Fiqih Muamalah II - Ji’alah Hukum Ji’alah Rukun Dan Syarat Ji’alah
A. PENGERTIAN
JI’ALAH
Ji’alah atau ju’alah berasal dari kata ja’ala
– yaj’alu – ja’lan. Secara harfiah bermakna mengadakan atau menjadikan,
sedangkan ju’alah berarti upah.
Sayyid sabiq menjelaskan ji’alah menurut
bahasa yaitu sesuatu yang diberikan kepada seseorang atas apa yang telah
dikerjakan. Sedangkan Wahbah Az-Zuhaily berpendapat, ji’alah adalah sesuatu
yang diberikan kepada seseorang terhadap apa yang dikerjakannya atau sesuatu
yang diberikan kepada seseorang terhadap perkara yang dikerjakannya.
Ji’alah menurut istilah yaitu akad terhadap
suatu manfaat yang diperkirakan akan mendatangkan hasil, sebagaimana dilazimkan
dengan suatu upah tertentu bagi orang yang menginginkan kembalinya barang yang
hilang, binatang yang lari dapat pulang, membangun dinding rumah, menggali
sumur hingga airnya keluar, menghafalkan Al-Qur’an kepada seorang anak,
mengobati orang sakit sampai sembuh, memenangkan perlombaan.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
ji’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama pada pihak kedua
atas pelaksanaan suatu tugas yang dilakukan pihak kedua untuk kepentingan pihak
pertama.
Maka dari beberapa pengertian tersebut,
ji’alah terdapat beberapa unsur yaitu:
1. Pekerjaan
khusus, misal mencari barang yang hilang, atau menyembuhkan penyakit. Biasanya
merupakan pekerjaan yang sulit bagi orang-orang yang mengumumkan. Inilah yang
membedakan antara ji’alah dengan musabaqah (perlombaan) atau undian.
2. Upah
untuk orang yang berhasil melakukan pekerjaan, baik materiil maupun inmateriil
seperti diangkat menjadi saudara.
Yang membedakan antara ji’alah dengan undian
yaitu ji’alah memerlukan tenaga, skill, upaya, dll. Sedangkan undian tidak
memerlukan tenaga yang signifikan atau hanya menunggu “nasib” belaka. Kegiatan
undian sangat rentan terjebak pada kegiatan unsur-unsur judi, yang merupakan
satu paket dari bentuk undian, pertaruhan antar modal kecil dengan kemenangan
besar, dan spekulasi sangat tinggi. Sehingga ada yang dirugikan dan ada yang
diuntungkan dalam hal harta benda atau uang.
B. DASAR
HUKUM JI’ALAH
Jumhur fuqaha sepakat bahwa hukum ji’alah
adalah mubah. Hal ini berdasarkan karena ji’alah diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari yang merupakan akad yang sangat manusiawi, karena seseorang tak
mampu memenuhi semua keinginannya kecuali jika ia memberi upah kepada orang
lain untuk membantunya. Contoh, orang yang kehilangan dompetnya maka ia sangat
sukar jika mencari sendiri tanpa bantuan orang lain, maka ia meminta orang lain
untuk mencari dompetnya dengan iming-iming upah dari pekerjaan tersebut.
Dalam Al-Qur’an dengan tegas Allah membolehkan
memberikan upah kepada orang lain ynag telah berjasa kepada orang yang telah
menemukan barang yang hilang, hal itu ditegaskan dalam QS. Yusuf : 72 :
وَلِمَن جَاءَ بِهِ
حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ
Artinya : “Penyeru-penyeru itu berkata:
"Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya".
Dalam hadis Rasulullah dijelaskan :
إِنَّ أَحَقَّ مَا
أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ
Artinya : “Sesungguhnya yang paling berhak
untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca) kitab Allah” (HR Bukhari).
