiba - tiba ide jahilku muncul.

Aku melingkarkan lenganku di perutnya sambil berbisik, "Aliya, tidak baik memunggungi suami saat tidur." Sontak ia kaget dan menepis tanganku.

"Ih, kakak. Jangan peluk - peluk." Kulihat nafasnya memburu dan tegang.

"Ck, kemaren aja kamu tidur di pelukanku semalaman, masa sekarang aku gak boleh meluk." Ucapku sambil kembali melingkarkan tanganku di perutnya.

"Ih, lepasin. Pokoknya Aliya gak mau dipeluk. Risih." Kembali ia menepis tanganku.

"Hah, yang maunya meluk tapi gak mau dipeluk. Yaudah sini, kamu yang meluk." Ucapku sambil merentangkan tangan.

"Gak. Awas ya, kalo meluk lagi. Nanti Aliya kunci dikamar mandi." Terlihat wajahnya mulai kesal dan bersemu merah. Membuatku merasa gemas.

"Ih, galak amat sih, Neng.!" Aku mencubit kedua pipinya. Membuat raut wajahnya semakin cemberut.


Aku kemudian mengecup keningnya sekilas lalu bebisik, "Yasudah, selamat malam." Aliya kaget dan mematung mendapat perlakuanku. "Jangan lupa nafas, Al.!" Godaku lagi.

"Ih, kakaaaaak. Nyebelin.!" Teriaknya sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan, lalu kembali memunggungiku. Aku tertawa geli melihat tingkahnya yang mengemaskan.
#aurora

Bersambung...





Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 8"