Makalah Quwa’id Fiqhiyah Fil Muamalah – Definisi Kaidah Harta Dan Contoh dari Penerapan Kaidah
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat limpahan Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktunya. Makalah ini dibuat untuk menyelesaikan salah satu tugas dari mata
kuliah Qawa’id Fiqhiyah Fil Muamalah.
Makalah
ini dibuat dengan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu
menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini.Oleh karena
itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam menyusun makalah ini.
Kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh
karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan
untuk penyempurnaan makalah. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua.
Medan, Mei 2020
Pemakalah
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI .......................................................................................... .ii
BAB I :
PENDAHULUAN ...............................................................................1
A. Latar belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan masalah............................................................................. 2
C. Tujuan penulisan............................................................................... 2
BAB II :
PEMBAHASAN..................................................................................3
A. Makna kosa kata............................................................................... 3
B. Makna secara umum/tujuan dari kaidah............................................... 3
C. Dalil-dalil kaidah/landasan kaidah........................................................ 5
D. Aplikasi/contoh dari penerapan kaidah................................................. 6
BAB III :
PENUTUP.......................................................................................8
A. Kesimpulan....................................................................................... 8
B. Saran............................................................................................... 8
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................9
BAB I
Harta
merupakan kebutuhan inti dalam kehidupan dimana manusia tidak akan bisa
terpisah darinya. Secara umum, harta merupakan sesuatu yang disukai manusia,
seperti hasil pertanian, perak dan emas, ternak atau barang-barang lain yang
termasuk perhiasan dunia.
Manusia
termotivasi untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi menambah kenikmatan
materi dan religi, dia tidak boleh berdiri sebagai penghalang antara dirinya
dengan harta. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu
harta dikumpulkannya dengan cara yang halal, dipergunakan untuk hal-hal yang
halal, dan dari harta ini harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia
hidup.
Harta
yang dimiliki setiap individu selain didapatkan dan digunakan juga harus
dijaga. Menjaga harta berhubungan dengan menjaga jiwa, karena harta akan
menjaga jiwa agar jauh dari bencana dan mengupayakan kesempurnaan kehormatan
jiwa tersebut. Menjaga jiwa menuntut adanya perlindungan dari segala bentuk
penganiayaan, baik pembunuhan, pemotongan anggota badan atau tindak melukai
fisik.
Harta
dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. kemudian
Allah telah menyerahkannya kepada
manusia untuk menguasai harta tersebut melalui izin-Nya sehingga orang tersebut sah memiliki harta
tersebut. Adanya pemilikan seseorang atas
harta kepemilikian individu tertentu mencakup juga kegiatan memanfaatkan
dan mengembangkan kepemilikan harta yang telah dimilikinya tersebut. Setiap
muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak
memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam memanfaatkan dan
mengembangkan harta yang telah dimilikinya tersebut ia tetap wajib terikat
dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan pemanfaatan dan
pengembangan harta.
Namun
sebaliknya kondisi saat ini khususnya di Indonesia ada batas-batas kepemilikan
harta yang sebenarnya dapat dimiliki untuk umum. Bahkan banyak intervensi
Negara asing yang ingin menguasai kepemilikan umum menjadi milik pribadi.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
makna kosa kata ?
2. Apa
saja makna secara umum/tujuan dari kaidah ?
3. Apa
saja dalil-dalil kaidah/landasan kaidah ?
4. Bagaimana
aplikasi/contoh dari penerapan kaidah ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui makna kosa
kata
2.
Agar dapat mengetahui makna
secara umum/tujuan kaidah
3.
Untuk memberikan informasi
tentang dalil/landasan kaidah
4.
Memberikan informasi mengenai
contoh penerapan kaidah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna Kosa Kata
Indonesia |
Arabic |
Perintah |
ا
لآَ مْرُ |
Berpindahnya |
بِا
لتَّصَرُّ فِ |
Di |
فِي |
Milik |
مِلْكِ |
Bukan/tidak |
ا لغَيْرِ |
Batal |
بَا طِلُ |
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkankan untuk bertransaksi terhadap milik
orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya
batal.[1]
B.
