Makalah Qawa’id Fiqhiyah Fil Mu’amalah – Pengertian Kaidah Jual Beli, Rukun Dan Syarat Jual Beli
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam cipataan-Nya. Sholawat dan salam tetaplah kita sanjungkan kepada Nabi Muhammad Saw yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempurna dengan membawa kita ke zaman yang penuh dengan Ilmu Pengetahuan.
Penulis akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang kami beri judul “Qawa’id Fiqhiyah”.
Penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga
terselesaikannya makalah ini. Dan penulis memahami jika makalah ini tentu jauh
dari kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki
karya- karya kami dilain waktu.
Medan, 14 September 2019
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR................................................................... i
DAFTAR
ISI............................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang................................................................ 1
B. Rumusan
Masalah........................................................... 2
C. Tujuan........................................................................... 2
BAB
II POKOK PEMBAHASAN
A.
Makna Kosa Kata.............................................................. 3
B.
Makna Secara Umum/Tujuan dari Kaidah............................ 3
C.
Dalil-dalil Kaidah/Landasan Kaidah..................................... 4
D.
Rukun dan Syarat Jual Beli................................................ 6
E.
Aplikasi Jual Beli Menurut Kaidah....................................... 7
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................... 10
B.
Saran............................................................................ 11
DAFTAR
PUSTAKA................................................................ 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Manusia adalah makhluk yang membutuhkan
banyak hal dalam menjalankan kehidupannya. Tentu saja jika tidak dipenuhi,
manusia akan kesulitan untuk bisa hidup dengan baik dan optimal dalam
menjalankan proses aktivitas-nya. Untuk itu, segala kehidupan manusia
membutuhkan alat atau sarana untuk memenuhinya termasuk berhubungan dengan
interaksi sosial bersama manusia lainnya agar mencapai Tujuan Penciptaan
Manusia.
Islam dalam hal ini
mengatur segala aspek kehidupan manusia sebagaimana islam mengatur-nya dengan
tujuan melindungi dan membuat kemaslahatan untuk manusia itu sendiri. Salah
satunya adalah dengan jual beli. Istilah dalam islam adalah bermuammalah yang
sesuai dengan hukum syariat.
Untuk
memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu
transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya,
dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini
dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman
sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja.Dengan kemajuan
teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kartu kredit, ATM, dan lain-lain
sehingga kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
Dengan
cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang
satu dengan yang lainpun menjadi lebih teguh. Akan tetapi sifat loba dan tamak
tetap ada pada manusia, suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing
jangan sampai tersia-sia, dan juga menjaga kemaslahatan umum agar pertukaran
dapat berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh sebab itu agama memberi peraturan
yang sebaik-baiknya; karena dengan teraturnya muamalat, maka
penghidupan manusia jadi terjamin pula dengan
sebaik-baiknya sehingga pembantahan dan dendam-mendendam tidak akan terjadi.
Nasihat Luqmanul Hakim kepada anaknya, “Wahai anakku!
Berusahalah untuk menghilangkan kemiskinan dengan usaha yang halal.
Sesungguhnya orang yang berusaha dengan jalan yang halal itu tidaklah akan
mendapat kemiskinan, kecuali apabila dia telah dihinggapi oleh tiga macam
penyakit: (1) tipis kepercayaan agamanya, (2) lemah akalnya, (3) hilang
kesopanannya,”
B. Rumusan
Masalah
1. Makna kosa kata ?
2. Makna secara umum/tujuan dari kaidah ?
3. Dalil-dalil kaidah/landasan kaidah ?
4.
Rukun dan Syarat Jual Beli ?
5. Aplikasi/contoh dari penerapan kaidah ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui
Makna kosa kata
2. Untuk
mengetahui Makna secara umum/tujuan dari kaidah
3.
Memberikan informasi tentang Dalil-dalil kaidah/landasan kaidah
4.
Memberikan pengetahuan tentang Rukun dan Syarat Jual Beli
5. Memberikan
informasi tentang Aplikasi/contoh dari penerapan kaidah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna
Kosa Kata
Hukum Asal: الأصل
Pada: في
Jual Beli: البيع
Boleh: الإباحة
B. Makna Secara Umum /
Tujuan Dari Kaidah
Secara etimologis jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang
lain). Ada beberapa istilah yang dipergunakan untuk jual beli yaitu al-ba’I yaitu
menyerahkan barang dan menerima pembayaran (Isfahani, tt : 155), asy-syira’ yakni
memasukkan zat kedalam hak milik dengan imbalan (ak-jaziri, 2002:123), al-mubadah
(pertukaran), dan at-tijarah (perniagaan antar manusia, atau
pertukaran antara kehidupan dunia dengan akhirat).