Selain itu juga terdapat dalam HR. Abu Sa’ad
al-Khudriy r.a bahwa sejumlah sahabat Rasulullah SAW mendatangi sebuah
perkampungan Arab. Namun penduduknya tak menerima mereka sebagai tamu. Ketika
itu, pemimpin mereka digigit ular. Lalu mereka bertanya, “ apakah diantara
kalian ada yang ahli rukiah?”, Para sahabat menjawab, “ kalian tak mengakui
kami sebagai tamu maka kamipun tak berbuat apa-apa pada kalian, kecuali kalian
memberi imbalan. Lalu mereka menjanjikan sejumlah kambing (sekitar 30 ekor) kepada
para sahabat sebagai upah. Seorang sahabat mulai membaca Al-Fatihah, kemudian
ia mengumpulkan ludahnya dan disuapkan pada bagian yang luka. Lalu, orang
tersebut sembuh dan mereka memberikan sejumlah kambing itu kepada para sahabat.
Namun para sahabat berkata, “ Kami tak akan mengembalikan kambing-kambing
tersebut sampai kami bertanya kepada Rasulullah SAW”. beliau tertawa dan
bersabda, “ Kalian tau darimana surat itu adalah rukiah? Ambillah upah tersebut
dan berilah aku bagian”. (HR. Imam Bukhari)
Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah secara syar’i akad ji’alah diperbolehkan. Dengan landasan kisah Nabi
Yusuf beserta saudaranya. Kedudukan transaksi upah (al-ju’l) adalah segala
bentuk pekerjaan (jasa), yang pemberi upah tidak mengambil sedikitpun dari upah
itu. Sebab, jika yang memberi mengambil sebagian dari upah itu berarti ia harus
terikat dengan jasa dari pekerjaan itu. Padahal jika calon penerima upah (
al-maj’ul) gagal mendatangkan manfaat, seperti ditetapkan dalam transaksi upah,
ia tak akan mendapatkan apapun. Jika pemberi upah mengambil hasil kerja calon
penerima upah tanpa imbalan berarti ia telah melakukan kezaliman.
C. RUKUN
DAN SYARAT JI’ALAH
Rukun - Rukun Ji’alah :
•
Lafaz: Mengandung arti bahwa
ia mengizinkan orang lain melakukan suatu pekerjaan tanpa dibatasi waktunya
•
Orang yang menjanjikan upah:
boleh orang yang kehilangan barang itu sendiri atau orang lain
•
Pihak yang melakukan ji’alah
•
Pekerjaan yang ditawarkan
kepada orang lain
•
Upah yang disebutkan dalam
bentuk apa, jumlah atau beratnya.
Syarat-Syarat Ji’alah:
•
Ja’il (pihak yang berjanji
akan memberikan imbalan): harus ahliyah atau cakap bertindak hukum, yakni
baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang
yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan ji’alah. Sementara itu, orang
yang melakukan pekerjaan jika ia ditentukan maka ia harus orang yang cakap
melakukan pekerjaan tersebut, jika tidak ditentukan maka siapa saja yang
mendengar ji’alah boleh melakukannya
•
Ju’lah (upah): upah harus
berupa sesuatu yang bernilai harta yang dalam jumlah yang jelas, jika upah
berupa sesuatu yang haram maka ji’alah batal. Kemudian, harus ada pengetahuan
tentang upah yang akan diberikan dan upah tidak boleh disyaratkan diberikan
dimuka
•
‘Amal (pekerjaan): pekerjaannya
mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan sesuai hukum syara’,
ji’alah tak boleh dibatasi waktu tertentu, pekerjaannya mudah, dan pekerjaan
yang ditawarkan secara hukum bukan pekerjaan wajib bagi pekerja, jika ia wajib
secara syar’i maka ia tak berhak mendapat upah
•
Sighat (ucapan): ijab harus
disampaikan dengan jelas oleh pihak yang menjanjikan upah walau tanpa ucapan
kabul dari pihak penerima pekerjaan. Lafaz, diisyaratkan mengandung izin untuk
melakukan pekerjaan kepada setiap orang yang mampu, tanpa dibatasi waktu
Jika orang yang kehilangan itu berseru kepada
masyarakat umum, “ Siapa yang dapat menemukan barangku, maka akan mendapatkan
imbalan sekian”. Kemudian datang dua orang yang mencari barang tersebut, dan
mereka berdua mendaptkannya bersama, maka upah yang sudah dijanjikan tadi
berserikat antara keduanya.
