Fiqih Muamalah - Pengertian RAHN Hukum RAHN Rukun Dan Syarat RAHN
A. Pengertian
Rahn
Secara
etimologi, Rahn berarti tetap atau lama (as-subut wa ad-dawam) atau pengekangan
dan keharusan (al-habs wa al-luzum).
Sedangkan menurut istilah adalah penahanan terhadap suatu barang dengan
hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.
Menurut
Al-Bahuti dan Ibnu Qudamah, Rahn secara bahasa berarti tetap dan abadi,
dikatakan m’un rahinun artinya air yang menggenang, na’matun rahinatun artinya
yang abadi. Berdasarkan firman Allah adalah “Tiap-tiap diri bertanggung
jawab atas apa yang telah diperbuatnya”, maksudnya tertahan. Rahn yang dimaksudkan
lebih condong mengikuti arti yang pertama, yaitu karena tertahan berarti tetap
tidak berpindah sedikitpun.
Sedangkan
Al-Qurtubi mendefinisikan Rahn sebagai barang yang ditahab oleh pihak yang
member hutang sebagai jaminan dari orang yang berhutang, sampai pihak
penghutang melunasi hutang tersebut.[1]
Menurut
Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitab Fathul Wahhab mendefinisikan rahn
yaitu menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang
dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bila utang tidak dapat di bayar.
Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan buka produk dan semata
untuk kepentingan social, bukan kepentingan bisnis, jual beli mitra.
Pasal
20 ayat 14 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) mendefinisikan bahwa rahn/gadai
adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.
Dari
berbagai definisi yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
Rahn adalah suatu jaminan yang diserahkan oleh pihak yang berhutang kepada
pihak yang memberi hutang. Dan apabila pihak yang telah berhutang tidak mampu
membayar hutangnya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan atau sudah jatuh
tempo, maka pihak yang memberi hutang mempunyai kuasa penuh untuk menjual
barang jaminan tersebut. Jika barang jaminan yang telah di jual melebihi jumlah
hutang, maka sisanya harus dikembalikan kepada penghutang, namun jika kurang
maka pihak penghutang harus menambahinya.
B. DASAR
HUKUM RAHN
اْلأَصْلُ
فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ وَالْإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
“Hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah
adalah halal dan diperbolehkan
kecuali ada dalil (yang melarangnya).”
Berdasarkan
dail Al-Qur’an yaitu terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 283 di bawah ini:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ
تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌۗ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهٗ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗۗ وَلَا
تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَۗ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهٗ اٰثِمٌ قَلْبُهٗۗ
وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ ؑ
“Dan jika kamu dalam
perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada
barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu
menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh,
hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam surah al-Mudatsir ayat 38:
كُلُّ
نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”
Sedangkan dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari Aisyah binti Abu Bakar yaitu:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ
إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi
dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (Hr.
Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603)”
Dengan demikian, berdasarkan
kesepakatan maka hokum rahn adalah mubah atau boleh. Hal ini didasarkan dari
dalil-dalil Allah yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan ada pula berdasarkan
Hadis.
C. RUKUN
DAN SYARAT RAHN
Rukun
rahn terdiri dari pemberi gadai (Rahn), penerima gadai (murtahin), barang
jaminan (marhun), hutang (marhun bihi) dan shigat (ijab dan qabul). Sedangkan
menurut Hanafiyah, rukun rahn adalah ijab dan Kabul dari rahin dan murtahin.
Di
setiap rukun-rukun yang ada terdapat pula syarat-syarat yang harus terpenuhi.
Mengenai syarat bagi pihak yang berakad sama dengan syarat akad pada umumnya
yaitu para pihak yang berijab Kabul adalah pihak yang berakal, sudah baligh, tidak
dalam paksaan atau tidak terpaksa. Dalam pasal 330 KHES juga disebutkan bahwa
pihak yang melakukan akad adalah pihak yang cakap hukum.
