Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah Etika Konsumsi Hadis Ekonomi - Pengertian Etika Konsumsi, Prinsip Konsumsi Dalam Islam dan Larangan Berlebihan Dalam Konsumsi

pengertian ekonomi konsumsi islam

KATA PENGANTAR

          Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat menuliskan setitik ilmu-Nya ke dalam makalah ini. Shalawat serta salam kami tujukan kepada suri tauladan kami, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kami dari zaman jahiliyah hingga ke zaman yang penuh ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan ini.

          Tujuan makalah ini dibuat adalah untuk membantu mahasiswa dalam meningkatkan kemampuan untuk menambah pengetahuan dalam bidang Etika Konsumsi. Dengan harapan mahasiswa atau pembaca dapat menerapkan dan mengembangkan wawasan sesuai dengan bidang yang telah disampaikan.

Ucapan terima kasih kepada Bapak Saffaruddin Munthe M.E.I. Selaku dosen Hadis Ekonomi yang telah memberikan bimbingan dan kesempatan kepada kami untuk membuat makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikan tugas sesuai dengan yang diharapkan.

          Akhirnya kami berharap makalah ini menjadi kontribusi positif yang tak ada hentinya bagi mahasiswa dan  masyarakat pada umumnya.

 

Medan, 4 April 2020

Penulis

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang........................................................................................ 1

B.    Rumusan Masalah................................................................................... 1

C.    Tujuan Penulis........................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN

A.    Pengertian Etika Konsumsi....................................................................... 2

B.    Prinsip Konsumsi dalam Islam.................................................................. 4

C.    Larangan Berlebihan dalam Konsumsi........................................................ 5

BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan............................................................................................. 9

B.    Saran................................................................................................... .10

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..11

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

          Konsumsi merupakan pemakaian atau penggunaan manfaat dari barang dan jasa. Sehingga konsumsi merupakan tujuan yang penting dari produksi tetapi tujuan yang utama adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang.

          Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam islam, karena kenikmatan yang diciptakan Allah untuk manusia adalah ketaatan kepadanya. Didalam berkonsumsi kita juga harus tau bagaimana dan apa yang sudah kita konsumsi. Apakah sesuatu yang kita konsumsi itu didapatkan dengan jalan yang halal atau haram bahkan kemungkinan besar sesuatu yang kita konsumsi itu dari jalan yang subhat (yang artinya keadaan yang samar tentang kehalalan atau keharaman dari sesuatu).

          Sebagai umat muslim kita harus bisa mengatur bagaimana kebutuhan kita akan konsumsi, kita tidak boleh hanya mementingkan terpenuhinya suatu kebutuhan dengan konsumsi tersebut tetapi kita juga ada aspek-aspek batasan dan etika konsumsi dalam ekonomi islam yang harus terpenuhi. Tidak boleh terlalu berlebihan dalam mengkonsumsi apa pun. 

B.   Rumusan Masalah

1.    Apa pengertian etika konsumsi

2.    Apa saja prinsip konsumsi dalam islam

3.    Bagaimana larangan berlebihan dalam konsumsi 

C.   Tujuan Penulis

1.    Untuk mengetahui pengertian etika konsumsi

2.    Untuk mengetahui prinsip konsumsi dalam islam

3.   Untuk mengetahui larangan berlebihan dalam konsumsi

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.   Pengertian Etika Konsumsi

          Konsumsi berasal dari bahasa belanda consumptie yang berarti suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, barang maupun jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan. Sedangkan konsumen  adalah individu-individu atau kelompok pengguna barang dan jasa. Perlu dibedakan antara konsumen dengan distributor. Konsumen membeli barang dan digunakan untuk diri sendiri. Sedangkan distributor akan membeli barang dan menjualnya kepada orang lain. M.A Mannan, seorang pakar ekonomi islam asal Bangladesh mengatakan dengan gamblang bahwa konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyedian.

          Al-qur’an sebagai kitab petunjuk tentu tidak mengabaikan persoalan yang amat penting ini. Tidak berlebihan jika dikatakan, sebagaimana seriusnya Al-qur’an melarang praktik riba dan mendorong dikembangkannya tradisi zakat, sedemikian pula seriusnya Al-Qur’an menata perilaku konsumsi umat. Tidak saja karena  konsumsi  berkaitan dengan pertumbuhan  fisik dan rohani, tetapi juga karena konsumsi juga berhubungan dengan keseimbangan alam.