D. PERBEDAAN
ANTARA JI’ALAH DENGAN IJARAH
•
Pemenuhan manfaat ji’alah tak
dapat disempurnakan ja’il kecuali pekerjaanya selesai seperti telah menemukan
barang yang hilang. Sementara kesempurnaan manfaat ijarah bagi musta’jir
berdasarkan pada apa yang dikerjakan ajir.
•
Ji’alah tak boleh
mensyaratkan pembayaran dimuka, sedangkan ijarah boleh.
•
Ji’alah bersifat ghairu lazim
(tidak mengikat) dapat dibatalkan sepihak, sedangkan ijarah tidak dapat
dibatalkan oleh sepihak.
•
Penerimaan ji’alah tergantung
dengan keberhasilan dalam pekerjaan.
•
Ji’alah sah walaupun
mengandung ketidakjelasan (gharar) pekerjaan dan batas waktu pengerjaannya tak
jelas. Sedangkan ijarah, pekerjaan dan batas waktunya lebih jelas.
•
Akad ji’alah tetap sah walau
pekerja tak mau menerima ji’alahnya.
E. PEMBATALAN JI’ALAH
Masing-masing pihak boleh membatalkannya
sebelum bekerja, jika yang membatalkannya orang yang bekerja maka ia tak
mendapat upah, meskipun ia telah bekerja. Tetapi jika pihak yang memberi upah
yang membatalkannya maka yang bekerja wajib menuntut upah sebanyak pekerjaan
yang sudah ia kerjakan.
Mazhab Maliki berpendapat, bahwa ji’alah hanya
dapat dibatalkan oleh pihak pertama sebelum pihak kedua melakukan pekerjaannya.
Sedangkan Mazhab Hanbali dan Syafi’i, pembatalan dapat dilakukan oleh salah
satu pihak setiap waktu selama pekerjaan itu belum selesai. Apabila salah satu
pihak membatalkan ji’alah sebelum dilaksanakannya pekerjaan, maka keadaan ini
tak memunculkan akibat hukum, artinya pihak kedua tak berhak atas upah yang
dijanjikan karena pekerjaan belum dikerjakan.
F. HIKMAH
JI’ALAH
Ji’alah merupakan pemberian penghargaan kepada
orang lain berupa materi karena orang tersebut telah bekerja dan membantu
mengembalikan sesuatu yang berharga, baik berupa harta atau mengembalikan
kesehatan atau membantu seseorang untuk menghafal Al-Qur’an.
Hikmah yang dapat dipetik yaitu ji’alah dapat
memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai
dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong menolong, dan juga
akan terbangun semangat dalam melakukan sesuatu bagi pekerja.
Terkait ji’alah sebagai suatu pekerjaan yang
baik, Islam mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa syurga
bagi mereka yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala
dari pekerjaan yang baik yang ia kerjakan, sebagaimana dalam firman Allah QS.
Al-Zalzalah : 7 yang artinya “Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberah dzarrahpun, niscaya ia akan melihat
balasannya”.
G. Persoalan
masa kini yang terkait dengan fiqih muamalah penangkapan
teroris bagi siapa saja yang bisa menangkap baik dalam keadaan hidup atau mati
akan mendapat imbalan. Menemukan orang
yang hilang bagi siapa saja yang dapat menemukan akan mendapat imbalan.