Mazhab
hanafiyah mempunyai pandangan tersendiri mengenai syarat sigad atau akad yaitu
agar akad tidak terikat dengan syarat tertentu dan tidak tergantung pada suatu
kejadian di masa mendatang. Akad yang terikat oleh suatu syarat, misalnya
penerima mau melaksanakan akad dengan syarat pemberi jaminan mau membeli barang
tertentu miliknya. Sementara akad yang digantungkan pada kejadian mendatang
contohnya adalah rahn berlangsung selama tidak turun hujan, maka ketika terjadi
hujan atau turun hujan maka akad tidak jadi. Apabila terjadi persyaratan dan
penggantungan akad dengan suatu yang lain di luar akad maka akan membuat akad
menjadi rusak.
Dalam
hutang juga memiliki syarat-syarat yang terkait di dalamnya yaitu sebagai
berikut:
1. Hutang
merupakan hak yang harus di bayar.
2. Jumlah
hutang dapat tertutupi dengan nilai barang yang digadaikan atau jumlah hutang
tidak boleh melebihi dari nilai barang yang dijadikan sebagai jaminan.
3. Hak
hutang harus jelas.
Sedangkan
pandangan oleh mazhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah, syarat yang terkait pada
hutang adalah sebagai berikut:
1. Hutang
merupakan hutang yang tetap dan wajib dibayar oleh Rahin.
2. Hutang
harus mengikat kedua belah pihak.
3. Jumlah,
ukuran dan sifat hutang harus jelas di antara para pihak yang berakad.
Syarat
yang berkaitan dengan agunan atau barang yang menjadi jaminan hutang adalah
sama dengan syarat barang yang menjadi obyek jual beli pada umumnya transaksi
dalam jual beli. Hal tersebut dikarenakan bahwa barang yang dijadikan jaminan
dimungkinkan akan di jual oleh penerima jaminan (murtahin) ketika orang yang
menggadaikan tidak mempu membayar hutangnya. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Barang
yang digadaikan benar-benar ada dan nyata. Jika barang tersebut belum atau
tidak ada maka transaksi rahn tidak sah, begitu juga barang yang belum pasti
adanya, seperti binatang yang masih di dalam kandungan induknya.
2. Obyek
transaksi merupakan barang yang bernilai, halal, dapat dimiliki, dapat di
simpandan dimanfaatkan sebagaimana mestinya serta tidak menimbulkan kerusakan.
3. Barang
yang dijadikan objek transaksi merupakan hak milik secara sah dan kepemilikan
sempurna. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah menggadaikan pasir ditengah
padang atau air laut yang masih dilaut atau menggadaikan panas matahari, karena
tidak adanya kepemilikan yang sempurna.
4. Objek
harus dapat diserahkan saat transaksi. Berdasarkan syarat ini maka tidak sah
menggadaikan binatang liar, ikan dilautan atau burung yang ada di awing, karena
tidak dapat diserahkan kepada pembeli.
5. Selain
syarat diatas, ada satu syarat lagi yang mutlak harus terpenuhi, yaitu barang
yang digadaikan harus tahan lama dan tidak mudah rusak, seperti emas, perak,
logam mulia, kendaraan dan seterusnya. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah
menjadikan maknan yang mudah busuk, seperti kue basah sebagai jaminan utang,
karena tidak bertahan lama.
Menurut
ulama Hanafiyah, syarat barang yang digadaikan harus barang yang berharga,
jelas, dan diserahterimakan, dapat disimpan tahan lama, terpisah dari barang
lainnya, baik benda bergerak maupun tidak. Secara lebih rinci, syarat-syarat
ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Barang
yang digadaikan harus dapat diperjualbelikan; harus pada waktu akad dan dapat
diserahterimakan.
2. Barang
yang digadaikan harus berupa harta (kekayaan) yang bernilai.
3. Barang
yang digadaikan harus halal digunakan atau dimanfaatkan, sekiranya barang
tersebut dapat untuk melunasi utang
4. Barang
harus jelas, spesifikasinya, ukuran, jenis jumlah, kualitas dan seterusnya.