Jual beli merupakan
transaksi yang umum dilakukan masyarakat, baik untuk memenuhi kebutuhan harian
maupun untuk tujuan investasi, Bentuk transaksinya juga beragam, mulai dari
yang tradisional sampai dengan bentuk modern melalui lembaga keuangan.
Menurut terminology, juak beli ialah
persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan / menjual
barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar / membeli barang yang dijual),
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
1. Menurut
ulama Hanafiyah:
“Jual
beli adalah pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus yang
dibolehkan”.
2.
Menurut Imam Nawawi dalam al-Majmu’m
“Jual
beli adalah pertukaran harta dengan harta unuk kepemilikan”
3.
Menurut Ibnu Qudamah
“jual
beli adalah pertukaran harta dengan harta, untu saling menjadikan milik.”[1].
Tujuan
besarnya untuk menghindari setiap unsur kedzaliman dan mewujudkan kemaslahatan
di masyarakat.
C. Dalil
Dalil Kaidah/ Landasan Kaidah
Jual beli memiliki dasar hukum yang sangat kuat, baik
dari Al-Qur’an, hadis, maupun ijma’ ulama.
1. AL-QUR’AN
Al-qur’an cukup
banyak berbicara tentang jual beli. Ayat- ayat tersebut antara lain berbunyi:
- (Q.S. Al-Baqarah
(2): 275)
Artinya: Orang-orang yang memakan riba tidak dapat
berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila.
Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba.
Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa
mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah
diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.
- (Q.S.Al-Baqarah
(2) : 198)
Artinya: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
(rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari
'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di
Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
2. HADIS
Kebolehan jual beli juga ditemukan dasar hukumnya dalam
hadis-hadis Rasulullah,
Dari Rifa’ah bin
Rafi’, Nabi pernah ditanya mengenai pekerjaan apa yang paling baik. Jawaban
Nabi, “Kerja dengan tangan dan semua jual beli yang mabrur” [HR Bazzar no 3731
dan dinilai shahih oleh al Hakim.
3. IJMA’
Dasar
hukum jual beli yang selanjutnya adalah ijma’ ulama. Ulama telah sepakat bahwa
jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi
kebutuhannya tanpa bantuan orang lain. Namun bantuan atau barang milik orang
lain yang membutuhkan tersebut harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Dengan demikian dasar diperbolehkannya akad jual beli
yaitu Al-qur’an, Hadus, dan Ijima’ ulama. Dengan tiga dasar hukum tersebut maka
status hukum jual beli sangat kuat. Karena ketiganya merupakan sumber utama
penggaliian hukum islam.
D.
Rukun dan Syarat
Jual Beli
Rukun dan
syarat jual beli adalah
ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah
menurut syara’ (hukum islam).
1. Orang yang melaksanakan akad jual beli
Syarat- syarat
yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah:
-Berakal
-Baliqh
- Berhak menggunakan hartanya.
2. Sighat atau ungkapan ijab kabul
Ulama fiqh
sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan
pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui
ijab dan kabul.
Syarat- syarat ijab kabul:
- Orang yang melakukan ijab kabul telah akil baliqh
- kabul harus sesuai dengan ijab
- ijab dan kabul dilakukan dalam suatu majelis.
3. Barang dan nilai tukar
Barang yang diperjual
belikan harus memenuhi syarat syarat yang diharuskan, antara lain:
-
Barang
yang diperjual belikan itu halal
-
Barang
itu ada manfaatnya
-
Barang
itu ada ditempat
-
Barang
itu merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaannya
-
Barang
itu hendaklah diketahui oleh puhak penjual dan pembeli dengan jelas, baik
zatnya, bentuknya, dan kadarnya, maupun sifat sifatnya.
Adapun syarat-syarat bagi
tukar barang yang dijual itu adalah:
-
Haega
jual disepakati dan pembeli harus jelas jumlahnya
-
Nilai
tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun
secara hukum, misalnya pembayaran menggunakan kartu kredit.
-
Apabila
jual beli dilakukan secara barter ,maka nilai tukar barang yang dijual bukan
berupa uang tetapi barang.
E.
Aplikasi
Jual Beli Menurut Kaidah
Sepanjang ridha, kejujuran, keadilan melekat dalam suatu
proses mu’amalah dan jual beli, tanpa ada unsur kebatilan dan kezhaliman,
bentuk transaksi itu diperbolehkan oleh Allah swt.
