Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fiqih Muamalah II Pengertian Hiwalah Hukum Hiwalah Rukun Dan Syarat Hiwalah

Pemindahan Hutang


A.    PENGERTIAN HIWALAH

          Pengertian hiwalah di tinjau dari segi etimologi berarti al intiqal dan al tawil yaitu memindahkan dan mengoper (sabiq, 1987:217). Abdurrahman al-jaziri (1987:210) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah  menurut etimologi adalah :

          Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain.

          Secara etimologi hiwalah juga berarti pengalihan, perpindahan, perubahan kulit dan memikul sesuatu di atas pundak (Hasan, 2003; 219). Untuk    mengetahui lebih jauh tentang defenisa hiwalah secara terminologi berikut disampaikan defenisi :

1.    Menurut Hanafiyah (al-jaziri, 1987 210), yang dimaksud hiwalah adalah:

Memindahkah tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain     yang punya tanggung jawab kewajiaban pula”.

2.    Sayyid Sabid (1989:217)

Pemindahan utang dari tanggungangan utang dari tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal alaih”

3.    Abdurrahman al-jaziri (1987:210)

Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.

4.    Taqiyuddin (t,t :274)

Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.

5.    Ensiklopedi Hukum islam

Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan pihak pertama kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran utang atau membayar utang dari atau kepada pihak ketiga, karena pihak ketiga berutang kepada pihak pertama dan pihak pertama berutang kepada pihak kedua atau karena pihak pertama berutang kepada pihak ketiga disebabkan pihak kedua berutang kepada pihak pertama. Pemindahan itu dimaksud sebagai ganti

pembayaran yang ditegaskan dalam akad ataupun tidak didasarkan kesepakatan bersama.

          Dari beberapa pengertian hiwalah di atas, hiwalah adalah pengalihan utang, baik berupa hak untuk mengalihkan pembayaran atau kewajiban untuk mendapatkan pembayara utang, dari orang yang mempunyai utang dan piutang dengan disertai rasa percaya dan kesepakatan bersama.

 

B.    DASAR HUKUM HIWALAH

          Hiwalah diisyaratkan berdasarkan Al-Qur’an, Al-Sunnah dan ijma. Berdasarkan  Al-qur’an antara lain:

1.    Firman Allah dalam surat Al-kahfi ayat 19:

 

فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَد

 

          “Maka suruhlah salah seorang diantara kamu untuk pergi kekota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia melihat makanan makanan yaang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun”.

2.    Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 35:

“ dan jika kamu khawatir ada persengketaan antar keduannya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”.

3.    Firman allah dalam surat Yusuf ayat 93:

“Pergilah kamu dengan mebawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah ia didepan wajah ayahku, nanti ian akan melihat kembali”.

Lafaz-lafaz yang berupa kata perintah dalam ayat diatas menunjukkan adanya perwakilan atau hiwalah. Ulama juga bersepakat mengenai diperbolehkannya hiwalah, karena sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia, selain itu, hiwalah juga dapat menjadi srana untuk membantu dan menolong manusia.

 

C.    RUKUN DAN SYARAT HIWALAH 

          Rukun hiwalah menurut hanafiyah hanya satu, yaitu ijab dari orang yang memindahkan (al-muhil) dan qabul dari orang yang dipindahkan (al-muhal )dan yang dipindahi utang (al-muhal’alaih). Sedangkan menurut Malikiyah rukun hiwalah ada empat, yaitu

a.    Muhil (orang yang memindahkan ),

b.    Muhal bin,

c.    Muhal’alaih (orang yang dipindahi utang), dan

d.    Shighat.

          Adapun rukun dan syarat hiwalah menurut hanafiyah adalah:

1.    Muhil, yaitu orang yang memindahkan utang. Ia berutang pada seeorang dan mempunyai piutang pada seseorang lalu, ia memindahkan pembayaran utangnya atas orang yang berutang padanya (syafi’1, 1982:125). Syarat-syaratnya adalah:

a.    Cakap dalam melakukan tidakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baliq, beraka, tidak sah hiwalah di lakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti (mumayyiz).

b.    Ada persetujuan (ridho) jika pihak muhil ada paksaan untuk melakukan hiwalah, maka akad tidak sah (zuhailih, 1989,4191).