1. Pendapat
Beberapa Imam
·
Menurut Madzhab Hanafiyyah,
akad ji’alah tidak diperbolehkan karena
mengandung unsur gharar didalamnya Yakni
ketidak jelasan atas
pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan.Hal ini ketika dianalogkan dengan akad ijarah yang
mensyariatkan adanya kejelasan atas pekerjaan,
upah dan jangka waktu.Namun demikian ada sebagian ulama Hanafiyyah yang
memperbolehkan atas dasar istihsanan (karena ada nilai manfaat).
·
Menurut ulama Malikiyyah,
Syafi’iyah dan Hambali, secara syar’I,
akad
ji’alah diperbolehkan.Dengan landasan kisah Nabi Yusuf beserta saudaranya. Yakni firman
Allah QS.Yusuf: 72.
Secara
logika manusia membutuhkan akad ji’alah. Seperti halnya menemukan asset atau property
yang hilang, melakukan pekerjaan yang
tidak mampu dikerjakan pemiliknya, maka ia pasti membutuhkan akad ji’alah. Dengan demikian
akad ji’alah diperbolehkan.Ketidak jelasan pekerjaan dan jangka waktu
penyelesaian dalam ji’alah, tidaklah memberi madharat kepada pelaku.Dengan alasan,
akad ji’alah bersifat tidak mengikat (ghair lazim).Berbeda dengan akad ijarah
yang bersifat lazim atau (mengikat keduanya). Akad ji’alah bersifat one side
(iradah wahidah), untuk itu al ja’il (pemilik
sayembara) harus mengungkapkan secara jelas keinginannya (pekerjaan). Menjelaskan
pekerjaan yang diinginkan, besaran hadiah
atau
upah yang diperjanjikan dengan jelas. Jika ada seseorang mengerjakan pekerjaan
itu tanpa seizinnya, atau pemilik mengatakan kepada seseorang, kemudian orang
lain yang mengerjakan, maka hal itu diperbolehkan. Akad ji’alah bersifat umum,
dan upah atau hadiah akan tetap
diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan pekerjaannya tersebut dengan baik.
Ulama
memberikan beberapa syarat terkait dengan keabsyahan akad ji’alah, yakni sebagai
berikut:
1) Orang yang terlibat ji’alah harus memiliki ahliyah.
Al-ja’il (pemilik sayembara) haruslah orang yang memiliki kemutlakan dalam
bertransaksi (baligh, berakal dan rasyid), tidak boleh dilakukan oleh anak
kecil, orang gila, atau orang safih. Untuk ‘amil (pelaku), haruslah orang yang
memiliki kompetensi dalam menjalankan pekerjaan, sehingga ada manfaat yang
dihadirkan.
2) Hadiah, upah (ja’l) yang dijanjikan harus disebutkan
secara jelas jumlahnya. Jika upahnya tidak jelas, maka akad ji’alah batal
adanya, karena ketidakpastian kompensasi. Seperti, barang siapa yang menemukan
mobil saya yang hilang, maka ia berhak mendapatkan baju. Selain itu, upah yang
diperjanjikan itu bukanlah barang haram, seperti minuman keras atau barang
ghasab.
3) Manfaat yang akan dikerjakan pelaku (‘amil) haruslah
jelas dan diperbolehkan secara syar’i. tidak diperbolehkan menyewa tenaga
paranormal untuk mengeluarkan jin, praktek sihir, atau praktek haram lainnya.
Kaidahnya adalah, setiap asset yang boleh dijadikan sebagai obyek transaksi
dalam akad ji’alah. Mazhab Syafi’iyah menambahkan, setiap pekerjaan (manfaat)
yang dilakukan haruslah mengandung beban (usaha), karena tidak ada kompensasi
tanpa adanya usaha.