Syariat Islam dengan hikmah dan rahmatnya, mengharamkan apa yang
membahayakan terhadap agama dan dunia. Kaidah penting yang kami angkat pada
pembahasan kali ini berhubungan dengan riba, penipuan, dan perjudian, disertai
dengan penjelasan kaidah-kaidah penting lainnya.
KAIDAH PERTAMA: Tentang Riba Al Qur`an, hadits dan ijma ulama Islam telah menetapkan haramnya
riba. Ketetapan ini bersesuaian dengan asas keadilan dan qiyas (analogi) yang
shahih. Yang Dimaksud dengan riba adalah, setiap tambahan yang ada dalam
barang-barang tertentu [1]. Riba terbagi menjadi dua, bisa juga menjadi tiga.
Yaitu: riba fadhl, riba nasiah dan riba al qordh.
Riba fadhl (tambahan), yaitu jual beli uang dengan uang, makanan
dengan makanan, dengan ada penambahan di salah satu dari kedua barang tersebut
Misalnya jual beli dua barang yang ditakar (ditimbang) dengan
berbagai tingkatan kualitasnya, antara satu dengan yang lain tidak sama takaran
atau timbangannya. Padahal dalam jual beli ini harus memenuhi dua syarat, yaitu
sama persis ukuran (timbangnya) dan diserahkan dalam satu waktu atau tempat
transaksi (spontan). Konkretnya, jual beli 1 kg kurma harus ditukar dengan 1 kg
kurma, karena jenisnya sama maka harus serupa pula timbangannya. Dan tidak
boleh 1 kg kurma ditukar dengan 2 kg kurma walaupun berbeda kualitasnya. Selama
berada dalam satu jenis, maka harus sama takaran (timbangannya).
Riba nasi-ah, definisinya, mengakhirkan penyerahan barang (setelah
transaksi) dalam setiap jenis barang yang serupa illahnya (pangkal alasan dari suatu
hukum), sebagaimana illah yang terdapat dalam riba fadhl.[3]
Riba ini sangat menyusahkan orang dan diharamkan. Riba ini
merupakan jual beli antara dua macam barang yang ditakar atau ditimbang, yang
satu diberikan sekarang dan yang lainnya diberikan pada lain waktu sesuai
kesepakatan. Baik antara jenis yang sama seperti gandum dengan gandum, atupun
berbeda jenisnya semisal gandum dengan kurma, atau kurma dengan kismis.
Riba al qord, gambarannya adalah seseorang yang menghutangkan uang
kepada orang lain dengan mensyaratkan tambahan manfaat (jasa). Sebagai contoh,
Fulan A menghutangkan kepada Fulan B dengan syarat B sudi meminjamkan rumah
atau kendaraan, atau setiap pekan (bulan) beras 1 kg kepada A.
Hal ini termasuk riba, dan bukan sekedar hutang. Karena tujuan
menghutangkan ialah untuk berbuat baik dan menebar kasih-sayang kepada sesama.
Perbuatan ini berlawanan dengan tujuannya. Bahkan hakikatnya, praktek ini
merupakan jual beli uang dengan uang, dengan tenggang tempo, riba yang ada
diambilkan dari manfaat yang telah menjadi kesepakatan bersyarat.
Dapat kita simpulkan, bahwa dalam masalah jual beli dapat di bagi
menjadi empat macam.
1. Bila jual beli dalam satu jenis barang (jenis, macam dan
illahnya sama) yang berkategori riba, maka diharamkan tafadhul (tambahan atau
selisih jumlah barang) dan nasi-ah (menunda penyerahan barang). Misalnya, kurma
dengan kurma, maka harus sama jumlahnya dan tidak boleh nasi-ah.
2. Bila dalam dua jenis yang serupa illah riba fadhlnya (misal,
kurma dan gandum illahnya sama, yaitu timbangan atau takaran dan makanan), maka
diharamkan nasi-ah dan dibolehkan terjadinya tafadhul. Misal, kurma 2 kg dengan
gandum 1 kg, emas 10 gr dengan perak 30 gr. Hal ini boleh tafadhul, tapi
dilarang nasi-ah.
3. Bila di antara dua jenis berbeda yang masih dalam kategori riba
yang tidak serupa illahnya (jenisnya berbeda tapi masih dalam jenis barang yang
masuk dalam kategori riba), maka boleh tafadhul dan nasi-ah. Misal, kurma
dengan emas. Illah kurma takaran dan makanan, illah emas karena emas barang
yang sangat bernilai.
4. Bila di antara barang yang tidak dalam kategori riba (baik
salah satunya atau keduanya), maka boleh nasi-ah dan tafadhul. Semisal, emas
dengan pakaian, atau pakain dengan buku
KAIDAH KEDUA : Haramnya Mu’amalah Yang Mengarah Kepada Tipu Daya dan Bahaya Al Qur`an, as Sunnah dan
kaum Muslimin sepakat tentang haramnya judi. Judi atau taruhan ada dua macam.