Makna Secara Umum/Tujuan dari Kaidah
Kaidah
fiqhiyyah muamalah tersebut, berkaitan dengan tidak
dibenarkannya menggunakan hak milik orang lain tanpa seizinnya. Karena
seseorang yang memiliki suatu harta atau benda atau sesuatu hak, pada
hakekatnya memiliki kekuasaan terhadap harta dan benda atau haknya tersebut,
selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syarak. Hak milik adalah
wewenang yang diberikan oleh syariat kepada individu maupun publik untuk
menggunakan atau memanfaatkan suatu harta tertentu.[2]
Harta dalam bahasa Arab disebut dengan mal terambil dari kata kerja mala-yamulu-maulan yang berarti
mengumpulkan, memiliki dan mempunyai. Secara terminologis kata mal berarti seuatu yang dikumpulkan dan
dimiliki, yaitu harta atau kekayaan yang mempunyai nilai dan manfaat atau
sesuatu benda atau kekayaan yang memberi faedah yang dapat memuaskan jasmani
dan rohani atau kebutuhan hidup.[3]
Definisi
kata al-mal menurut mazhab hanafi yang dikemukakan oleh Ibn Abidin
adalah “Sesuatu yang diinginkan oleh manusia berdasarkan tabiatnya, baik
manusia itu akan memberikannya atau menyimpannya”. Sesuatu yang disenangi
oleh tabiat manusia dan bisa dimiliki dan dikuasai. Jadi menurut mazhab hanafi
sesuatu bisa dikatakan sebagai harta jika telah memiliki dua asas, yaitu: Pertama,
bisa dimiliki dan dikuasai Kedua, bisa dimanfaatkan.[4]
Sedangkan menurut jumhur ulama kata al-mal
adalah sesuatu yang mempunyai nilai untuk dijual dan nilai harta itu akan
terus ada.
Definisi harta pada uraian sebelumnya
bisa diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan ulama tentang harta. Menurut
jumhur ulama hak dan manfaat dari suatu barang termasuk kategori harta.
Sedangkan menurut madzhab Hanafi, hak dan manfaat tidak termasuk harta. Para
ulama kontemporer seperti Wahbah zuhaili berpendapat bahwa hak milik termasuk
harta, oleh karenanya hak cipta dilindungi oleh syariat. Pendapat ini merujuk
pada definisi harta menurut jumhur ulama. Konsekuensi hukum atas pengakuan hak
milik sebagai harta adalah:
1.
Hak cipta adalah termasuk hak
milik pribadi, dengan demikian maka syariat melindungi hak cipta dari segala
tindakan yang melanggarnya.
2.
Pemilik hak cipta
diperbolehkan untuk mentasarufkan haknya, seperti menjualnya ataumemberikan hak
cetak kepada penerbit tertentu.
3.
Hak cipta dimiliki oleh
penciptanya atau penemunya, dan dapat diwariskan kepada ahli warisnya jika sang
pemilik wafat.
4.
Perbuatan mencetak,
memperbanyak, menterjemah karya tulis tanpa seizin pemiliknya adalah perbuatan
yang dilarang oleh syariat. Pendapat ini juga dibenarkan oleh fatwa MUI Nomor I
Munas/MUI/15/2005 bahwa hak kekayaan intelektual dalam Islam termasuk hak
kekayaan yang mendapat perlindungan hukumsebagaimana harta.
Harta dalam ekonomi Islam Diantara tabiat
manusia adalah keinginan untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Dan untuk
memenuhi kebutuhan itu tentu saja dibutuhkan harta yang bisa didapatkan dengan
usaha-usaha tertentu. Oleh karena itu, Islam tidak melarang seseorang untuk
memiliki harta. Islam juga tidak membatasi jumlah harta yang dapat dimilki oleh
seseorang.
Islam memandang harta dengan acuan
akidah, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan
hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman kepada Allah, dan
bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai
makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia dengan
lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga
mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang.
Kalau harta seluruhnya adalah milik
Allah, maka tangan manusia hanyalah tangan suruhan untuk jadi khalifah.
Maksudnya manusia adalah khalifah-khalifah Allah dalam mempergunakan dan
mengatur harta itu.