Persyaratan dibuat berdasarkan pertimbangan, sebagian orang keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajiban untuk membayarkan utang di alihkan kepada orang lain, meski pihak lain itu memang berutang kepadanya, karena itu ridho muhil mesti ada

2.    Muhil alaih adalah orang yang dihiwalahi ( orang yang berkewajiban melaksanakan hiwalah), ia adalah orang yang mempunyai utang orang yang pertama (muhil), orang yang berkewajiban melaksanakan hiwala. Persyaratan ditetapkan berdasarkan pertimbangan, bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang berbeda-beda ada yang

 

memudahkan adapula yang mempersulit, sedangkan menerima pelunasan itu merupakan hak pihak kedua. Jika hiwalah dilakukan secara sepihak saja, pihak kedua dapat saja merasa dirugika, umpamanya apabila pihak ketiga sudah membayar utang tersebut.

3.    Muhtal adalah orang yang menerima hiwalah atas hiwalah muhil, ia merupakan orang yang berpiutang pada pihak pertama (muhil).  Sebagian pendapat mengatakan bahwa yang berhak rela (ridho), adalah muhthal dan muhil, bagi muhal’alaih rela atau tidak akan mempengaruhi sahnya hiwalah.

4.    Adanya utang, yaitu utang muhtal kepada muhil dan utang muhil kepada muhal’alaih. Syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan, ialah:

a.    Sesuatu dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang utang piutang yang pasti.

b.    Kedua utang yang dialihkan adalah sama, baik jenisnya maupun kadarnya, penyelesaianya, tempo waktu, jumlahnya.

5.    Shiqad hiwalah adalah, ijab dan qobul. Ijab dari muhil dengan kata katanya “aku menghiwalahkan utangku kepada si anu” dan Qobul adalah dari muhal’alaih dengan kata katanya “aku terima hiwalah engkau”.

Apakah muhil terbebas dari tanggung jawab dengan pengalihan utang?

          Apabila pengalihan utang sah, maka muhil terbebas dari tanggung jawab apabila muhil alaih pailit, mengingkari pengalihan, atau meninggal maka sedikit pun muhtal tidak boleh menuntut muhil. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama. Hanya saja, ulama mazhab maliki berkata, “kecuali apabila muhil menipu muhtal dengan mengalihkannya kepada seorang yang tak berharta.

          Dalam al-muwaththa, malik berkata, pendapat kami tentang seorang yang mengalihkan pembayaran yang mengalihkan pembayaran utangnya yang menjadi hak orang lain kepada orang ketiga. Apbila orang yang kepadanya pembayaran utang yang dialihkan itu pailit atau mati dan tidak meninggalkan sesuatu untuk membayar utang tersebut, maka orang yang pembayaran piutangnya dialihkan tidak memiliki hak sedikitpun atas orang yang telah mengalihkannya dan tidak boleh menuntut rekannya yang pertama itu. “dia berkata, “ini pendapat yang tidak diperselisihkan antara kami”. Sementara menurut Abu Hanafiyah, Syuraih dan lainnya, muhtal boleh menuntut muhil apabila muhal alaih pailit atau mengingkari pengalihan.

 

D.       PEMBAGIAN HIWALAH

Ditinjau dari segi obyeknya hiwalah dibagi 2:

1.    Hiwalah Haq yaitu pemindahan hak untuk menuntut utang

2.    Hiwalah Da’in adalah pemindahan kewajiban untuk membayar utang

Menurut Hanafiyah Hiwalah Di Bagi Dua :

1.    Hiwalah Muthlaqah

          Hiwalah muthlaqah adalah perbuatan seseorang yang memindahkan utangnya kepada orang lain dengan tidak ditegaskan sebagai pemindahan utang. Menurut mahzab Hanafi membenarkan terjadinya hiwalah al muthlaqah berpendapat, bahwa jika akad hiwalah al muthlaqah terjadi karena inisiatif dari pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga yang mereka tentukan ketika yang mereka tentukan ketika melakukan akad utang-piutang sebelumnya, masih tetap berlaku, khususnya jika jumlah utang piutang antara ketiga pihak tidak sama.

