Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 9

Gadis Cakep
Vida JR


Genre : Misteri Dan Romance
Dua minggu sudah Aliya dan Roby menempati rumah mereka. Hubungan diantara keduanya pun tak sekikuk dulu lagi. Tidur bersama tak lagi masalah bagi Aliya.

Melihat Roby yang sibuk dengan kertas-kertas yang menumpuk di meja membuat Aliya merasa bosan. Sedari selesai isya Roby sibuk memeriksa tugas - tugas muridnya.

"Ck, apa guru tetap sibuk saat di rumah.? Apa aku ini astral yang tak terlihat baginya.?" Batin Aliya dongkol.


Kemudian ia menggapai ponsel yang terletak di nakas. Mulai membuka aplikasi game, dan memainkannya cukup lama. Namun Roby tetap sibuk tanpa menoleh. Aliya kemudian membuka aplikasi yang biasa di pakai untuk menonton. Ia mulai larut dengan tayangan yang ia lihat. Mulai senyum - senyum, tertawa dan menangis tak jelas.

"Kamu lagi apa sih, Al.?" Roby yang terusik, mendekat dan duduk di sisi Aliya.

"Hiks... hiks... kak, coba liat. Kenapa dia harus menghilang.? Kenapa dia harus mati? Dan coba liat, dia menghilang seperti abu. Kan, kasian ceweknya. Hiks... hiks." Aliya menunjukkan drama korea berjudul Goblin yang ia lihat kepada Roby.

"Astaga, Aliya. Ini cuma drama. Ini bohong." Roby menggeleng melihat tingkah labil isterinya.

"Ih, kakak. Tetep aja kasian." Cetus Aliya dengan mata masih berkaca-kaca.

Roby meraih tubuh isterinya kedalam pelukan. "Sudah. Ada-ada saja kamu ini." Sambil mengalus rambut Aliya.

"Oh, iya. Besok aku ada acara pelatihan. Tempatnya cukup jauh. Tidak mungkin pulang hari." Aliya melepaskan pelukan suaminya lalu menatap lekat manik Roby.

"Hem... kakak akan pergi.?" Roby mengangguk. "Berapa hari.? Kenapa baru bilang sekarang.?" Tanyanya.

"Tiga hari. Ini juga mendadak tadi." Aliya menunduk. "Tidak apa - apa, kan.?" Roby mengangkat dagu Aliya. Menatap lekat manik sang isteri untuk meminta ijin.

"Yasudah, tidak apa-apa."

"Yakin? Atau mau aku telpon Umi buat nemenin kamu?" Aliya seketika menggeleng.

"Gak usah, Kak. Aliya gak papa sendiri. Kan da tetangga juga, nanti kalau ada apa-apa bisa minta tolong mereka." Aliya mencoba meyakinkan. Akhir-akhir ini Aliya memang sudah mulai membaur dengan tetangga mereka.

"Baiklah, kalau begitu sekarang kita tidur. Sudah jam sepuluh." Aliya mengangguk dan merebahkan tubuh di kasur.

"Al, gak mau di peluk.? Besok aku gak akan ada di rumah, Loh!" Goda Roby. Seketika Aliya langsung menghambur kepelukan Roby, sambil menenggelamkan wajahnya di dada sang suami. Roby tersenyum sambil sesekali mengecup ujung kepala Aliya yang tak terbungkus hijab.

*****

Aliya mengantar Roby ke depan pintu. Sebenarnya berat baginya harus ditinggal suami. Bukan karena manja, tapi masalah gadis dengan dress hitamlah yang membuat Aliya gelisah.

"Al, aku berangkat." Roby menyodorkan tangannya ke arah Aliya. Namun bukannya menyambut tangan sang suami, Aliya justru menghambur, memeluk erat Roby. Seolah takut kehilangan.

"Kakak." Suaranya terdengar berat. Roby membalas pelukan kan Aliya sambil sesekali mencium pucuk kepala isterinya lembut.

"Sudah, jangan manja. Aku hanya sebentar. Nanti kalau kau bosen sendirian di rumah, kabari aku. Aku akan meminta Umi untuk menemanimu. Dan saat aku tak ada, jangan terlalu sering keluar rumah jika tak perlu." Aliya semakin mengeratkan pelukannya, dan matanya juga mulai berkaca - kaca.

"Al, aku harus berangkat sekarang. Jika tidak aku bisa telat." Roby melepaskan pelukannya, Terlihat mata Aliya yang berembun. Roby tersenyum melihat ekspresi Aliya yang cemberut. Rasa senang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Ini kali pertama ia melihat Aliya begitu sedih ketika ia pergi.

"Aku berangkat. Baik - baik dirumah." Roby mengecup kening Aliya cukup lama. Ada desir aneh yang mereka rasakan.

*****

Ini adalah malam pertama bagi Aliya tanpa Roby sejak mereka menikah tiga minggu lalu. Ada rindu yang menyelimuti hatinya, padahal baru beberapa menit yang lalu mereka saling berbicara. Dia merindukan sikap Roby yang selalu menggodanya, merindukan kecupan kening yang selalu Roby berikan sebelum tidur. Entahlah, Aliya bingung apa yang sedang ia rasakan. Malam ini terasa berat baginya. Hingga akhirnya ia tertidur dengan dada yang terasa sesak.

*****

Tak banyak yang Aliya lakukan saat Roby tak ada. Kesepian menyelimuti harinya. Hingga malam tiba, Aliya hanya bermalam-malasan.

Secara tiba-tiba listrik mati sekitar pukul 9 malam. Membuat Aliya seketika ketakutan. Ia juga mulai mendengar suara-suara sumbang yang menakutkan. Ada yang menangis, tertawa, bahkan berteriak. Tubuhnya seketika menggigil dan gemetar.