Islam tidak memandang rendah harta
kekayaan dan juga tidak memandangnya sebagai penghalang untuk mencari derajat
yang tertinggi dan taqarrub kepada Allah, tetapi harta dianggap sebagai salah
satu nikmat yang dianugerahkan oleh Allah kepada umat manusia dan wajib
disyukuri. Bahkan dalam Al-Quran penyebutan harta seringkali menggunakan kata
“khair” yang berarti baik. Harta juga disebut dalam Al-Quran sebagai perhiasan
dunia, yaitu sebagai bekal bagi manusia untuk menjalani kehidupannya di dunia.
Jadi, manusia tidak perlu menghindari harta karena bukan selamanya harta itu
bencana bagi pemiliknya. Di sisi lain, harta bukanlah sebagai alat untuk
bersenang-senang semata. Namun harta juga merupakan ujian kenikmatan dari Allah.
Syariat Islam menganjurkan manusia untuk
berusaha mendapatkan harta yang halal dengan usaha yang halal juga, dan
sebaliknya melarang harta yang haram yang diperoleh dari usaha yang haram.
Bahkan suatu usaha untuk mendapatkan harta yang halal itu dianggap sebagai
salah satu bentuk ibadah dan akan diberi pahala serta ampunan. Faktor yang
dapat menyebabkan timbulnya hak milik pribadi adalah:
1. Pertanian
dan menggarap tanah yang tidak ada pemiliknya (ihya al-mawat).
2. Pekerjaan
yang halal
3. Transaksi
yang dapat memindahkan hak milik, seperti: jual beli, dan hibah.
4. Warisan
dan wasiat
5. Mengumpulkan
barang-barang halal yang tidak bertuan, seperti mengambil kayu bakar di hutan,
mengumpulkan air sungai, dan menangkap ikan di laut.
6. Keputusan
hakim terhadap perubahan status kepemilikan umum menjadi hak milik pribadi.
7. Zakat
dan nafkah.
Berdasarkan ketentuan kepemilikan harta
dalam muamalah yang diatur oleh syariat, maka perintah baik dari seseorang
maupun oleh penguasa untuk menggunakan hak milik orang baik untuk pemanfataan
seseorang maupun publik adalah bathal.[5]
C. Dalil-dalil Kaidah/Landasan
Kaidah
Tidak semua orang yang memiliki harta
dapat memanfaatkan hartanya secara bebas dan mandiri, dan begitu juga tidak
semua orang yang memanfaatkan suatu harta merupakan pemilik dari harta yang
dimanfaatkan tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-qur’an surah
An-Nisa’ ayat 29 :
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟
أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Yang mana ayat ini secara tegas melarang
manusia untuk mengkonsumsi atau memakan harta orang lain dengan cara yang tidak
dibenarkan oleh syariah atau dalam kata lain secara batil, akan tetapi Allah
memberikan kemudahan kepada manusia dengan cara membolehkan untuk mengkonsumsi
harta orang lain dengan jalan baik atau jalan yang diridhai-Nya, maksud dari
jalan yang diridhai-Nya yaitu jalan ataupun cara yang ditempuh oleh manusia
dalam hal memanfaatkan harta orang lain yang didasari oleh sikap saling ridha
diantara sesama manusia tersebut.[6]
Dan juga terdapat dalan Q.S. Al-Baqarah :
188
وَلَا
تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى
ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ
وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya
: Dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui.
Hadis riwayat al-Nasai dari Hakim bin
Hizami ra : “Aku membeli sebagian makanan untuk sedekah, lalu aku menjual
dengan berlaba sebelum aku memegangnya, kemudian aku datang kepada Rasulullah
SAW. lantas kuceritakan itu kepada beliau. Maka Rasul menjawab: Janganlah kamu
menjual makanan itu sampai engkau memegangnya”.
D. Aplikasi / Contoh dari
Penerapan Kaidah
Penerapan Kaidah Fiqhiyyah Muamalah:
1.
Apabila seseorang penjaga
mobil titipan (tukang parkir) memerintah kepada temannya untuk menjual mobil
titipan tersebut, maka perintah yang demikian itu adalah bathal. Apabila
terjadi jual beli, maka jual belinya tidak sah.
2.
