Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fiqih Muamalah II - Pengertian Ijarah Hukum Ijarah Rukun dan Syarat Ijarah

Rukun Ijarah


A.   Pengertian Ijarah

          Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti ganti atau upah, ijarah diartikan menjual manfaat (bay’u al-manfa’ah). Menurut syara’ ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.

          Ijarah secara sederhana dapat diartikan dengan transaksi manfaat atau jasa dari suatu imbalan tertentu. Jika yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda, maka disebut “ijarah al-‘ain” atau sewa-menyewa seperti sewa rumah. Jika yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga seseorang, maka disebut dengan “ijarah al-zimmah” atau upah-mengupah seperti menjahit pakaian.

          Ijarah atau sewa berarti kontrak atas pemafaatan sesuatu yang dikehendaki, diketahui, dibolehkan dan memungkinkan untuk diakses, dengan sebuah kompensasi yang telah diketahui. Defenisi ini diberikan oleh Imam Syafi’i dan paling umum digunakan.

          Aturan umum yang harus dipegang dalam kontrak sewa ini adalah objek barang yang disewakan merupakan barang yang dapat menghasilkan manfaat dan objek barangnya harus tetap utuh. Jika objek barang tidak utuh akibat diambil manfaatnya, maka tidak dapat menjadi objek sewa. Namun, masih ada pengecualian untuk kaasus-kasus tertentu, misalnya kasus penyusuan bayi (al-rada’ah).

 

B.   Dasar Hukum Ijarah

 

Dasar hukum ijarah ada dalam firman Allah QS. Al-Baqarah:233

          Artinya : “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak   ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut...”

          Ayat di atas menjadi dasar hukum sewa-menyewa dalam Islam. Ayat tersebut menyatakan bahwa seseorang boleh menyewa orang lain untuk menyusui anaknya. Ayat ini berlaku umum untuk segala bentuk sewa-menyewa.

          Selain itu, ada Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim : “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: berbekamlah kamu, kemudian berikan oleh mu upahnya kepada tukang bekam itu.” Dalam Hadits lain disebutkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah).

          Berdasarkan ijma’, pakar-pakar ilmuwan dan cendikiawan sepanjang sejarah di seluruh negeri telah sepakat akan legitimasi Ijarah (Mughni Ibn Qudamah 6/6).

Para cendikiawan fiqh Islam membagi lagi ijarah kepada 2 jenis, yaitu:

Menyewa untuk suatu jangka waktu tertentu

Menyewa untuk suatu proyek atau usaha tertentu.

 

C.   Rukun dan Syarat Ijarah

Dalam kitab fiqih, rukun ijarah umumnya adalah:

§  Pihak yang menyewa (musta’jir)

§  Pihak yang menyewakan (mu’jir)

§  Ijab kabul (sigah)

§  Manfaat barang yang disewakan

§  Upah

Fatwa DSN MUI No: 09/DSN-MUI/IV/2000 menetapkan rukun ijarah, yaitu:

1.    Sigah ijarah (ijab kabul) yang berupa pernyataan  dari kedua pihak yang berakad baik secara verbal atau dalam bentuk lain.

2.    Pihak-pihak yang berakad (pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna jasa).

3.    Objek akad ijarah (manfaat barang dan sewa atau manfaat jasa dan upah).

 

Secara  garis besar syarat ijarah ada 4 macam, yaitu:

1.    Syarat terjadinya akad (syurut al-in ‘iqad), adalah syarat yang berkaitan dengan pihak yang melakukan akad. Syarat melakukan ijarah adalah berakal, tidak dipersyaratkan mumayyiz. Maka, transaksi yang dilakukan orang gila hukumnya tidak sah. Menurut Hanafiyah, tidak disyaratkan baligh dan menurut Malikiyah syaratnya harus baligh. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hambaliyah, pihak yang melakukan akad syaratnya harus baligh dan berakal.

2.    Syarat pelaksanaan ijarah (syturut al-al-nafadz). Akad ijarah dikatakan sah apabila ada kepemilikan dan penguasaan. Tidak sah hukumnya apabila barng tersebut masih dalam penguasaan orang lain. Tanpa adanya kepemilikan atau penguasaan, maka ijarah tidak sah.

3.    Syarat sah (syurut al-sihhah) yang berkaitan dengan pihak yang berakad, objek akad dan upah. Syarat sah ijarah adalah sebagai berikut:

Ø  Adanya unsur suka rela dari para pihak yang berakad.

Ø  Manfaat barang atau jasa yang disewa harus jelas.

