Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fiqih Muamalah II - Pengertian Taflis Hukum Taflis Pengertian Al-Hajru dan Hukum Al- Hajru A. Taflis

fiqih muamalah


1.   Pengertian Taflis

          Secara etimologi, Al-taflis berarti pailit, tekor atau jatuh miskin. Orang yang failit disebut muflis, yaitu seorang yang tekor, dimana hutangnya lebih besar dari assetnya. Dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad Saw pernah menggambarkan seorang yang muflis di akhirat, yaitu orang yang lebih besar dosannya dibandingkan pahalannya. Orang tersebut mengalami tekor, karena pahalannya dipindahkan kepada orang-orang yang menggunjingnya, sehingga timbangan dosannya menjadi lebih besar dari pahalannya. Dalam konteks ekonomi, istilah taflis diartikan sebagai orang yang hutangnya lebih besar  dari hartanya.

Taflis diambil dari kata al-fals jamaknya fulus. Al-fals adalah jenis uang yang paling sedikit (uang recehan) yang terbuat dari tembag. Fulus biasanya dikesankan sebagai harta seseorang yang paling buruk dan mata uang yang paling kecil. Orang-orang miskin biasannya hanya memiliki mata uang fals atau fulus.


          Menurut Ensiklopedi Indonesia, kepailitan didefinisikan sebagai ketidakmampuan pihak penghutang atau debitor (biasa orang, badah hukum, perseroan) yang terbukti berdasarkan ketetapan pengadilan, bahwa debitor telah berhenti membayar hutangnya (tidak mampu melunasi hutang) yang menyebabkan penyitaan umum atas harta kekayaannya, sehingga debitor tidak berhak lagi mengurus harta bendanya.

Sedangkan secara terminology ahli fiqh, At-taflis (penempatan pailit) didefinisikan oleh para ulama dengan :

ﺠﻌﻝﺍﻠﺤﺎﻛﻢﺍﻠﻤﺪﺪﻳﻮﻦﻤﻔﻠﺴﺎﻦﺒﻤﻨﻌﻪﻤﻦﺍﻠﺘﺻﺮﻒﻔﻲﻤﺎﻠﻪ  

“Keputusan hakim terhadap orang yang berhutang sebagai orang yang bangkrut yang menyebabkan ia terlarang untuk melakukan tindakan hukum terhadap hartannya”

Larangan itu dijatuhkan karena ia terlibat hutang yang meliputi atau bahkan melebihi seluruh hartannya.

2.   Dasar Hukum Taflis

          Didalam prinsip-prinsip taflis, saat debitur mengalami masa pailit hendaknya pihak kreditur memperlakukan debitur dengan cara yang baik sesuai dengan ajaran yang ada di dalam hukum islam. Karena didalam bermuamalah kita sesama manusia tidak boleh saling merugikan satu sama lain. Sebagaimana yang telah dijelaskan Allah didalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 29 :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta      sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang belaku dengan suka sama suka diantara kamu”

          Menurut ulama fiqh, seseorang debitur atas pengaduan kreditur dapat diajukan sebagai tergugat ke pihak pengadilan sehingga ia dikatakan pailit. Pada hadis Nabi SAW. Yang diriwayatkan oleh ad-Daruqutni dan al-hakim. Dalam hadis tersebut , Nabi SAW. Menyatakan Mu’adh sebagai orang yang terlilit hutang dan tidak mampu melunasinya. Kemudian Rasulullah melunasi hutang tersebut dengan sisa harta yang dimiliki Mu’adh. Karena pemberi hutang merasa piutangnya tidak sepenuhnya terlunasi.

          Ulama fiqh juga menyatakan bahwa dalam soal hutang-piutang, sebagai hakim tidak boleh melakukan intervensi terhadap orang lain, karena kaidah umum dalam shari’atislam menyatakan bahwa hak orang lain dipelihara oleh shara. Akan tetapi, dlam ksaus debitur tidak mampu lagi membayar hutangnya karena hartanya tidak ada lagi atau hartannya tidak cukup untuk membayar seluruh hutang, maka ulama fiqh sepakat membolehkan hakim melakukan intervensi untuk menyelesaikan hutang. Salah satu pertimbanganya menurut ahli fiqh adalah banyaknya pihak kreditur yang mengajukan tuntutan terhadap hakim.

