Maksimalisasi Laba - Perspektif Islam Vs Sekuler
Abstrak
Tujuan
utama dari aktivitas bisnis adalah untuk mendapatkan laba. Terdapat perbedaan
pandangan antara sistem ekonomi konvensional dan sistem ekonomi Islam dalam
memandang laba. Pandangan terhadap masalah laba dari kedua sistem ekonomi ini
adalah tergantung pada pendekatan yang digunakan. Teori ekonomi sekuler
biasanya menggunakan pendekatan impersonal dalam kaitan dengan masalah
distribusi yang berlandaskan pada kekuatan-kekuatan pasar bahwa kompetisi
adalah keadilan produk dari faktor-faktor produksi. Bagian pekerja biasanya
masuk di dalam biaya-biaya produksi. Namun, penentuan posisi laba dalam islam
dikondisikan pada pandangan islam tentang bisnis, perlindungan kepada konsumen
dan bagi hasil di antara faktor yang mendukung produksi itu sendiri.
Kata
Kunci : Maksimalisasi laba, impersonal, mashlahat
PENDAHULUAN
Sebenarnya teori ekonomi yang
berkembang saat ini sudah tidak asli lagi atau sudah banyak dipengaruhi oleh
pandangan sistem yang dianut oleh para pengembangan teori ekonomi itu sendiri.
Para ahli ekonomi memiliki pandangan bahwa kepentingan pribadi yang
menggerakkan perbuatan manusia. Contohnya adalah maksimalisasi laba yang selalu
dipandang sebagai rasionalitas bisnis. Artinya, perusahaan dianggap rasional
jika dapat memaksimalisasi labanya dengan bebas tanpa terikat dengan
kondisi-kondisi pasar dimana perusahaan itu beroperasi.[1]
Saat pandemi seperti ini
yaitu terserang oleh Covid-19 adalah hal yang tidak dapat dihindari oleh
masyarakat sebagai penggerak ekonomi di belahan dunia manapun. Tidak dapat
dipungkiri bahawa pandemi ini membuat perekonomian tidak lagi sama seperti
biasanya. Perekonomian dalam negeri menjadi kontraksi dan pembisnis harus memikirkan
strategi yang dapat mengatasi agar usaha menjadi semakin stabil. Hal yang
terpenting saat ini adalah masyarakat harus mampu beradaptasi dan memanfaatkan
segala peluang untuk menstabilkan ekonomi. Apalagi para pengusaha dan
perusahaan harus mampu mempertahakan usahanya dan memaksimalisasi laba dengan
strategi-strategi yang sesuai dengan keadaan yang dihadapi saat ini.
Terdapat perbedaan pandangan
antara sistem ekonomi konvensional dan ekonomi islam dalam memandang laba.
Pandangan terhadap masalah laba dari kedua sistem ekonomi ini adalah tergantung
pada pendekatan yang digunakan. Teori ekonomi sekuler biasanya menggunakan
pendekatan impersonal dalam kaitan dengan masalah distribusi yang berlandaskan
pada kekuatan-kekuatan pasar bahwa kompetisi adalah keadilan produk dari
faktor-faktor produksi. Bagian pekerja biasanya masuk di dalam biaya-biaya
produksi. Namun, penentuan posisi laba dalam islam dikondisikan pada pandangan
islam tentang bisnis, perlindungan kepada konsumen dan bagi hasil di antara
faktor yang mendukung produksi itu sendiri.
Sejumlah penelitian telah
menunjukkan bahwa sistem ekonomi yang berlandaskan islam termasuk maksimalisasi
laba dalam perspektif islam memiliki kekuatan untuk menciptakan tatanan
masyarakat yang adil dan sejahtera.[2]
Prinsip keinginan tak terbatas, alat pemuas keinginan terbatas, dan juga
mekanisme pasar konvensisonal perlu dibingkai oleh sistem nilai transendental
berdimensi Ilahiyah sehingga etos perdangan yang benar-benar islam bisa membumi
dan tujuan akhir dari perdagangan itu sendiri yaitu laba dapat sesuai dengan
yang diharapkan syariah.[3]
Dalam menjalankan bisnis pasti bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan atau laba. Namun kejadian yang dihadapkan sekarang ini adalah
penyimpangan oleh perusahaan untuk mendapatkan keuntungan atau dalam
memaksimalisasi laba. Contohnya adalah penjual menjual barang dengan kualitas
buruk namun dengan harga yang tinggi. Seharusnya, jika kualitas barang buruk,
maka biaya produksinya akan semakin rendah. Jika pengusaha mengamalkan
maksimalisasi laba yang sesuai dengan syariat Islam maka hal ini tidak akan
terjadi. Mempertimbangkan dengan kesenjangan dengan teori yang ada, penelitian
ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana maksimalisasi laba dalam
perspektif islam dan sekuler?” diharapkan penelitian ini memberikan manfaat dan
mengurangi kesenjangan yang ada dalam praktek maksimalisasi laba dalam suatu
perusahaan.