          Sehubungan perintah Allah untuk mengkonsumsi makanan dan larangan berlebih-lebihan syaukani menyatakan, Allah SWT memerintahkan hambanya untuk makan dan minum dan melarang mereka berlebih-lebihan larangan ini tidak dimaksudkan agar manusia meninggalkan makan dan minum.  Bahkan orang yang meninggalkan makan dan minum sama dengan membunuh dirinya sendiri dan iya termasuk  golongan ahli neraka. Bahkan didalam sebuah hadis disebutkan, orang yang tidak memenuhi kebutuhan makan dan minumnya secara wajar akan membuatnya lemah dan tidak akan mampu menegakkan apa-apa yang menjadi  kewajibannya. Dan lebih lagi untuk berusaha mencari nafkah. [1]

          Dan juga agar kita tidak sembarangan melakukakan kegiatan konsumsi adalah aturan atau etika tersendiri. Secara umum etika konsumsi dalam islam ialah:

Ø  Sederhana tetapi efesien dan efektif

          Kata efektif tersebut berasal dari bahasa inggris yang artinya “berhasil”. Sedangkan kata efesien berasal i dari bahasa  inggiris juga yang berarti “tepat guna”. Gambaran efesiensi  dan efektif adalah dengan menggunakan harta secukupnya, tidak boleh berlebihan. Contohnya , kemarin kita telah membeli beras, kemudian hari ini kita membeli lagi sedaangkan beras yang kemarin kita beli masih belum terpakai tetapi kita telah membelinya lagi. Hal ini dinamakan tamak dan kita tidak boleh seperti itu. 

Sebagaimana Allah SWT telah berfirman surah Al-A’raf:31 yang berbunyi :

۞يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٖ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ ٣١

Artinya :“Hai anak adam ,pakailah pakaiaanmu yang indah disetiap (memasuki)masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan .  maksud dari ayat di atas adalah Allah membolehkan kita untuk berkonsumsi tetapi jangan sampai melampaui batas yang dibutuhkan , gunakan secukupnya saja. Jika kita memakai barang secara berlebihan maka akan berdampak buruk untuk diri kita sendiri.

Ø  Memperhatikan yang halal dan  baik

          Yang harus diperhatikan dalam melakukan kegiatan konsumsi adalah kehalalan dan kebaikan baik berupa suatu produk maupun barang. Barang yang haram dikonsumsi kategorinya yang pertama adalah barang yang jelas haram dalam al-quran maupun hadis baik menurut illat yang jelas maupun illat yang diperselisihkan. Contoh barang yang illat jemasi diperselisihkan adalag daging babi. Yang kedua adalah barang najis. Yang ketiga adalah barang yang berbahaya seperti racun atau barang berbahaya lainnya yang dapat membahayakan orang lain terutama bagi tubuh kita. Yang keempat adalah barang yang mengandung kemusrikan. Contonya saat hari raya Adha kita ingin berkurban kemudian kita menyemblih sapi tetapi niat kita bukan karena Allah SWT melainkan karena kita riya’ atau pamer kepada tetangga agar mereka tahu kalau kita akan berkurban  maka hal seperti ini disebut barang yang menganddung kemusyrikan. Yang kelima adalah barang yang bersal dari kejahatan seperti mencuri beras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Meskipun niatnya baik tetapi caranya salah tetap saja akan mendapat dosa.

Ø  Tidak kikir, tidak mubadzir atau boros.

