Fiqih Muamalah II Konsep Wadi'ah Hukum Wadi'ah Rukun Wadi'ah Dan Syarat Wadi'ah
- Pengertian
Wadi'ah
Secara
etimologi wadi'ah berarti titipan (amanah). Kata Al-wadi'ah berasal dari kata
wada'a (wada'a - yada'u - wada'aan) juga berarti membiarkan atau meninggalkan
sesuatu.
Secara
harfiah, wadi'ah diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak kepihak yang
lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan
saja sipenitip menghendakinya.
Menurut
kalangan Hanafiyah, wadi'ah berati memberikan tanggung jawab penjagaan atau
pemeliharaan terhadap suatu barang. Sementara kalangan Malikiyah dan Syafi'yah
mendefinisikan wadi'ah mewakilin penjagaan suatu barang kepada orang lain. Al-Jaziri mengatakan bahwa wadi'ah adalah
barang yang dititipkan kepada orang lain untuk dijaga. Barang tersebut menjadi
tanggung jawab bagi yang dititipi. Definisi ini sama seperti definisi yang
dikemukakan oleh 'Atiyyah.
Pasal
20 ayat 17 Komplikasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) mendifinisikan wadi'ah :
"Wadi'ah adalah penitipan dana antara pihak
pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana
tersebut."
Secara
ringkas dapat disimpulkan bahwa wadi'ah adalah barang titipan yang dititipkan
seseorang kepada pihak lain untuk dijaga sebagaimana mestinya.
- Dasar
Hukum Wadi'ah
Menitipkan
dan menerima titipan hukumnya boleh (ja'iz).
- Al-Qur'an
Yaitu
: Q.S An-nisa' (4) : 58
Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ ÙŠَØ£ْÙ…ُرُÙƒُÙ…ْ Ø£َÙ†ْ تُؤَدُّوا
الأمَانَاتِ Ø¥ِÙ„َÙ‰ Ø£َÙ‡ْÙ„ِÙ‡َا ÙˆَØ¥ِذَا ØَÙƒَÙ…ْتُÙ…ْ بَÙŠْÙ†َ النَّاسِ Ø£َÙ†ْ تَØْÙƒُÙ…ُوا
بِالْعَدْÙ„ِ Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ Ù†ِعِÙ…َّا ÙŠَعِظُÙƒُÙ…ْ بِÙ‡ِ Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ Ùƒَانَ سَÙ…ِيعًا
بَصِيرًا
Artinya
:
"Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat."
Dan terdapat juga dalam Q.S Al-baqarah (2) :
283
Artinya :
"Jika kamu
dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para
saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan."
- Hadist
Dari
Abu Hurairah Ra. berkata, Rasulullah Saw. Bersabda, “Tunaikanlah
amanah orang yang mempercayakan kepadamu dan janganlah engkau hianati orang
yang menghianatimu.”
- Ijma'
Bahwa
ulama sepakat diperbolehkannya wadi'ah. Ini
termasuk ibadah Sunah. Dalam kitab Mubdi disebutkan: "ijma' dalam setiap
masar memperbolehkan wadi'ah. Dalam kitab Ishfah disebutkan: ulama sepakat
bahwa wadi'ah termasuk ibadah Sunah dan mejaga barang titipan mendapatkan
pahala.”
Adanya wadi'ah sangat membantu manusia untuk saling membantu dalam menjaga
harta yang juga menjadi tujuan agama. Di Indonesia, akad wadi'ah mendapatkan
legitimasi dalam KHES ayat 370-390.
- Rukun
Wadi'ah
Menurut pasar 413 ayat (1) rukun wadi’ah terdiri atas:
- Muwaddi
(penitip).
- Mustauda
(penerima titipan).
- Wadi'ah
bih (harta titipan).
- Sighat.
- Syarat
- Syarat Wadi'ah
Syarat
- syarat wadi'ah, yaitu syarat benda yang dititipkan, syarat shigat, syarat
orang yang menitipkan dan syarat orang yang dititipi.