Yaitu taruhan yang berbentuk saling menjatuhkan atau dengan
jaminan tertentu. Semuanya diharamkan oleh syari’at. Kecuali bila digunakan
sebagai wasilah (media) dalam hal ketaatan dan untuk berjihad di jalan Allah.
Contohnya, taruhan dalam lomba berkuda, menyetir dan memanah.
Macam kedua, bentuk taruhan dalam bermu’amalah sebagaimana yang
telah Nabi larang terhadap segala jenis jual beli yang mengandung penipuan.
Karena bahaya dan kerugian yang dapat dialami oleh kedua belah pihak. Para ahli
fiqih memberikan syarat dalam transaksi agar harga dan barang harus jelas untuk
menghindari tipu muslihat yang mungkin terjadi[2].
Misal dari praktek ini antara lain: jual beli janin yang masih di dalam perut induknya, jual beli dengan cara mulamasah (siapa yang telah meraba atau memegang barang, maka langsung dianggap telah membeli), munabadzah (dengan melempar atau saling melempar antara keduanya dengan lemparan batu, maka yang terkena itulah yang harus dibeli atau dijual), dan sebagainya
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologis jual
beli adalah pertukaran sesuatu
dengan sesuatu (yang lain). Ada beberapa istilah yang dipergunakan untuk jual
beli yaitu al-ba’I yaitu menyerahkan barang dan menerima pembayaran
(Isfahani, tt : 155), asy-syira’ yakni memasukkan zat kedalam hak milik
dengan imbalan (ak-jaziri, 2002:123), al-mubadah (pertukaran), dan at-tijarah
(perniagaan antar manusia, atau pertukaran antara kehidupan dunia dengan
akhirat).
Jual beli merupakan
transaksi yang umum dilakukan masyarakat, baik untuk memenuhi kebutuhan harian
maupun untuk tujuan investasi, Bentuk transaksinya juga beragam, mulai dari
yang tradisional sampai dengan bentuk modern melalui lembaga keuangan.
Rukun
dan syarat jual beli adalah
ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut
syara’ (hukum islam).
1. Orang yang melaksanakan akad jual beli
Syarat- syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan
pembeli adalah:
-
Berakal
-
Baliqh
-
Berhak
menggunakan hartanya.
2. Sighat atau ungkapan ijab kabul
Ulama fiqh sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli
adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam
hati, maka harus diwujudkan melalui ijab dan kabul.
Syarat- syarat ijab kabul:
-
Orang yang melakukan ijab kabul telah akil baliqh
-
Kabul
harus sesuai dengan ijab
-
Ijab dan
kabul dilakukan dalam suatu majelis.
3. Barang dan nilai tukar
Barang yang diperjual belikan harus memenuhi syarat
syarat yang diharuskan, antara lain:
-
Barang
yang dioerjual belikan itu halal
-
Barang
itu ada manfaatnya
-
Barang
itu ada ditempat
-
Barang
itu merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaannya
-
Barang
itu hendaklah diketahui oleh puhak penjual dan pembeli dengan jelas, baik
zatnya, bentuknya, dan kadarnya, maupun sifat sifatnya.
Adapun syarat-syarat bagi tukar barang yang dijual itu
adalah:
-
Haega
jual disepakati dan pembeli harus jelas jumlahnya
-
Nilai
tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun
secara hukum, misalnya pembayaran menggunakan kartu kredit.
-
Apabila
jual beli dilakukan secara barter ,maka nilai tukar barang yang dijual bukan
berupa uang tetapi barang.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang penulis miliki, untuk kedepannya penulis akan lebih focus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Sudiarti
Sri. Fiqih Muamalah Kontemporer,
Medan. FEBI UINSU press. 2018
Diambil
dari sumber https://almanhaj.or.id/2631-kaidah-halal-haram-dalam-jual-beli.html pada tgl 10 maret 2020
[1]
DR. Sri Sudiarti,Fiqh Muamalah (FEBI UIN-SU Press : 2018), h. 74-75
[2]
Diambil dari sumber https://almanhaj.or.id/2631-kaidah-halal-haram-dalam-jual-beli.html pada tgl 10 maret 2020
Posting Komentar untuk "Makalah Qawa’id Fiqhiyah Fil Mu’amalah – Pengertian Kaidah Jual Beli, Rukun Dan Syarat Jual Beli"
Silahkan tinggalkan komentar agar kami lebih baik.