          Islam telah mengajarkan umatnya untuk tidak boros dalam menggunakan hartanya karena Allah tidak suka dengan orang yang kikir atau boros. Rasullah pun juga melarang umatnya untuk tidak kikir atau boros, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad yang artinya “makan ,minum, berpakaian, dean bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan”.[2]

 

B.   Prinsip Konsumsi Dalam Islam

1.    Prinsip Syariah

a.    Memperhatikan tujuan konsumsi

Perilaku konsumsi muslim dari segi tujuan tidak hanya mencapai kepuasaan dari konsumsi barang, melainkan fungsi “ibadah” dalam rangka mendapat ridha Allah swt. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-an’am ayat 162:

 

قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٢

 

Artinya :”Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.

b.    Memperhatikan kaidah ilmiah

Dalam berkonsumsi, seorang muslim harus memperhatikan prinsip kebersihan. Prinsip kebersihan mengandung arti barang yang dikonsumsi harus bebas dari kotoran maupun penyakit. Demikian juga harus menyehatkan dan memiliki manfaat dan tidak mempunyai kemudharatan.

c.    Memperhatikan bentuk konsumsi

Dari segi bentuk konsumsi, seorang muslim harus memperhatikan apapun yang dikonsumsinya. Hal ini tentu berhubungan dengan adanya batasan-batasan orang muslim dalam mengonsumsi suatu barang dan jasa. Seorang muslim misalnya dilarang mengkonsumsi daging babi, bangkai darah, minuman yang keras dan sebagainya.

                              

2.    Prinsip Kuantitas

a.    Sederhana

Sesungguhnya kuantitas konsumsi yang terpuji dalam kondisi yang wajar adalah sederhana. Maksudnya tengah-tengah antara boros dan pelit.

b.    Kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan

Dimana permintaan menjadi bertambah jika pemasukan bertambah, dan permintaan menjadi berkurang jika pemasukan menurun, disertai tetapnya faktor-faktor yang lain.

3.    Prinsip Prioritas Konsumsi

a.    Primer

b.    Sekunder

c.    Tertier

4.    Prinsip Moralitas

Yang dimaksud dengan prinsip ini adalah mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh dalam kuantitas dan kualitas konsumsi.

a.    Umat, sesungguhnya saling berkaitan dan saling sepenanggungan merupakan salah satu ciri dasar umat islam, baik individu maupun kelompok.

b.    Keteladanan, Umar Radiyallahu Anhu, selalu melakukan pengawasan perilaku konsumsi terhadap para individu yang menjadi panutan umat agar tidak menyelewengkan pola konsumsi mereka.

c.    Tidak membahayakan orang lain, setiap muslim wajib memenuhi perilaku konsumtif yang mendatangkan mudharat terhadap orang lain, baik secara langsung maupun tidak, terlebih jika bermudharat bagi orang banyak.[3]

 

C.   Larangan Berlebihan Dalam Konsumsi

1.    Larangan bersikap kikir/bakhil dan menumpuk harta

          Larangan kikir terhadap harta membuktikan dalam sifat ini menunjukkan kurangnya nilai kepekaan sosial, padahal manusia sebagai makhluk sosial (homo hominilups) tidak hanya hidup sendiri tetapi membutuhkan pertolongan orang lain walaupun tidak secara langsung terjadi interaksi. Sikap kikir akan mengarahkan manusia pada kategori orang-orang yang sombong dan membanggakan diri, dengan menganggap harta yang dimiliki hasil dari jerih payah sendiri tanpa sedikitpun bantuan dari pihak lain, padahal Allah sebagai pemilik semesta alam beserta isinya termasuk hartayang dimiliki manusia.

          Sikap kikir tumbuh dari perilaku menumpuk-numpuk harta dan menghitung-hitung  harta tersebut serta mempunyai anggapan bahwa harta tersebut dapat mengekalkan hidupnya. Allah memperingatkan dalam al-Qu’an surah al-Humazah ayat 1-4:

وَيۡلٞ لِّكُلِّ هُمَزَةٖ لُّمَزَةٍ ١ 

ٱلَّذِي جَمَعَ مَالٗا وَعَدَّدَهُۥ ٢

 يَحۡسَبُ أَنَّ مَالَهُۥٓ أَخۡلَدَهُۥ ٣

 كَلَّاۖ لَيُنۢبَذَنَّ فِي ٱلۡحُطَمَةِ ٤

Artinya: “Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan kedalam huthanah”.