A.
MAKSIMALISASI
LABA DALAM PANDANGAN SEKULER
Hipotesis dalam maksimalisasi
laba merupakan suatu hal yang membutuhkan penganalisisan karena karakternya
yang tidak realistik. Alasan ilmu ekonomi sekuler mempertahankan asumsi
maksimalisasi laba meskipun karakternya tidak realistik dan bahkan terkadang
menyesatkan adalah: Pertama, teori harga
yang merupakan inti teori dari ilmu ekonomi, tidak dapat berdiri tegak setelah
asumsi maksimalisasi tersebut dihapuskan. Kedua, para kritikus tersebut selama
ini tidak dapat mengajukan suatu kaidah perilaku alternatif yang dapat memiliki
nilai yang sama (jika tidak lebih baik) prediktif dan mengarah pada
kesimpulan-kesimpulan yang dapat diuji secara empirik.[4]
Dalam ilmu ekonomi konvensional sumber
keuntungan pendapatan diperoleh para pengusaha sebagai pembayaran dari
melakukan kegiatan:[5]
1. Menghadapi
resiko terhadap ketidakpastian di masa yang akan datang.
2. Melakukan
inovasi/pembaharuan di dalam kegiatan ekonomi.
3. Mewujudkan
kekuasaan monopoli di dalam pasar.
Dalam teori ekonomi kapitalisme atau
sekuler dalam hal ini biasanya menggunakan pendekatan impersonal dalam kaitan
dengan masalah distribusi. Pendekatan ini berlandaskan pada kekuatan-keuatan
pasar, sebagaimana yang telah diatur oleh kompetisi untuk menjadi suatu bagian
‘adil’ produk bagi faktor-faktor produksi. Bagian pekerja biasanya masuk di
dalam biaya-biaya produksi, sehingga dapat mengurangi bagian pekerja tersebut.[6]
Pandangan
orang dalam bidang ekonomi dapat dinyatakan bahwa keadilan menuntut penggunaan
sumberdaya dengan cara yang merata sehingga tujuan kemanusiaan dihargai secara
universal yaitu pemenuhan kebutuhan umum, pertumbuhan yang optimal, lapangan
kerja yang lengkap, pemerataan pendapatan dan kekayaan, serta kestabilan
ekonomi terwujud.[7]
Namun dalam pandangan ekonomi sekuler, maksimalisai laba sebagai suatu kondisi
rasional yang tidak berhubungan dengan kesejahteraan-kesejahteraan individu itu
sendiri. Ajaran Smith yang cukup terkenal bahwa “pengejaran kepentingan diri
secara otomatis dapat meningkatkan kebaikan kolektif dalam sistem berusaha yang
bebas” yang dipercayai sebagai pelengkap anggapan mengenai respektabilitas
sosial yang lebih baik. Model klasik seperti ini tidak jarang disadarkan untuk
menggambarkan dan memperkuat kepercayaan tersebut.[8]
Para
usahawan selalu bersaing untuk memperoleh laba pribadi dalam suatu industri
yang terbuka. Contohnya adala pasar persaingan sempurna dan para pembeli secara
individual tidak memiliki kekuatan untuk menetapkan harga di pasar. Dengan ini,
usahawan diijinkan mengambil tingkat laba dari modalnya yang tidak lebih dari
cukup kepad mereka suatu pendapatan absolut dan dorongan untuk pengayaan diri
karena persaingan dan memaksimalkan produk sosial sebagai pemanfaatan
perusahaan yang optimal dalam setiap kasus. Model ini di kritik sangat tidak
realistik karena hanya memiliki kepentingan sekunder dan mengabaikan sifat
dasar penting laba tersebut yaitu bahwa harga pasar perusahaan pasti memiliki
margin walaupun kecil.
Disamping
itu, proses penggandaan laba juga harus tergantung pada kondisi persaingan
sempurna dengan usahanya sendiri. Jika penjualan perusahaan berkembang dengan
cara tersebut, maka modalnya harus ditingkatkan secara proporsional. Komponen
bunga laba normal akan bertambah dengan rasio yang sama. Namun kekhawatiran
manajerial diharapkan meningkat dalam proporsi yang kurang banyak dibandingkan
dengan aktivitas produksi perusahaan.[9]
B.