 

3.   Status Muflis

Dalam persoalan status hukum orang yang jatuh pailit, para ulama fiqh juga terdapat perbedaan pendapat.

          Imam Abu Hanifat berpendapat, bahwa orang yang jatuh pailit tidak dinyatakan sebagai orang yang berada di bawah pengampunan (mahjur ‘alaih), sehingga ia tetap dipandang cakap untuk melakukan tindakan hukum. Menurutnya, dalam persoalan harta, tindakan hukum seseorang tidak boleh dibatasi atau dicabut sama sekali, karena harta itu adalah harta Allah, boleh datang boleh juga habis. Oleh sebab itu, menurut Abu hanifah,seseorang yang terbelit hutang  tidak boleh ditahan atau dipenjarakan.

          Sedangkan menurut jumhur ulama, termasuk dua tokoh fiqh terkemuka mazhab Hanafi, yaitu Imam Abu yusuf dan Imam Muhammad ibn al-Hasan asy-Syabani, seorang yang telah dinyatakan pailit oleh hakim, boleh dianggap sebagai seseorang yang berada dibawah pengampunan, dan dia dianggap tidak cakap lagi bertindak hukum terhadap hartannya yang ada. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak orang yang memberikan hutang kepadanya.

Alasan jumhur ulama dalam memperbolehkan orang jatuh pailit dinyatakan di bawah pengampunan hakim a        dalah sabda Rasulullah Saw, dengan syarat :

a.    Hutangnya meliputi atau melebihi sisa hartanya

b.    Para pemberi hutang menuntut kepada hakim agar orang yang jatuh pailit itu ditetapkan berstatus di bawah pengampunan.

4.   Penyelesaian Hutang Muflis

          “Hai orang-orang yang beriman , apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seseorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar, dan janganlah pemulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaknya ia menulis, dan hendaknya orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan dia tulis), dan hendaknya ia bertaqwa kepada Allah tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daaripada hutangnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atu lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaknya walinya yang mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa maka seorang yang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila m ereka dipanggil ; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. (gtulislah muamalah itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persiapkanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan yang (demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu dan bertaqwaah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah maha mengetahui para sesuatu”. QS 2:282

          Ash-Shuluh, secara etimologi adalah memutuskan pertikaian. Secara terminology shuluh adalah melakukan perjanjian yang menghantarkan kepada kesepakatan dia antara kedua belah pihak yang bertikai demi memutuskan pertikaian. Shuluh diperbolehkan oleh Al-Qur’an, sunnah, Ijma Ulama dan Qiyas. Allah SWT berfirman yang artinya : “perdamainan dibolehkan di antara umat islam kecuali perdamaian menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.’’ (HR. At-Tirmidzi,1352)

          Berdamai atas nama ikrar terbagi dua, yaitu : pertama, berdamai atas jenis hak tertentu, yaitu dimana seseorang mengikrarkan kepada musuhnya tentang utang lalu ia menggugurkan darinya sebagian utang atau mengikrarkan barang barang perniagaan lalu ia menghibahkan sebagian kepadannya. Hal seperti ini sah, karena ia boleh membelanjakan harta tidak tercegah dari gugurnya sebagian haknya atau sebagian hibahnya. Kedua, berdamai terhadap hak yang di ikrarkann dengan sesuatu yang bukan jenisnya, maka yang demikian sah dan ketika demikian , berarti ia adalah kompensasi, baik jual beli atau menukar mata uang atau yang lainnya. Denga demikian hukum-hukum kompensasi tersebut berjalan didalamnya.