Rasulullah saw. Selalu berdoa kepada Allah agar dilindungi dari sifat-sifat buruk termasuk sifat kikir :

عَنْ سَعْدِ بْنِ أبِي وَقاَّصٍ رَضِيَ اَالَّله عَنْهُ كاَنَ يَامُرُ بِهْؤُلاَ ءَاخَمْسَ وَيُحَدِّ ثُهُنَّ عَنَّ البِيْ قَلَي االَّله عَلَيْهِ وَسَاَّمَ اَاَّهُمَّ إنِي اَعُوْزُبِكَ مِنْ ابُجْلِ وَأعُوْ ذٌ بِكَ مِنْ اَلْجُبْنِ وَأعُوْ ذٌ بِكَ اَنْ اَرَدٌّ اِلَي اَرْذَ لِى اَلْعُمْرِ وَأعُو ذُ بِكَ مِن اَنْ اَرَدٌّ اِلَي اَرْذَ لِ اَللعُمْرِ وَاَعُوذٌ بِكَ  

مِنْ فِتْنَةِ اَلدُ نْياَ وَاَ عُو ذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ اَلْقَبْ ر (رواه البخاري)َ

    

“Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi waqas bahwa ia selalu meminta orang untuk berlindung dari lima hal dan menyampaikan hadist dari Nabi Muhammad saw:”Ya Allah,aku sesungguhnya, berlindung dengan engkau dari kekikiran, aku berlindung dengan engkau dari kegilaan, aku berlindung dengan engkau bahwa aku disampaikan ke usia tua Bangka, aku berlindung dengan engkau dari cobaan dunia, aku berlindung dengan engkau dari siksa kubur”. (HR. Bukhari).

2.    Larangan berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan

          Islam membenarkan pengikutnya menikmati kebaikan dunia. Prinsip ini bertolak belakang dengan sistem kerahiban, manuisme pasri, sufuisme brahma dan sistem lainnya yang memandang dunia secara sinis. Hidup sederhana adalah tradisi islam yang mulia, baik dalam membeli makanan, minuman, pakaian, rumah dan segala apapun, bahkan Rasulullah saw. melarang boros berwudhu dengan air walaupun berada di sungai yang mengalir.[4]

اَنْ رَسُوْلُ ااّلله صَلَّ ااّلله عَلَيْهِ وَسَلَمْ مَرَّ بِسَعَدْ وَهُوَ يَتَوَضَا . فَقَال (مَا هَذَا ا الإِسْرَافْ ؟) فَقَا لَ أفِي الوُضُوْءِإِسْرَافٌ ؟ قالَ (نَعَمْ, وَاِنْ كُنْتَ عَلَينَحْر جَارٍ)  (رواهابن ماجه)

“Rasulullah saw.bertemu Sa’ad ibn Abi Waqqos saat berwudhu, dan bersabda:”Kenapa engkau berlebih-lebihan?”, Sa’ad bertanya:”apakah dalam berwudhu ada sikap berlebihan?”, beliau bersabda: “Ya ada, walaupun engkau berwudhu di sungai yang mengalir”. (HR. Ibnu Majah).

          Berlebih-lebihan (al-tabdzir) termasuk sesuatu yang sangat ditentang oleh islam, hal ini terbukti dengan pemakaian kata. (ikwan al-shayatin) yang berarti saudara setan. Menurut Muhammad Hasan al-Hamshi, pemborosan itu sangat terkait dengan kadar ketaatan kita kepada Allah. Semakin boros seseorang  maka semakin lemah tingkat ketaatan kita kepada Allah.  Demikian pula sebaliknya. Itulah sebabnya orang yang boros disebut sebagai saudara setan, karena setan tidak memiliki ketaatan kepada Allah. Penadapat al-Hamshi tersebut berarti bahwa orang yang boros berada dalam jalan yang sama dengan setan keduanya berada pada jalur pembangkangan terhadap Allah.

          Imam syafi’I memberikan pernyataan bahwa tabzir adalah membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak dibenarkan jumhur ulama berpendapat bahwa didalam hal kebaikan tidak ada istilah mubazir. Akan tetapi, barang siapa yang membelanjakan hartanya demi nafsu belaka dan melebihi kebutuhannya sampai hartanya habis, maka ia termasuk kategori pemborosan.