- Syarat
- Syarat Benda yang Dititipkan
Syarat
- syarat untuk benda yang dititipkan adalah sebagai berikut:
- Benda
yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa untuk disimpan.
- Syafi'yah
dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang
mempunyai nilai (qimah) dan dipandang sebagai mal, walaupun najis.
- Syarat
- Syarat Shigat
Shigat
akad adalah ijab dan kabul. Syarat shigat adalah ijab harus dinyatakan dengan
ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya dengan
sindiran (kinayah).
- Syarat
Orang yang Menitipkan (Al - Mudi')
Syarat
orang yang menitipkan adalah sebagai berikut:
- Berakal.
- Baligh.
- Syarat
Orang yang Dititipi (Al - Muda')
Syarat
orang yang dititipi (muda') adalah sebagai berikut:
- Berakal.
- Baligh.
- Malikiyah
mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga kuat mampu
menjaga barang yang dititipkan kepadanya.[1]
- Sifat
Akad Wadi’ah
Ulama fiqih sepakat mengatakan, bahwa akad
wadi’ah bersifat mengikat kedua belah pihak. Akan tetapi, apakah tanggung jawab
memelihara barang itu bersifat amanat atau bersifat ganti rugi. Dengan
demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada diisyaratkan ganti rugi atas orang
yang dititipi maka akad itu tidak sah. Kemudian orang yang dititipi juga harus
menjaga amanat dengan baik dan tidak boleh menuntut upah (jasa) dari orang yang
menitipkan.[2]
- Status Wadi’ah
Para ulama mazhab sepakat bahwa wadi'ah merupakan
perbuatan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang dianjurkan (disunnahkan),
dan dalam menjaga harta yang dititipkan diberikan pahala. Titipan tersebut
semata-mata merupakan amanah (kepercayaan) bukan bersifat madhmunah (ganti
rugi), sehingga orang yang dititipi tidak dibebani ganti kerugian kecuali
karena melampui batas (ta'addi) atau teledor (taqshir). Hal tersebut didasarkan
pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh 'Amr bin Syu' aib dari ayahnya dari
kakeknya bahwa Nabi bersabda: "Tidak
ada ganti rugi bagi orang yang meminjam yang tidak menyeleweng dan tidak ada
ganti rugi bagi orang yang dititipi yang tidak melakukan penyelewengan".
(HR. Ad - Daruquthni dan Baihaqi).
Dalam hadis lain yang juga diriwayatkan dari Amr bin
Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi bersabda: "Tidak ada ganti rugi bagi pemegang amanah.”
(HR.
Ad - Daruquthni).
- Hukum
Menerima Wadi'ah
- Wajib,
yaitu apabila sudah tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya, kecuali
hanya dia satu-satunya.
- Sunnah,
bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup mejaga titipan
yang diserahkan kepadanya.
- Makruh,
yaitu bagi orang yang dapat menjaganya, tetapi ia tidak percaya kepada
dirinya.
- Haram,
apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya sebagaimana
mestinya.
- Kewajiban
Menerima dan Cara Menjaga Wadi'ah
Orang
yang menerima titipan mempunyaj kewajiban yang mengikat untuk menjaga barang titipan tersebut.
Kewajiban ini juga mengikat keluarga penerima titipan, artinya mereka juga
mempunyai kewajiban untuk menjaga barang tersebut. Menurut Imam Syafi'i yang
berkewajiban menjaga barang tersebut hanya penerima titipan. Imam al-Nawai
menjelaskan bahwa orang yang menerima titipan dia wajib menjaganya.
Tanggung
jawab menyimpan wadi'ah adalah amanah. Wadi'ah ialah barang yang disimpan itu
hendaklah dijaga seperti berikut:
- Diasingkan
dari barang-barang milik orang lain.