Seseorang meminjam sebuah
mobil, kemudian ia memerintahkan kepada temannya untuk menjualnya, maka
perintah itu adalah bathal. Karena meminjam mobil bukan menjadi pemilik mobil,
hanya dapat memperoleh manfaat dari mobil. Sedangkan mobil tetap menjadi
pemilik mobil.[7]
Dalam proses penggadain tanah, kaidah ini
memberikan penjelasan dimana pemilik tanah tidak berhak untuk mengelola
tanahnya padahal dia adalah pemilik yang sah dan legal. Maka jika rahin tidak berkenan untuk diambil
keutungan dari tanah tersebut sepenuhnya oleh murtahin maka proses pelaksanaan dari akad tersebut menjadi batal.
Walaupun apa yang dilakukan oleh rahin itu
seakan-akan ikhlas namun kenyataan yang terjadi adalah dia melakukan gadai
tanah karena adanya unsur keterpaksaan. Maka menggunakan milik orang lain tanpa
adanya izin dari pemiliknya maka perbuatan itu telah batal dan tidak sah.[8]
Contoh lainnya yaitu apabila seorang
kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang
yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Maksud kaidah
ini adalah apabila seseorang memerintahkankan untuk bertransaksi terhadap milik
orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya
batal.
Harta dalam bahasa Arab disebut dengan mal terambil dari kata kerja mala-yamulu-maulan yang berarti
mengumpulkan, memiliki dan mempunyai. Secara terminologis kata mal berarti seuatu yang dikumpulkan dan
dimiliki, yaitu harta atau kekayaan yang mempunyai nilai dan manfaat atau
sesuatu benda atau kekayaan yang memberi faedah yang dapat memuaskan jasmani
dan rohani atau kebutuhan hidup.
Landasan kaidah ini terdapat dalam
Al-qur’an surah An-Nisa’ ayat 29 dan Q.S. Al-Baqarah : 188 serta dari hadis
riwayat al-Nasai dari Hakim bin Hizami ra.
Contoh penerapan kaidah yaitu apabila
seorang kepala penjaga keamanan
memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya,
maka perintah tersebut adalah batal.
B. Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, hal ini dikarenakan
masih minimnya pengetahuan yang penulis miliki, untuk kedepannya penulis akan
lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber
yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Akmal,
Azhari, Etika dan Spritualitas Bisnis, (Medan:
FEBI UINSU Press, 2016).
Azhari,
Fathurrahman, Qawaid Fiqhiyyah Muammalah,
(Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2015).
Djazuli.
A, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta:
Pranadamedia Group, 2006).
Ibnu
al-Abidin, Khasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala dar al-Mukhtar
syarahTanwir al-Abshar, Beirut, Dar al-Fikr
Lith-thabaah li al-Nasyr, juz 6.
https://www.ekituntas.com/2019/05/kaidah-kaidah-penggunaan-harta-milik.html?m=1,
Jajuli, Sulaeman, Kepastian Hukum Gadai Tanah dalam Islam, (Yogyakarta:
Deepublish, 2015).
[1] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Pranadamedia Group, 2006)
[2] Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muammalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2015), h. 242
[3] Azhari Akmal, Etika dan Spritualitas Bisnis, (Medan: FEBI UINSU Press, 2016), h. 55
[4] Ibnu al-Abidin, Khasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala dar al-Mukhtar syarahTanwir al-Abshar, Beirut, Dar al-Fikr Lith-thabaah li al-Nasyr, juz 6, 200, h. 449.
[5] Fathurrahman Azhari, Op. Cit.
[6] Diakses dari, https://www.ekituntas.com/2019/05/kaidah-kaidah-penggunaan-harta-milik.html?m=1, pada tanggal 5 Mei 2020.
[7] Fathurrahman Azhari, Op. Cit.
[8] Sulaeman Jajuli, Kepastian Hukum Gadai Tanah dalam Islam (Yogyakarta: Deepublish,2015), h.95
[9] A. Djazuli, Op. Cit.
Posting Komentar untuk "Makalah Quwa’id Fiqhiyah Fil Muamalah – Definisi Kaidah Harta Dan Contoh dari Penerapan Kaidah"
Silahkan tinggalkan komentar agar kami lebih baik.