5. Barang
harus milik pihak yang menggadaikan secara sempurna.
6. Barang
yang digadaikan harus menyatu, tidak terpisah-pisah.
7. Barang
harus tidak ditempeli sesuatu yang tidak ikut digadaikan.
8. Barang
yang digadaikan harus utuh; tidaksah menggadaikan mobil hanya seperempat atau
separuh.
Rahn
dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana dijelaskan
diatas. Apabila salah satu rukun atau syarat tidak terpenuhi, maka rahn tidak
sah.
D. PEMANFAATAN
BARANG RAHN
Bagi
rahin (penggadai) mayoritas ulama membolehkan penggadai memanfaatkan barang
yang digadaikannya selama mendapat izin dari murtahin. Selain itu, penggadai
harus menjamin barang tersebut selamat dan utuh. Sedangkan pemanfaatan barang
dari murtahin, mayoritas ulama selain mazhab Hambali memberikan pendapat bahwa
murtahin tidak boleh menggunakan barang rahn.[2]
E. PERTAMBAHAN
BARANG JAMINAN (BORG)
Para
ulama telah membuat kesepakatan bahwa tambahan yang ada pada borg adalah milik
rahin. Pendapat dari para ulama tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ulama
hanafiyah memberikan pandangan atau pendapat bahwa tambahan yang terjadi pada
borg yang termasuk rahn, baik yang berkaitan dengan rahn seperti buah, kelapa
dan lainnya yang terpisah, seperti anak hewan. Adalah tambahan yang tidak
berkaitan dengan rahn, seperti upah merupakan milik rahin.
2. Ulama
Malikiyah bahwa yang termasuk pada rahn adalah sesuatu yang dihasilkan,
berkaitan dan tidak terpisah seperti lemak, atau yang terpisah, tetapi
berkaitan seperti anak dan lainnya. Adapun sesuatu yang bukan asli dari
penciptaan borg atau gambarannya tidaklah termasuk borg. Seperti buah yang
dihasilkan pohon atau yang tidak dihasilkan. Seperti sewa rumah atau
penghasilannya.
3. Ulama
Syafi'iyah berpendapat bahwa segala tambahan dari rahn, baik yang dilahirkan
dari borg atau bukan, berkaitan dengan borg ataupun tidak semua termasuk rahn,
hukumnya benda tersebut sama dengan hukumnya dari rahn itu sendiri.
F. PENAMBAHAN
HUTANG
Jumhur
ulama membolehkan rahin untuk menambah borg, misalnya rahin meminjam kan uang
Rp. 100.000.00 dengan menggadaikan baju, kemudian ia menambahkan satu lagi
untuk gadai.
Demikian,
diantara ulama terjadi perbedaan pendapat apabila rahin meminta tambahan uang,
seperti rahin meminjam uang Rp. 100.000,00 dengan menggadaikan sepeda, kemudian
rahin meminjam lagi Rp. 100.000,00 dengan menjadikan sepeda sebagai gadai
diatas utang Rp. 200.000,00
Mengenai hal tersebut pendapat para ulama fiqih
ada dua, yaitu:
1. Ulama
Hanafiyah, Muhammad, Hanabila, dan Imam Syafi'i menyatakan tidak sah menambah
utang sebab dapat menyebabkan rahn kedua, padahal borg berkaitan dengan rahn
pertama secara sempurna.
2. Imam
Malik, Abu Yusuf, Abu Turs, Al-Majani, dan Ibn Al-Mundzir membolehkan tambahan
tersebut sebab rahn kedua membatalkan rahn yang pertama. Sama dengan
menggadaikan satu borg untuk dua utang.[3]
G. AKHIR
AKAD RAHN
Rahn
dipandang berakhir masanya jika memenuhi beberapa keadaan di bawah ini:[4]
1. Barang
yang dijadikan sebagai agunan telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
2. Hutang
telah dibayar oleh rahin.