- Tidak
digunakan.
- Tidak
dikenakan upah bagi penjaganya.
Apabila barang titipan mengalami kerusakan akibat kelalaian orang
yang menerimanya, maka wajib
menggantikannya. Adapun
kriteria kelalaian antara lain:
- Orang
yang dipercaya titipan menyerahakan kepada orang lain tanpa sepengetahuan
- yang
memilikinya.
- Barang
titipan itu dipergunakan atau dibawa pergi sehingga rusak atau hilang.
- Menyia-nyiakan
barang titipan.
- Berkhianat,
yaitu ketika barang titipan diminta tidak dikabulkan, tanpa sebab yang
jelas.
- Lalai
atau tidak hati-hati dalam memelihara barang titipan.
- Ketika
yang dititipi barang itu sakit atau meninggal tidak berwasiat kepada ahli warisnya atau keluarganya tentang barang titipan,
sehingga mengakibatkan barang.
- Wadi'ah
dalam Praktek
Lembaga Keuangan Syariah
Biasanya
LKS mengenakan biaya administrasi terkait pendaftaran barang titipan di LKS.
Selain itu, ada biaya penjagaan terhadap barang wadi'ah barang berharga, surat
berharga, dokumen-dokumen
penting dan barang lain yang bernilai dan membutuhkan penjagaan dan perawatan khusus.
Berdasarkan biaya-biaya ini, maka apabila terjadi kehilangan, kerusakan atau
kemusnahan walaupun tanpa sengaja. Apalabila LKS menggunakan barang titipan
seperti uang untuk perniagaan atau untuk usaha lain, maka LKS wajib
mengembalikan sepenuhnya uang wadi'ah yang telah digunakan kepada pemilik.
Wadi'ah
yang dipraktikan dalam LKS ada dua macam, yaitu wadi'ah yad amanah dan wadi'ah
yad dhamanah.
- Wadi'ah
yad - amanah
Para
ulama ahli fiqh mengatakan bahwa akad wadi'ah bersifat mengikat kedua belah
pihak. Akan tetapi, apakah orang yang tanggung jawab memelihara barang itu
bersifat ganti rugi (dhamaan). Ulama fiqh sepakat, bahwa status wadi'ah
bersifat amanat, bukan dhamaan, sehingga semua kerusakan penitipan tidak
menjadi tanggung jawab pihak yang menitipi, berbeda sekiranya kerusakan itu
disengaja oleh barang yang dititipi.
Wadi'ah
jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Harta
atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh
penerima titipan.
- Penerima
titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan
berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh
memanfaatkannya.
- Sebagai
konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada
yang menitipkan.
- Mengingat
barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima
titipan.[3]
- Wadi'ah
yad - dhamanah
Akad
ini bersifat memberikan kebebasan kepada pihak penerima titipan dengan atau
tanpa seizin pemilik barang dapat memanfaatkan barang dan bertanggung jawab terhadap
kehilangan atau kerusakan pada barang yang digunakannya.
Wadi'ah
jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Harta
dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima
titipan.
- Karena
dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut dapat menghasilkan
manfaat.
- Produk
perbankan yang sesuai dengan akad.
Prinsip
wadi'ah yad dhamanah inilah yang secara luas kemudian diaplikasikan dalam dunia
Perbankan Syariah dalam bentuk produk pendanaan. Yaitu:
- Giro
(Current Account) Wadi'ah
Giro
wadi'ah adalah
produk pendanaan bank syariah berupa simpanan dari nasabah dalam bentuk
rekening giro (current account) untuk keamanan dan kemudahan pemakainnya.
- Tabungan
(Saving Account) Wadi'ah
Tabungan
wadi'ah adalah produk pendanaan bank syariah berupa simpanan dari nasabah dalam
bentuk rekening tabungan (saving account) untuk keamanan dan kemudahan
pemakainnya, seperti giro wadi'ah, tetapi fleksibel giro wadi'ah, karena
nasabah tidak dapat menarik dananya dengan cek.