 

B.   Al-Hajru

1.   Pengertian Al-Hajru 

           Hajru menurut bahasa berarti tadyid wa mana’u (membatasi dan menghalangi). Sementara itu, pengertian hajru menurut istilah adalah membatasi manusia dalam mempergunakan hartanya. Hanafiyah menyatakan hajru merupakan ungkapan yang dipergunakan terhadap pencegahan tertentu untuk orang tertentu dan terhadap tindakan hukum tertentu. Pencegahan yang dimaksudkan Hanafiyah dari definisi ini adalah terhadap anak kecil, orang gila, dan lain sebagainya untuk melakukan tindakan hukum. Malikiyah berpendapat bahwa hajru adalah sifat hukmiyah (ketetapan hukum syara’) yang menyebabkan seseorang tercegah membelanjakan hartanya secara langsung melebihi kemampuannya. Dari definisi ini, hajru menurut Malikiyah berlaku bagi anak kecil, orang gila, orang lemah akal, orang bangkrut, dan lain sebagainya. Mereka ini tercegah membelanjakan hartanya melebihi kemampuannya. Syafi’iyah mendefinisikan hajru dengan pembatasan untuk melakukan tindakan hukum terhadap karena sebab-sebab tertentu.[1]

          Hajru ialah melarang atau menahan seseorang dari membelanjakan (memperedarkan) hartanya. Yang be   rhak melarang ialah wali atau hakim.

2.   Dasar Hukum Al- Hajru

 1.Al-Qur’an

     Dalil diterapkannya hajru adalah firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 5:

وَلَا تُؤْتُوا۟ ٱلسُّفَهَآءَ أَمْوَٰلَكُمُ ٱلَّتِى جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمْ قِيَٰمًا وَٱرْزُقُوهُمْ فِيهَا وَٱكْسُوهُمْ وَقُولُوا۟ لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا

Dan janganlah kamu serahkan hartamu kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kebiasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu. Berilah mereka belanja dan pakaian dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.

 2. As- Sunnah

          Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Nabi SAW menahan harta Muadz dan beliau jual harta itu untuk membayar utangnya”.

          Dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah SAW menetapkan Muadz bin Jabals sebagai orang yang terlilit hutang dan tidak mampu melunasinya (taflis/pailit). Kemudian Rasulullah SAW melunasi hutang Muadz bin Jabal dengan sisa hartanya. Tapi orang yang berpiutang tidak menerima seluruh pinjaman maka dia pun melakukan protes kepada Rasulullah SAW.

          Kemudian Rasulullah SAW berkata,”Tidak ada yang dapat diberikan kepada kamu selain itu”. (HR Daruquthuni & Al-Hakim). Berdasarkan hadist tersebut, ulama fikih telah sepakat menyatakan bahwa seorang hakim berhak menetapkan seseorang pailit karena tidak mampu membayar hutang-hutangnya. Dengan demikian secara hukum terhadap sisa hartanya dan dengan sisa hartanya itu hutang itu harus dilunasi.

3.   Al-Hajru (Larangan Menggunakan Uang Sendiri)

     Al-Hajru dapat dilakukan terhadap 6 orang :

1. Anak kecil

2.Orang Gila

3.Orang bodoh yang menghambur-hamburkan harta tanpa perhitungan

  Allah berfirman :

وَلَا تُؤْتُوا۟ ٱلسُّفَهَآءَ أَمْوَٰلَكُمُ ٱلَّتِى جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمْ قِيَٰمًا

Dan janganlah kamu serahkan hartamu kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kebiasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu”(QS. An-Nisa : 5).

 

فَإِن كَانَ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُۥ بِٱلْعَدْلِ

“Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur”.(QS.Al-Baqarah :282)

           Dalam ayat ini Allah memberitahukan bahwa orang-orang yang lemah akalnya diwakilkan oleh walinya dalam mempergunakan harta-harta mereka, inilah yang dimaksud dengan Hajr.