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

          Etika konsumsi dalam islam ialah: Sederhana tetapi efesien dan efektif artinya efesiensi  dan efektif adalah dengan menggunakan harta secukupnya, tidak boleh berlebihan. Memperhatikan yang halal dan  baik artinya yang harus diperhatikan dalam melakukan kegiatan konsumsi adalah kehalalan dan kebaikan baik berupa suatu produk maupun barang. Barang yang haram dikonsumsi kategorinya (1) barang yang jelas haram dalam al-quran maupun hadis baik menurut illat yang jelas maupun illat yang diperselisihkan, (2) barang najis, (3) barang yang berbahaya seperti racun atau barang berbahaya lain yang dapat membahayakan kesehatan tubuh seseorang, (4) barang yang mengandung kemusrikan. Tidak kikir, tidak mubadzir atau boros, islam telah mengajarkan umatnya untuk tidak boros dalam menggunakan hartanya karena Allah tidak suka dengan orang yang kikir atau boros.

          Dalam islam juga menerapkan beberapa prinsip dalam konsumsi. Ada empat prinsip konsumsi dalam islam, yaitu prinsip syari’ah; prinsip kuantitas; prinsip prioritas konsumsi; dan prinsip moralitas.

          Dalam islam dilarang untuk berlebihan dalam berkonsumsi, ada dua larangan berlebihan dalam konsumsi. Larangan bersikap kikir/bakhil dan menumpuk harta artinya Sikap kikir akan mengarahkan manusia pada kategori orang-orang yang sombong dan membanggakan diri, dengan menganggap harta yang dimiliki hasil dari jerih payah sendiri tanpa sedikitpun bantuan dari pihak lain, padahal Allah sebagai pemilik semesta alam beserta isinya termasuk hartayang dimiliki manusia. Di balik hal tersebut padahal padahal manusia sebagai makhluk sosial (homo hominilups) tidak hanya hidup sendiri tetapi membutuhkan pertolongan orang lain walaupun tidak secara langsung terjadi interaksi. Selain larangan bersikap kikir/bakhil dan menupuk harta ada satu larangan lagi yaitu larangan berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan artinya berlebih-lebihan (al-tabdzir) termasuk sesuatu yang sangat ditentang oleh islam, hal ini terbukti dengan pemakaian kata. (ikwan al-shayatin) yang berarti saudara setan. Islam tidak mengajarkan hidup dengan bermewah-mewahan tetapi Islam mengajarkan hidup dengan kesederhanaan.

B.    Saran

          Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat untuk seluruh masyarakat tertuma dalam bidang Konsumsi. Islam adalah sebagai agama yang mengatur segala sendi kehidupan manusia secara sempurna, tidak luput juga bagaimana etika seorang makhluk dalam menkonsumi sebuah makanan atau minuman. Islam telah jauh-jauh hari mengingatkan dan memberikan solusi yang terbaik dalam hal etika konsumsi, yang bisa menghindari atau mencegah penyakit yang akhir-akhir ini memberikan ketakutan yang luar biasa.

 

DAFTAR PUSTAKA

1)   Beekum, Rafik Issa. 2004. Etika Bisnis Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

2)   Fauzia, Ika Yunia. Prinsip Dasar Ekonomi Islam. Jakarta: Prenadamedia Grup.

3)   Habibullah, Eka Sakti. “Etika Konsumsi Dalam Islam” (hlm. 92).

4)   Ilyas, Rahmat. 2016. “Etika Konsumsi dan Kesejahteraan Dalam Perspektif Ekonomi Islam” volume 1.

5)   Tarigan, Azhari Akmal. 2014s. Etika dan Spritualitas Bisnis. Medan: Febi Uinsu Press.



                [1] Azhari Akmal Tarigan, Etika & Spritualitas bisnis (FEBI UINSU Press, 2014) hal: 71-72

                [2] Rafik Issa Beekum, Etika Bisnis Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hal: 39

                [3] Rahmat Ilyas, Etika Konsumsi dan Kesejahteraan Dalam Perspektif Ekonomi Islam, vol 1, no 1, 2016.

                [4] Eka Sakti Habibullah, Etika Konsumsi Dalam Islam, hal 92.

                [5] Ika Yunia Fauzia, Prinsip dasar Ekonomi Islam (Jakarta: PRENADAMEDIA GRUP) hal: 187-188

Posting Komentar untuk "Makalah Etika Konsumsi Hadis Ekonomi - Pengertian Etika Konsumsi, Prinsip Konsumsi Dalam Islam dan Larangan Berlebihan Dalam Konsumsi"