- Aplikasi
Wadi'ah
dalam
Perbankan
Syariah
Dalam
Perbankan Syariah terdapat beberapa prinsip yang diadobsi
dalam pengelolanya, yang ditujukan untuk menggalang dana untuk membiayai
operasinya. Sumber dana dalam perbankan secara umum ada 3, yaitu dari bank
sendiri, yang berupa modal setoran dari pemegang saham, dari masyarakat, yang
berupa simpanan dalam bank tersebut. Dalam rangka menghimpun modal, bank
syariah melakukan pendekatan tunggal dalam meyediakan produk penghimpun dana
bagi nasabahnya. Wadi'ah merupakan salah satu produk penghimpun dana/modal bank
syariah dari nasabah/masyarakat.
Dalam
aplikasinya di perbankan, wadi'ah secara fungsional dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:
- Wadi'ah
Jariyah (tahta tholab) yaitu suatu titipan,
dimana penyimpanan berhak mengambilnya kapan saja baik cash ataupun dengan
cek ataupun melalui nasabah pihak ketiga (Muhammad, 2000:118)
- Wadi'ah
Iddikhoriyah (at taufir),
ciri-ciri simpanan ini adalah kecilnya simpanan dan banyaknya jumlah
nasabah penyimpanan dan bank menyalurkan untuk investasi dengan akad
mudharobah muthlaqoh.
Dua
jenis simpanan ini pada prakteknya, bank memanfaatkannya untuk keperluan
investasi dan mengembalikan simpanan.
Ada
dua bentuk wadi'ah dalam praktik perbankan Islam, yaitu:
- Rekening
sementara.
- Rekening
simpanan.
Bank
Islam tidak mempunyai banyak peluang untuk menggunakan uang dalam rekening
sementara karena pemegang rekening boleh mengeluarkan uangnya. Kapan saja
dengan menggunakan cek. Karena itu, bank Islam boleh menggunakan bayaran atas
rekening sementara sebagai upah simpanan.
- Praktek
Wadi’ah di Indonesia
Wadi’ah dipraktekan di bank-bank yang
menggunakan sistem Syari’at seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI). Bank
Muamalat Indonesia mengartikan wadi’ah sebagai titipan murni yang dengan seizin
penitip, boleh digunakan oleh bank. Demikian juga mengenai keuntungan yang
diperoleh sepenuhnya menjadi milik bank. Namun pihak BMI mengambil suatu
kebijakan, bahwa kepada pemilik (nasabah wadi’ah) dapat diberikan bonus.
Kebijakan ini sejalan dengan Mazhab Hanafi dan Hambali.
Dalam perkembangannya bentuk-bentuk titipan
(wadi’ah) di dunia Islan, semakin bervariasi dan pihak-pihak yang terkaitpun
semakin beragam. Seperti Giro Pos dan Tabungan yang dikelola oleh pihak
perbankan, yang pada dasarnya barang titipan yang sewaktu-waktu dapat diambili oleh pihak penitip. Semula hanya titipan benda
(barang berharga), berubah menjadi titipan uang. Tetapi tabungan uang di bank
berkaitan dengan bunga bank (riba). Sedangkan wadi’ah dasarnya tolong-menolong,
tanpa ada imbalan jasa.
Kebijaksanaan yang ditempuh oleh bank seperti
telah dikemukakan diatas dapat dibenarkan oleh sebagian ulama (Mazhab Hanafi
dan Hambali). Sebab, bonus yang diberikan itu tidak berdasarkan akad kedua
belah pihak.
Posting Komentar untuk "Fiqih Muamalah II Konsep Wadi'ah Hukum Wadi'ah Rukun Wadi'ah Dan Syarat Wadi'ah"
Silahkan tinggalkan komentar agar kami lebih baik.