3. Dijual
dengan perintah hakim atas permintaan rahin.
4. Pembebasan
hutang dengan cara apapun, meskipun dengan pemindahan oleh murtahin.
5. Dibatalkan
oleh murtahin, meskipun tidak dapat persetujuan oleh rahin.
6. Barang
rahn rusak bukan karena tindakan atau penggunaan dari pihak murtahin.
7. Berdasarkan
pasal 381, dibatalkan bila harta gadai belum dikuasai oleh penerima gadai.
8. Berdasarkan
pasal 384, pemberi gadai dan penerima gadai membatalkan akad gadai berdasarkan
kesepakatan.
H. MANFAAT
RAHN
Bank
dapat memperoleh manfaat dari prinsip rahn yaitu sebagai berikut:
1. Mencegah
nasabah untuk tidak lalai dan bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang
diberikan oleh pihak bank.
2. Memberikan
keamanan bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan
hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset
atau barang yang dipegang oleh bank.
3. Jika
rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, maka sudah tentu barang akan
membantu saudara kita yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah.
Manfaat
yang langsung didapatkan oleh pihak bank adalah biaya-biaya kongkrit yang harus
di bayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan asset tersebut. Jika
penahanan asset berdasarkan fidusia (penahanan barang bergerak sebagai jaminan
pembayaran), maka nasabah juga harus membayar biaya asuransi yang besarnya
sesuai dengan yang berlaku untuk umum.
Sedangkan
keuntungan penggunaan rahn bagi nasabah itu sendiri adalah sebagai berikut:
1. Waktu
yang relatif singkat untuk memperoleh uang pinjaman, yaitu pada hari itu
peminjam datang ke pengadaian pada hari itu juga uang yang dibutuhkan cair, ini
karena pengadaian prosedurnya yang sederhana.
2. Bila
dilihat dari persyaratanya pun sangat sederhana, sehingga masyarakat untuk
menunjang perekonomian.
3. Apabila
dilihat dari pengadaian konvesional tidak ada kewajiban masyarakat memberi tahu
kepada pihak pengadaiannya uang yang diberian untuk keperluan apa, tetapi dalam
pengadaian syariah pengunaan dana yang akan digunakan lebih baik di beritahukan
agar pihak pengadaian mengetahui jenis akad apa yang lebih tepat untuk
masyarakat tesebut.
I. STATUS
BARANG GADAI
Terbentuknya status gadai adalah
ketika terjadinya suatu akad atau kontrak hutang-piutang dan bersamaan dengan
penyerahan suatu aguanan/jaminan. Maka dari itu, status gadai menjadi sah
sesutah terjadinya hutang. Penilaian ulama juga menyebutkan bahwa hal ini sah
karena hutang tetap (tsabit) memang menuntut pengambilan jaminan. Dengan
demikian, dibolehkan untuk mengambil suatu barang untuk dijadikan sebagai
jaminannya.[5]
Menurut mazhab Maliki dan mazhab
Hanafi, status gadai dapat pula terbentuk sebelum munculnya hutang. Misalnya
seseorang berkata “Saya gadaikan rumah saya dengan uang pinjaman yang diberikan
oleh Anda sebesar Rp 20.000.000,00.” Maka gadai tersebut sah, karena barang
tersebut merupakan sebagai jaminan pula bagi hak tertentu.
J. Implementasi
Rahn dalam Lembaga Keuangan Syariah
Rahn
digunakan untuk membantu nasabah dalam memenuhi kebutuhan insidentilnya yang
mendesak. Dalam praktik rahn di perbankan syariah, bank tidak menarik manfaat
apapun kecuali biaya pemeliharaan dan keamanan barang agunan atau barang yang
digadaikan. Pengaplikasian akad rahn juga dapat dilakukan untuk memenuhi
permintaan bank akan jaminan tambahan atas suatu pemberian fasilitas pembiayaan
kepada nasabah.