Ø  Objek sewa harus dapat dipenuhi dan dapat diserahkan.

Ø  Manfaat barang atau jasa yang disewa hukumnya mubah secara syara’.

Ø  Bila ijarah berupa sewa tenaga atau jasa, maka pekerjaan yang akan dilakukan oleh orang yang menyewakan jasa atau tenaga tersebut bukan merupakan suatu kewajiban baginya.

Ø  Orang yang menyewakan jasa tidak boleh mengambil manfaat atas jasanya tersebut.

Ø  Manfaat barang dan jasa dipergunakan sebagaimana mestinya atau yang berlaku di masyarakat.

Ø  Syarat yang terkait dengan barang yang disewakan adalah, barang harus dapat diserahterimakan saat akad bila barang tersebut barang bergerak.

Ø  Syarat upah atau uang sewa harus berharga dan jelas bilangan dan ukurannya.

Ø  Syarat yang terkait dengan manfaat barang atau jasa, yaitu:

a.    Manfaat barang harus mubah dan tidak dilarang

b.    Manfaat barang atau jasa bisa diganti dengan materi

c.    Manfaat barang atau jasa merupakan suatu yang berharga dan ternilai

d.    Manfaat merupakan suatu yang melekat pada barang yang sah kepemilikannya

e.    Manfaat barang objek sewa bukan untuk menghasilkan barang

f.     Manfaat dapat diserahterimakan

g.    Manfaat harus jelas dan dapat diketahui

4.    Syarat-syarat yang mengikat dalam ijarah (syurut al-luzum), yaitu:

Ø  Barang atau orang yang disewakan terhindar dari cacat yang dapat menghilangkan fungsinya.

Ø  Terhindarnya akad dati udzur yang dapat merusak akad ijarah.

 

D.   Hak dan Kewajiban Kedua Belah Pihak

          Pihak yang menyewakan wajib mempersiapkan barang yang disewakan untuk digunakan secara optimal oleh si penyewa. Misalnya, ketika kita menyewakan mobil tetapi ternyata mobil itu rusak, maka kita wajib menggantinya. Apabila kita sebagai pihak yang menyewakan tidak dapat memperbaiki atau menggantinya, pihak penyewa berhak memilih apakah mau membataalkan akad atau tetap mengambil manfaat yang rusak. Sebagian ulama berpendapat bahwa, apabila si penyewa tidak membatalkan akad, harga sewa harus dibayar penuh. Sebagian ulama lain berpendapat, harga sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya perbaikan dan kerusakan.

          Penyewa wajib menjaga barang yang disewakan agar tetap utuh. Secara prinsip, dalam akad si penyewa tidak boleh bertanggung jawab atas perawatan. Penyewa bertanggung jawab atas jumlah yang tidak pasti (gharar). Oleh karena itu, ulama berpendapat bahwa jika penyewa diminta untuk melakukan perawatan, ia berhak mendapatkan upah dan biaya yang wajar untuk pekerjaannya itu. Jika penyewa melakukan perawatan atas kehendak sendiri, ini merupakan hadiah dari penyewa.

 

E.   Kesepakatan Mengenai Harga Sewa

          Apabila penyewa memperpanjang sewa, maka harga sewa berubah. Bahkan pihak yang menyewakan dapat meminta harga dua kali lipat daripada sebelumnya. Penyewa juga dapat menawar harga, tergantung dengan kesepakatan di awal. Namun, pada periode pertama yang telah disepakati harganya, itulah kesepakatannya. Mayoritas ulama mengatakan, “Syarat-syarat yang berlaku bagi harga jual bagi harga sewa.”

 

F.    Problematika dan Hukum Ijarah

          Prinsip kontrak ini dikenal dengan baik dan identik dengan menyewa konvensional, dimana bank menyewakan barang kepada pihak ketiga dengan harga tertentu. Pembayaran disepakati di awal dan aset tetap menjadi properti si penyewa. Kontrak sewa Islam sedikit berbeda dengan konvensional.

G.   Upah dalam Pekerjaan Ibadah

 

          Upah dalam pelaksanaan ibadah seperti shalat, puasa, haji, dan membaca Al-Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.

          Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada kepada orang tertentu seperti kepada arwah ibu bapak dari yang menyewa, azan, qomat, dan menjadi imam haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut.

          Perbuatan seperti azan, qomat, shalat, haji,puasa, membaca Al-Qur’an dan zikir termasuk perbuatan taqarrub kepada Allah, dan Allah yang berhak mengambil upah.