"Siapa kalian?" Bentaknya dengan suara gemetar. "Apa mau kalian.? Kenapa selalu menggangguku?" Sungguh, saat ini Aliya benar-benar ketakutan.

"Tenang, Aliya. Jangan dengarkan. Mereka hanya halusinasi mu."

"Si- siapa kau.?" Aliya semakin ketakutan mendengar suara seorang wanita yang berbicara padanya. Seketika listrik kembali menyala, membuat Aliya melihat sosok yang ada di hadapannya.

"Kau... kau. Siapa kau.? Apa maumu.? Kenapa selalu menggangguku?" Aliya semakin ketakutan, keringatnya mulai mengucur ketika melihat gadis dengan dress hitam itulah yang berbicara dengannya.

"Jangan takut. Aku tak akan menyakitimu. Aku hanya ingin meminta pertolonganmu.?" Gadis itu semakin mendekat.

"Jangan mendekat. Apa maksudmu.? Kenapa aku harus menolongmu.?" Aliya mundur sambil meraih ponselnya dan langsung menghubungi Roby. Namun tak dijawab.

"Jika kau membantuku, aku tak akan mengganggumu lagi."

"A- apa yang harus aku lakukan.?" Tanya Aliya dengan nafas tersengal.

"Ungkaplah kematian ku. Aku akan memberitahu mu. Ada bukti dikamarku. Sesaat sebelum kematianku. Aku sedang merekam aktivitasku di kamar, hingga seseorang datang dan membunuhku secara keji. Tak ada yang tahu tentang rekaman itu, karena tak ada yang peduli denganku." Sejenak Aliya terdiam.

"Ta-tapi aku tak tau rumahmu." Dengan suara yang masih gemetar.

"Aku akan menunjukkannya padamu." Akhirnya Aliya setuju. Lagi pula ia sudah muak dengan semua ini.

Setelah mengendarai taxi selama satu jam, akhirnya Aliya tiba di sebuah rumah mengikuti arahan gadis itu. Terlihat rumah itu begitu tak terawat, seolah tak pernah di jamah oleh manusia dalam waktu yang cukup lama. Gadis itu kemudian menuntun Aliya masuk ke sebuah ruangan, dan menunjuk sebuah ponsel yang berada di sudut dekat lemari.

Kemudian gadis itu meminta Aliya menyerahkan ponsel tersebut kepada polisi setempat tanpa melihat isinya. Aliya kemudian menuruti permintaannya. Dengan dalih menemukan, Aliya meminta polisi mengecek isi ponsel tersebut agar tau siapa pemiliknya. Lalu setelahnya ia kembali pulang, dan tiba di rumah pukul 1 dini hari.

"Terimakasih, aku akan pergi. Hiduplah dengan tenang. Dan ingat, hanya akulah yang nyata diantara yang kau lihat. Sedangkan yang lain hanyalah halusinasimu. Maaf karena telah mengganggumu selama ini." Gadis itu tersenyum kemudian perlahan mulai menghilang.

Aliya kemudian melangkah memasuki rumah, sungguh ia merasa tubuhnya sangat lelah. Tenaganya seolah terkuras hingga habis. Ia melangkah gontai menuju ponselnya yang berbunyi di lantai, bertuliskan 'kak Roby'.

"Halo, kakak." Dengan suara lemah, Aliya berusaha menjawab panggilan.

"Halo, Aliya. Kau dari mana saja? Aku menelponmu dari tadi. Apa kau baik-baik saja? Tadi kau menelpon saat aku sedang di kamar mandi." Namun tak ada jawaban, hanya suara bantingan pada ponsel lah yang ia dengar.

"Halo, Al. Apa kau mendengarku? Al, jawab! Jangan membuatku khawatir." Namun tetap tak ada sahutan. Membuat khawatir menyelimuti perasaannya. Dengan langkah seribu Roby mengemas barang-barang lalu melaju dengan kecepatan tinggi. Rasa khawatir membuatnya tak mampu berfikir jernih.

Selama perjalanan ia terus menyebut nama Aliya. Dan berdoa tanpa henti agar tak terjadi sesuatu. Hingga akhirnya ia tiba di rumah pukul 3 dini hari. Perjalanan yang biasa di tempuh hingga hampir 4 jam, ia lahap hanya dalam waktu 1 jam lebih.

Berlari memasuki rumah, ia melihat Aliya tergeletak di lantai.

"Al, bangun, Al. Apa yang terjadi?" Roby merangkul tubuh Aliya yang terasa dingin.

"Kakak." Aliya tersadar dari pingsannya.

"Aliya, apa yang terjadi? Kenapa kau sampai pingsan?" Terlihat raut khawatir di wajah Roby.


"Kakak, Aliya capek. Bawa Aliya kekamar." Terdengar suara Aliya begitu lemah. Tanpa fikir panjang, Roby membopong tubuh Isterinya kekamar. Dengan hati-hati ia meletakkan Aliya di kasur. Lalu ikut berbaring dan memeluk tubuh Aliya.

"Apa yang terjadi, Al? Apa yang kau sembunyikan dari, ku?" Roby mengelus pipi Aliya lembut yang hanya di balas senyuman dengan wajah yang terlihat sangat lelah dan lemah. Tak berapa lama terdengar suara Azan subuh. Dengan bantuan Roby, Aliya berwudhu lalu sholat bersama. Setelahnya mereka tidur kembali. Karena semalaman suntuk mereka tak tidur.
#aurora

Bersambung...






Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta – Penawar Mata Part 9"