2.    Hiwalah Muqayyadah

          Hiwalah muqayyadah adalah perbuatan seseorang yang memindahkan utangnya dengan mengaitkan piutang yang ada padanya. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama. Contoh : A berpiutang kepada B sebesar Rp 5.000.000.00 sedangkan B juga berpiutang kepada C sebesar Rp 5.000.000.00. B memindahkan atau mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang berada pada C kepada A sebagai ganti rugi dari pembayaran utang B kepada A Dengan demikian, hiwalah al muqayyadah pada satu sisi merupakan hiwalah haq, karena mengalihkan hak untuk menuntut piutangnya dari C kepada A.

 

E.     BEBERAPA HUKUM (KETENTUAN) TENTANG HIWALAH

Apabila akad hiwalah telah dilaksanakan maka akan timbul akibat-akibat hukum sebagai berikut.

1)   Pembebasan muhil. Apabila ijab qabul hiwalah telah sempurna. Menurut jumhur ulama, muhil telah bebas dari utang. Akan tetapi, menurut imam hasan basri ,muhil belum bebas dari utang kecuali apabila ad-dayn membebaskannya. Menurut Zufar dari Hanafiah, hiwalah tidak mengakibatkan kebebasan muhil. Ia tetap memiliki tanggungan utang setelah terjadinya akad hiwalah sebagaimana sebelumnya. Hukumnya di qiyas kan kepada kafalah karena pada dasarnya akadnya hanya akad kepercayaan. Pendapat ini tentu saja tidak tepat karena setelah dikemukakan pada awal pembahasan ini bahwa hiwalah berbeda dengan kafalah. Kafalah hanya mengumpulkan tanggungan sedangkan hiwalah memindahkan tanggungan dari muhil kepada muhal ‘alaih.

2)   Tetapnya kekuasaan penuntutan bagi muhal atas muhal ‘alaih terhadap utang yang ada dalam tanggungannya. dengan demikian, pengalihan bukan hanya utang, melainkan utang dan penuntunnya sekaligus.

3)   Tetapnya hak mulazamah bagi muhal ‘alaih atas muhil, apabila muhil terikat dengan muhal.

 

F.     BERAKHIRNYA AKAD HIWALAH

Hiwalah berakhir karena beberapa hal, yaitu sebagai berikut.

1)   Akad hiwalah telah fasakh. Apabila akad hiwalah telah fasakh (batal) maka hak muhal untuk menuntut utang kembali kepada muhil, pengertian fasakh dalah istilah fuqaha’ adalah berhentinya akad sebelum tujuan akad tercapai.

2)   Hak muhal (utang) sulit untuk dapat kembali karena muhal ‘alaih meninggal dunia,boros (safih), atau lainnya. Dalam keadaan semacam ini, urusan penyelesaian utang kembali kepada muhil, pendapat ini dikemukakan oleh ulama hanafiyah.akan tetapi, menurut Malikiyah ,Syafiiyah dan Hanabilah, apabila akad hiwalah telah sempurna dan hak sudah berpindah serta disetujui oleh muhal maka hak penagihan tidak kembali kepada muhil, baik hak tersebut bisa dipenuhi atau tidak karena

3)   meninggalnya muhal ‘alaih atau boros. Apabila dalam pemindahan tersebut terjadi gharar (penipuan), menurut malikiyah, hak penagihan utang kembali kepada muhil.

4)   Penyerahan harta oleh muhal ‘alaih kepada muhal. Hal ini cukup jelas karena tujuan hiwalah yaitu diterimanya harta sudah tercapai

5)   Meninggalnya muhal dan muhal ‘alaih mewarisi harta hiwalah hal ini dikarenakan warisan merupakan salah satu sebab kepemilikan atas harta. Dengan demikian muhal ‘alaih secara otomatis memilikim utang yang dipindahkan tersebut.

6)   Muhal menghibahkan harta kepada muhal ‘alaih dan ia menerimanya

7)   Muhal menyedekahkan harta kepada muhal ‘alaih dan ia menerima sedekah tersebut.

8)   Muhal membebaskan muhal ‘alaih.