          Hal yang sering terjadi di Indonesia, ketika seorang muslim meninggal, maka pihak keluarga menyewa orang untuk membaca Al-Qur’an yang biasanya dilakukan tiga malam kalau yang meninggal belum dewasa, tujuh malam kalau yang meninggal sudah dewasa, dan empat puluh malam bagi orang-orang tertentu. Setelah selesai, maka mereka diberi upah alakadarnya dari jasa tersebut.

          Pekerjaan ini batal hukumnya karena tujuannya bukan untuk ibadah, tetapi untuk mencari upah. Ketika orang membaca Al-Qur’an yang ditujukan untuk mayit tersebut, maka pahalanya diberikan kepada dirinya sendiri dan tidak bisa diberikan kepada orang lain.

          Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah, para ulama memfatwakan kebolehan mengambil upah yang dianggap sebagai perbuatan baik, seperti para pengajar Al-Qur’an dan guru-guru di sekolah boleh mengambil upah karena mereka membutuhkan tunjangan untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya.

          Menurut Mazhab Hambali, mengambil upah dari perbuatan azan, qomat, badal haji dan puasa qadha tidak boleh, diharamkan pelakunya mengambil upah dari pekerjaan tersebut. Tetapi, jiaka mengambil upah karena mengajar Al-Quran, fiqh, dan hadits itu diperbolehkan. Haram hukumnya mengambil upah apabila pekerjaan itu termasuk perbuatan taqarrub kepada Allah, seperti membaca Al-Qur’an, shalat, dan yang lainnya.

          Mazhab Maliki, Syafi’i dan Ibn Hazm memperbolehkan, karena itu merupakan imbalan yang pekerjaannya diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula. Ibn Hazm memperbolehkan karena tidak ada nash yang melarangnya.

          Abu Hanifah dan Ahmad melarang mengambil upah dari pekerjaan tersebut karena itu termasuk ibadah atau bentuk ketaatan. Sementara Maliki mengatakan boleh. Sama halnya dengan Imam Syafi’i yang juga mengatakan boleh.

 

          Pembayaran Upah dan Sewa

          Jika ijarah merupakan pekerjaan, maka upah wajib diberikan ketika pekerjaan selesai. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Hanifah upah wajib diserahkan secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterima. Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika mu’jir menyerahkan zat benda yan disewa kepada musta’jir , ia berhak menerima bayaran karena si penyewa sudah mendapatkan manfaatnya.

Hak menerima upah bagi musta’jir adalah sebagai berikut:

Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad yang artinya “Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu kering.”

Jika menyewa barang, uang sewa dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.

 

          Menyewakan Barang Sewaan

          Musta’jir diperbolehkan lagi menyewakan barang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang tersebut sesuai dengan akad di awal. Seperti kerbau yang disewa untuk membajak sawah, kemudian ada musta’jir kedua, maka kerbau itu juga harus digunakan untuk membajak sawah juga.

Harga sewa yang kedua ini tidak ditentukan, boleh lebih besar, lebih kecil, atau bahkan seimbang.

Bila ada kerusakan pada baramg sewaaan, maka itu menjadi tanggung jawab pemilik barang, dengan catatan bahwa kerusakan bukan diakibatkan oleh si penyewa. Misanya, ketika menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang karena kelalaian si penyewa, maka itu menjadi tanggung jawab si penyewa.

 

          Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah

Ijarah menjadi fasakh (batal) apabila:

Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa

Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya

Rusaknya barang yang diupahkan, seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan

Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaaan

Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia boleh memfasakhkan sewaan itu.

 

          Pengembalian Sewaan

          Jika ijarah berakhir, penyewa wajib mengembalikan barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah barang tetap, ia wajib menyerahkan dalam keadaan kosong, dan apabila barang sewaan itu berupa tanah, ia wajib mengembalikan tanah dalam keadaan kosong tanpa tanaman, kecuali sulit untuk menghilangkan tanamannya.

Mazhab Hambali mengatakan bahwa, ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan.

 

CONTOH KASUS :

          Seseorang menjaminkan sepeda motornya ke bank untuk mendapatkan pinjaman. Hak guna sepeda motor tersebut berpindah ke bank, namun tidak atas kepemilikannya. Setelah nasabah melunaskan pinjamannya, maka hak guna sepeda motor tersebut kembali ke nasabah.



                                                             

Posting Komentar untuk "Fiqih Muamalah II - Pengertian Ijarah Hukum Ijarah Rukun dan Syarat Ijarah"