Kontrak
rahn dalam perbankan syariah adalah sebagai berikut:
1. Dipakai
sebagai produk pelengkap, yaitu sebagai akad tambahan (jaminan/collateral)
terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan ba’I al murabahah. Bank dapat
menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
2. Sebagai
produk tersendiri, yaitu di beberapa negara Islam termasuk di Malaysia, akad
rahn telah dipakai alternatif dari penggadaian konvensional. Bedanya adalah
dalam rahn adalah yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan,
pemeliharaan, penjagaan serta penaksiran. Perbedaan yang paling utama adalah
dari sipat bunga yang berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan biaya rahn
hanya sekali dan ditetapkan di muka.
Alur praktik rahn dalam Lembaga
Keuangan Syariah adalah:
1. Jaminan
diserahkan oleh nasabah kepada bank syariah (murtahin) dan jaminan tersebut
merupakan barang yang bergerak.
2. Akad
pembiayaan dilaksanakan antara rahin (nasabah) dan murtahin (bank syariah).
3. Apabila
kontrak pembiayaan telah ditandatangani, dan agunan diterima oleh bank syariah,
maka bank syariah mencairkan pembiayaan.
4. Setelah
itu, rahin membayar kembali ditambah dengan fee yang telah disepakati,
dimana fee tersebut merupakan sewa tempat dan biaya untuk pemeliharaan
agunan.
1. Melalui
bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak
mengurangi nilai dan merusak barang yang telah digadaikan. Apabila rusak atau
cacat maka nasabah harus bertanggung jawab.
2. Apabila
nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas
perintah hakim.
3. Nasabah
mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizing bank. Apabila hasil
penjualan melebihi kewajibannya, maka kewajiban tersebut menjadi milik nasabah.
4. Bila
hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajiban, nasabah menutupi
kekurangannya.
Hal di atas sesuai dengan pasal 408 ayat
(2) yaitu apabila pemberi gadai tidak dapat melunasi utangnya maka harta gadai
dijual paksa melalui lelang syariah, pasal 408 ayat (3) yaitu hasil penjualan
harta gadai digunakan untuk melunasi utang biaya penyimpanan dan pemeliharaan
yang belum dibayar serta biaya penjualan, serta pasal 408 ayat (4) yaitu
kelebihan hasil penjualan menjadi milik pemberi gadai dan kekurangannya menjadi
kewajiban pemberi gadai.
Mekanisme
akad yang dilakukan dalam perjanjian gadai syariah adalah sebagai berikut:
1. Akad
al-qardhul hasana, yang dilakukan apabila nasabah menggadaikan barang miliknya
untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah (rahin) akan memberikan fee
kepada pihak yang menerima barang gadai (murtahin) yang telah menjaga atau
merawat barang gadaiannya.
2. Akad
al-mudharabah, yang dilakukan oleh nasabah yang menggadaikan agunan atau
jaminan untuk modal usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja). Maka dari
itu, rahin memberikan bagi hasil (berdasarkan keuntungan) kepada murtahin
sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan kedua belah pihak hingga peminjaman
modal terlunasi.
3. Akad
ba’i almuqayadah, yang dilakukan oleh nasabah yang menggadaikan jaminannya
untuk menambah modal usaha berupa pembelian barang modal. Dengan demikian
murtahin akan membelikan barang yang dimaksud oleh rahin.
Contoh
Kasus :
A
memiliki hutang kepada B sebesar 10 juta, sebagai jaminan tersebut A
menyerahkan BPKB mobilnya kepada B secara rahn Iqar. Walaupun surat-surat
kepemilikan mobil diserahkan kepada B, namun
mobil tersebut tetap berada ditangan A dan dipergunakan olehnya untuk
keperluannya sehari-hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas mobil
tersebut.
Posting Komentar untuk "Fiqih Muamalah - Pengertian RAHN Hukum RAHN Rukun Dan Syarat RAHN"
Silahkan tinggalkan komentar agar kami lebih baik.