4. Orang bangkrut yang mempunyai banyak hutang dan hartanya tidak cukup untuk melunasi hutang-hutangnya.

5.  Orang yang sakit keras yang dikhawatirkan meninggal dunia, tidak boleh menggunakan lebih dari sepertiga hartanya.

6. Hamba Sahaya

          Anak kecil, orang gila, dan orang bodoh yang belum sempurna akalnya, tidak sah membelanjakan hartanya. Sedangkan orang yang bangkrut boleh membelanjakan hartanya untuk kebutuhannya, tapi tidak sah membelanjakan hartanya untuk kebutuhannya, tapi tidak sah membelanjakan harta-hartanya yang lain. Sedangkan orang yang sakit keras dikhawatirkan meninggal dunia, apabila ia menggunakan hartanya, maka ditangguhkan, sampai ada persetujuan ahli waris sepeninggalnya, sementara penggunaan uang yang dilakukan hamba sahaya untuk tanggungannya, baru diakui setelah ia merdeka.

          Jika dilihat dari segi penyebab seseorang ditetapkan berada dalam pengampunan, maka tujuannya adalah mahjur dilakukan guna menjaga hak-hak orang lain seperti pencegahan terhadap :

1. Orang yang uangnya lebih banyak daripada hartanya, orang ini dilarang mengelola hartaguna menjaga hak-hak yang berpiutang.

2. Orang yang sakit parah, dilarang berbelanja lebih dari sepertiga hartanya guna menjaga hak-hak ahli warisnya.

3. Murtad ( Orang yang keluar dari Islam) dilarang mengedarkan hartanya guna menjaga hak muslimin (Harun, 2011:210).

     Mahjur dilakukan untuk menjaga hak-hak orang yang dimahjur itu sendiri, seperti :

1. Anak kecil dilarang membelanjakan hartanya hingga beranjak dewasa dan sudah pandai mengelola dan mengendalikan harta.

2. Orang gila dilarang mengelola hartanya sebelum dia sadar, hal ini dilakukan juga untuk menjaga hak-haknya sendiri.

3.Pemboros dilarang membelanjakan hartanya sebelum dia sadar, hal ini juga untuk menjaga hak terhadap hartanya ketika ia membutuhkan pembelanjaan.

d. Pembagian Al-Hajru

     Hajru terbagi kepada:

1. Hajru (pembatasan) terhadap seseorang guna menjaga hak orang lain termasuk dalam kelompok ini adalah :

a.    Pembatasan terhadap orang yang pailit dari penggunaan hartanya demi menjaga hak para debitur.

b.    Pembatasan terhadap orang yang sakit keras yang diperkirakan akan meninggal dunia dan dikhawatirkan akan terjadi kebinasaan terhadap hartanya. Hajru terhadapnya dimaksudkan untuk menjaga hak ahli waris.

c.    Pembatasan terhadap orang yang menggadaikan hartanya. Orang yang menggadaikan hartanya dilarang mentransaksikan harta yang digadaikan untuk menjaga hak penerima gadai atau debitur.

2. Hajru (pembatasan) seseorang untuk menjaga haknya sendiri.Termasuk dalam kelompok ini adalah :

a.    Anak kecil, yaitu anak-anak yang belum baligh (dewasa). Pemeliharaan hartanya berlangsung sampai anak itu baligh.

b.    Orang yang hilang akal( gila dan bodoh) dilarang membelanjakan hartanya sampai dia sembuh, yaitu sempurna kembali akalnya seperti semula.

c.    Pemboros atau orang yang menyia-nyiakan hartanya.

Bagi orang-orang yang menyia-nyiakan hartanya dibatasi (dihajru) untuk mentransaksikan karena hanya menurutkan hawa nafsunya atas belanja terhadap hal-hal yang buruk karena kurangnya pengetahuan tentang kemaslahatan harta kekayaan yang dimilikinya.

 

          Hajru atau menghalangi seseorang untuk melakukan transaksi terhadap harta berguna  untuk menjaga hak orang lain sehingga tidak merasa dirugikan karena perbuatannya. Para debitur mempunyai kesempatan untuk mendapatkan kembali harta mereka yang sebelumnya dipergunakan oleh kreditor.

Contoh Kasus :

Orang bangkrut yang mempunyai banyak hutang dan hartanya tidak cukup untuk melunasi hutang-hutangnya.



 

Posting Komentar untuk "Fiqih Muamalah II - Pengertian Taflis Hukum Taflis Pengertian Al-Hajru dan Hukum Al- Hajru A. Taflis"