 

G.    SKEMA AKAD HIWALAH

Skema al-hawalah dalam fiqih tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1.    Pihak muhil memiliki utang kepada pihak muhal

2.    Pihak muhal’alaih memiliki utang kepada pihak muhil

3.    Utang pihak muhil dipindahkan kepada pihak muhal’alaih, sehingga pihak muhal ‘alaih, berkewajiban membayar utang kepada pihak muhal, sedangkan pihak muhil terlepas dari beban utang.

 

H.   UNSUR KERELAAN DALAM HIWALAH

1.   Kerelaan Muhal

          Mayoritas ulama hanafiah, malikia dan syafi’ah berpendapat bahwa kerelaan muhal ( orang yang memberi utang ) adalah hal yang wajib bagi hiwala karena hutang yang di pindahkan adalah haknya maka tidak dapat di pindahkan dari tanggunggan satu orang kepada yang lain tanpa kerelaan. Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal alaihi (orang yang menerima pengalihan utang) itu mampu membayar dan tidak membangkang, muhal (orang yang menerima utang) wajib menerima pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinnya.

          Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajiban muhal (orang yang memberi utang) untuk menerima hiwakah adalah untuk menerima hiwalah adalah karena muhal’alaihi kondisinya berbeda beda ada yang muda membayar dan ada yang menunda nunda pembayaran. Semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hiwalah.

2.   Kerelaan muhal ‘Alaih

          Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’ah dan Hanabilah berpendat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal’alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya: jika salah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan urtangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR. Bukharih dan muslim ). Hanafiyah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal’alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan utang piutangnya, pendapat yang rajih (palid) adalah tidak diisyaratkan adanya kerelaan muhal’alaih. Dan muhal ‘alaih akan membayar utangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduannya

I.     APLIKASI HIWALAH DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

          Dalam praktek perbankan syariah  fasilitas hiwalah untuk membantu supplir mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan usahannya. Bank mendapatkan ganti biaya atas jasa pemindahan hutang. Karena kebutuhan supplier akan di likuiditas maka ia meminta bank untuk mengalih piutang. Bank akan menerima pembayaran dari proyek.

Kontrak hiwalah biasannya diterapkan dalam hal hal berikut

1.    Factoring atau ajang piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.

2.    Post-dated check, dimana bank bertindak sebagai jiru tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.

3.    Bill discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hiwalah. Hanya saja, dalam bill discounting nasabah hanya membayar fee, sedangkan pembahasan fee dapati dalam kontrak hiwalah.

 

J.       KONSEKUENSI AKAD HIWALAH

1.    Mayoritas ulama berpendapat bahwa kewajiban muhil untuk membayar utang kepada muhal dengan sendirinya, menjadi terlepas bebas. Adapun menurut

sebagian ulama Mazhab Hanafi, kewajiban tersebut masih tetap ada selama pihak ketiga belum melunasi utang kepada muhal.

2.    Akad al-hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi muhal untuk menuntut pembayaran utang kepada muhal’alaih.

3.    Mazhab hanafi yang membenarkan terjadinya al hiwalah al-muthlaqah, berpendapat jika akad al-hiwalah al-muthlaqah terjadi karena inisiatif dari muhil maka hak dan kewajiban antara mhil damn muhal ‘alaih yang mereka tentukan ketika melakukan akad utang piutang sebelumnya masih tetap berlaku, khususnya jika jumlah utang piutang antara ketiga pihak tidak sama.

Contoh kasus :

Alwi meminjamkan uang sebesar Rp. 2.000.000,00 kepada Danil sedangkan danil memiliki piutang terhaadap Ilham dengna jumlah yang sama yaitu Rp. 2.000.000,00. Ketika alwi menagih hutangnya terhadap Danil, kemudian Danil berkata si Ilham memilki hutang sejumlah Rp. 2.000.000,00 kepadaku, dan engkau bisa menagih kepadanya.

Tetapi hiwalah hanya terjadi apabila terdapat sebuah kesepakatan diawal diantara ketiganya.

Posting Komentar untuk "Fiqih Muamalah II Pengertian Hiwalah Hukum Hiwalah Rukun Dan Syarat Hiwalah"