Pembubaran Partai Politik Pengusul RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP)
Oleh : Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Direktur
HRS Center), Jakarta, 19 Juni 2020
Kegaduhan
atas keberadaan Rancangan Undang - Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP)
tidak berhenti, walaupun pemerintah menyatakan menunda pembahasannya.
Elemen
rakyat semakin giat melakukan penolakan dan penghentian pembahasan RUU, jadi
bukan hanya ditunda. Terlebih lagi sekarang dipersoalkan siapa pihak pengusul
RUU HIP. Pernyataan politisi Partai Demokrat Taufik Hidayat, pengusul RUU HIP
sangat penting diungkap ke publik, sebab pengusul bisa masuk dalam kategori
pemberontak negara.
Penulis
dapat memahami pernyataan tersebut, bahwa pengusul dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana. Acuannya adalah Undang - Undang
Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab - Kitab Undang - Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Undang - undang ini diterbitkan memang secara khusus
guna mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dari adanya ancaman dan
bahaya ajaran Komunisme / Marxisme - Leninisme, yang terbukti bertentangan dengan
agama, asas - asas dan sendi kehidupan bangsa Indonesia yang
ber-Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umumnya.
Terkait
dengan hadirnya RUU HIP, maka pokok persoalan menunjuk masuknya ajaran
Komunisme / Marxisme-Leninisme dengan berbagai implikasi
yuridisnya. RUU-HIP menggunakan nomenklatur ’ideologi’, namun substansi inti dalam
RUU justru memasukkan dasar filsafat negara (philosofische grondslag) dan
bahkan melakukan perubahan siqnifikan terhadap Pancasila.
Perubahan
dimaksud antara lain yang paling prinsip adalah perihal Ketuhanan Yang Maha Esa
dan Keadilan Sosial. Keberadaan Keadilan Sosial disebutkan dalam RUU-HIP
sebagai Sendi Pokok Pancasila. Dengan demikian, posisinya menggantikan sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Tegasnya
terjadi perubahan posisi (mutasi) sila.
Hal
ini secara tidak langsung juga mengamandemen Pasal 29 ayat 1 UUD NRI 1945,
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, akan tergantikan dengan “Negara
berdasar atas Keadilan Sosial”. Padahal sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
“causa prima” Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi titik sentral dari
kehidupan kenegaraan.
Dalam
kaitan ancaman dan bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, maka terjadinya
perubahan demikian memberikan peluang masuknya konsep Keadilan Sosial versi
Sosialisme - Komunisme. Kemudian perihal Ketuhanan yang
berkebudayaan dalam RUU-HIP. Ketuhanan yang berkebudayaan melekat erat dengan
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang kemudian terkristalisasi dalam
ekasila, yaitu gotong-royong.
Walaupun
pemahaman ini diambil dari pidato Bung Karno saat sidang di BPUPKI tanggal 1
Juni 1945, namun itu bukan menjadi keputusan BPUPKI. Oleh karenanya, penggunaan
istilah Ketuhanan yang berkebudayaan adalah sama dengan merubah atau mengganti
Pancasila.
Perubahan
demikian pastilah dilakukan secara sengaja yang menunjuk dengan maksud, yakni menghendaki / mengetahui
baik perbuatan maupun akibatnya. Perubahan atas Pancasila sebagai dasar negara
disederajatkan dengan mengganti.
Tindakan
mengubah atau mengganti Pancasila menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 27
Tahun 1999 menunjuk pada perbuatan tindak pidana asal (predicate crime) yakni
menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Selengkapnya
dapat dilihat pada Pasal 107 huruf d yang menyebutkan,”Barangsiapa yang secara
melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun,
menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan
maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Pasal
107 huruf d ini merupakan delik pemberat dari Pasal 107 huruf a. Pada Pasal 107 huruf a terhadap perbuatan menyebarkan
atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme tidaklah dimaksudkan
untuk mengubah atau mengganti Pancasila.
Pelaku
hanya melakukan menyebarkan atau mengembangkan. Tidak demikian halnya dengan
Pasal 107 huruf d, pelaku menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila
sebagai dasar Negara.
Dalam
kaitannya dengan kehadiran RUU HIP, maka Partai pengusul dengan memasukkan
ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dapat dipidana dengan dasar adanya
kesalahan sebagai unsur subjektif yang ditandai adanya kesengajaan dengan
maksud.
Partai
pengusul dengan para anggotanya tentu terkait pernyataan kolekifnya. Oleh
karena itu, di dalamnya terdapat pernyataan pikiran kolektif guna pemenuhan
maksud perubahan Pancasila sebagaimana terdapat dalam RUU HIP. Pernyataan
pikiran kolektif ini dianggap sebagai penggunaan pikiran secara salah. Adapun
kegiatannya merupakan bagian dari pernyataan pikiran sebagai bentuk perbuatan
melawan hukum.
Kesengajaan
merupakan tanda yang paling utama untuk menentukan adanya kesalahan pembuat
delik. Kesengajaan dapat terjadi jika pembuat telah menggunakan pikirannya
secara salah, dalam hal ini pikirannya dikuasai oleh keinginan dan
pengetahuannya yang ditujukan pada suatu tindak pidana.
Pada
tindakan mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, perbuatan
menunjuk pada tindakan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme
melalui lisan, tulisan dan atau melalui media apapun.
Pembentuk
undang - undang
menambahkan frasa ”dan atau melalui media apapun” memang mengandung pengertian
yang luas. Menurut penulis termasuk dalam kaitan perumusan rancangan undang - undang
(in casu RUU HIP). Sepanjang dilakukan dengan maksud mengubah atau mengganti
Pancasila sebagai dasar Negara, maka Partai pengusul RUU HIP dapat dijerat
dengan Pasal 107 huruf d. Pada tindakan mengubah atau mengganti Pancasila, maka
kesengajaan sebagai maksud memang diarahkan guna mencapai tujuan yang
dikehendaki.
Selanjutnya,
menyangkut bentuk pertanggungjawaban terhadap Partai pengusul sebagai
rechtspersoon, maka berlaku asas strict liability, yakni pertanggungjawaban
pidana tanpa kesalahan. Pelaku sudah dapat dipidana apabila dia telah melakukan
perbuatan pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, tanpa melihat
bagaimana sikap batinnya.
Adapun
kewenangan pengajuan pembubaran ada pada pihak pemerintah melalui gugatan
kepada Mahkamah Konstitusi. Pengajuan permohonan pembubaran partai politik
antara lain didasarkan atas alasan menganut, mengembangkan serta
menyebarluaskan ajaran Komunisme/ Marxisme – Leminisme atau pengurus partai
politik menggunakan partai politiknya untuk melakukan tindak pidana kejahatan
terhadap Keamanan Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor
27 Tahun 1999.
Dengan
demikian, kedua alasan ini sangat relevan dengan perubahan atas Pancasila
sebagaimana terdapat dalam naskah RUU HIP. Patut dicatat Pasal 107 huruf d
tergolong delik formil, tidak memerlukan adanya suatu akibat. Demikian.
Silahkan
untuk diviralkan maupun dimuat dalam media.
Posting Komentar untuk "Pembubaran Partai Politik Pengusul RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP)"
Silahkan tinggalkan komentar agar kami lebih baik.