Mazhab
Malikiyyah menambahkan satu syarat, akad ji’alah tidak boleh dibatasi dengan
jangka waktu.Namun ulama lain mengatakan, diperbolehkan memperkirakan jangka
waktu dengan pekerjaan yang ada.Malikiyyah mensyariatkan, jenis pekerjaan
ji’alah haruslah spesifik, walaupun berbilang.Seperti menemukan beberapa unta
yang hilang.
Ulama
fiqh sepakat bahwa akad ji’alah diperbolehkan, dan bersifat ghair lazim (tidak
mengikat), berbeda dengan akad ijarah yang bersifat lazim.Untuk itu,
masing-masing pihak yang bertransaksi, memiliki hak untuk membatalkan
akad.Namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang waktu diperbolehkannya
membatalkan akad.
Mazhab
Malikiyyah mengatakan, akad ji’alah boleh dibatalkan ketika pekerjaan belum
dilaksanakan oleh pekerja (‘amil). Menurut Syafi’iyah dan Hambali, akad ji’alah
boleh dibatalkan kapan pun, sebagaimana akad-akad lainnya, seperti syirkah dan
wakalah, sebelum pekerjaan dapat diselesaikan secara sempurna.Jika akad
dibatalkan diawal, atau ditengah berlangsungnya kontrak maka hal itu tidak
masalah, karena tujuan dari akad belum tercapai.Jika akad dibatalkan setelah
dilaksanakannya pekerjaan, maka ‘amil bolehmendapatkan upah sesuai dengan yang
dikerjakan.
Menurut
Syafi’iyah dan Hambali, pemilik pekerjaan (sayembara) diperbolehkan untuk
menambah atau mengurangi hadiah atau upah yang akan diberikan kepada ‘amil,
karena akad ji’alah adalah akad jaiz ghair lazim (diperbolehkan dan tidak
mengikat). Namun demikian, syafi’iyah memberikan catatan bahwa, hal itu
diperbolehkan ketika pekerjan belum selesai dikerjakan.Jika pekerjaan telah
selesai dilaksanakan, maka ‘amil berhak mendapatkan upah yang dijanjikan atau
upah yang sepadan.
Para
ulama yang berpendirian bahwa transaksi jialah itu diperbolehkan berargumentasi
bahwa secara historis rasulullah memperbolehkan menerima upah atas pengobatan
kepada seseorang dengan mempergunakan ayat-ayat al-quran,seperti dengan
ayat-ayat dalam surah al-fatihah. Namun yang perlu dicatat dalam arti bahwa
kebolehannya itu bukanlah mutlak sebagaimana kebolehan dalam lapangan ijarah.
Alasan lain yang mereka pakai
ialah firman allah dalam surah yusuf ayat 72 yang berbunyi : yang artinya :
“dan barang siapa yang dapat mengembalikannya maka ia akan memperoleh
bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjaminnya.”
Kebolehan
jialah sebagai suatu bentuk transaksi karena agama memang tidak
melarangnya,tetapi juga tidak menganjurkannya. Namun, yang perlu mendapat
perhatian disini adalah bahwa pelaksanaan jialah,termasuk bermacam-macam
sayembara dan pertandingan dizaman sekarang, haruslah dilihat dan dilaksanakan
dalam suatu kegiatan yang bebas dari unsure penipuan, penganiayaan, dan saling
merugikan. Didalam pelaksanaan jialah, penekanan pemberian imbalan haruslah
didasarkan atas prestasi dan usaha yang jauh dari unsure-unsur judi.
Contoh Kasus :
Seseorang yang diberi pekerjaan
mencari bukan satu orang, tetapi bersifat umum yaitu siapa saja. Misalnya,
seorang berkata siapa saja yang bisa mengembalikan binatangku yang hilang maka
aku akan berikan imbalan sekarang.
Posting Komentar untuk "Fiqih Muamalah II - Ji’alah Hukum Ji’alah Rukun Dan Syarat Ji’alah"
Silahkan tinggalkan komentar agar kami lebih baik.