PENENTUAN
POSISI LABA SECARA ISLAMI
Dalam berbisnis atau melakukan aktivitas
ekonomi, harus ada batasan agar tiak mendzolimi pihak lainnya dengan landasan
Al-Qur’an yang dimaknai sebagai larangan memakan harta yang bathil, adalah
sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ
رَحِيمًا
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengana suka
sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah maha penyayang kepadamu (Q.S. An-Nisa: 29)
Saat
melakukan bisnis harus terintegrasi dengan ranah Islam. Orientasi bisnis
(enterpreneur) yang bervisi sekuler harus sejalan dengan visi dan misi
penciptaan manusia. Orientasi pada bisnis Islami mengandung empat komponen,
yakni: target hasil, pertumbuhan, keberlangsungan, dan keberkahan. Makna bisnis
dalam islam bertujuan untuk merealisasikan konsep keseimbangan antara dimensi
horizontal dengan dimensi spiritual.[10]
Dalam Islam, penentuan
posisi laba dan perilaku rasional dalam maksimalisasi laba pada dasarnya dikondisikan oleh tiga faktor, yaitu:
1. Pandangan
Islam Tentang Bisnis adalah Suatu Fardhu Kifayyah
Bisnis merupakan aktivitas yang mengarah pada
peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa, perdagangan atau
pengolahan barang (produksi). Para ahli hukum Islam mengklasifikasi bisnis sebagai
fardhu kifayyah karena di dalamnya terdapat kewajiban sosial. Bisnis dalam
kajian konvensional hanya dalam rangka pengendalian pasar, namun bisnis islam
berupaya menemukan nilai ibadah yang berdampak pada konsep perwujudan rahmatan
lil alamin.[11]
2. Perlindungan
Kepada Konsumen
Perlindungan konsumen merupakan tindakan
yang berhubungan atas berbagai kemungkinan penyalahgunaan kelemahan yang
dimiliki oleh konsumen dan melindungi konsumen dari berbagai tindakan
eksploitasi.[12]
Contoh
perlindungan kepada konsumen adalah: Pertama, perlindungan dari pemalsuan dan
informasi yang tidak benar yaitu promosi atau iklan yang tidak jujur
(al-ghurur), dengan itu konsumen mempunyai hak khiar radlis, khiyar ‘aib dan
khiyar ru’yah. Kedua, perlindungan terhadap hak pilih dan nilai tukar tidak
wajar. Maka dari itu dilarang praktek ribawi, monopoli, tas’ir dan lain
sebagainya. Ketiga, perlindungan terhadap keamanan produk dan lingkungan sehat,
maka penjua wajib memberitahu mutu dan cacat barang yang tersembunyi serta
resiko pemakaian suatu produk. Keempat, perlindungan dari pemakaian alat ukur
tidak tepat (al-hisbah) yaitu
ketidaksesuaian antara sifat dan kualitas barang yang diminta dengan yang
diserahkan. Kelima, hak mendapatkan advokasi dan penyelesaian sengketa yaitu
kemudahan proses beracara ketika konsumen mengajukan tuntutan dan adanya suatu
badan hukum pemerintahan yang mengatur. Keenam, perlindungan dari
penyalahgunaan keadaan yaitu eksploitasi status sosial atau keunggulan
informasi, keadaan terpelajar dna ekonomis yang dimiliki oleh salah satu pihak
yang berakad. Ketujuh, hak mendapatkan ganti rugi akibat ngatif produk (mabda’
al-dhaman) terhadap kerugian barang atau transaksi.
3. Bagi
hasil di antara Faktor yang Mendukung
Dalam teori ekonomi sekuler memenuhi
salah satu kegagalan utamanya dalam hal menunjukkan bagaimana nilai produk
suatu perusahaan dapat dibagi secara adil diantara faktor produksi. Bagi hasil
antara tenaga kerja dan modal akan menjadi petunjuk yang baik dari organisasi
pada masa-masa mendatang. Sebab potensinya adalah untuk meningkakan efisiensi,
keadilan, stabilitas dan pertumbuhan.[13]
C.
MAKSIMALISASI
LABA DAN EFEK SOSIALNYA
Dalam sistem Islam,
keseimbangan output lebih besar , harga lebih rendah, dan profit lebih besar
daripada sistem sekuler. Untuk itu kita temukan sebagai berikut:[14]
Perbedaan
antara sistem sekuler dan sistem Islam dapat dijelaskan berdasarkan gambar di
bawah ini:
Perusahaan
Islami beroperasi dengan menggunakan
sistem bagi hasil. Dalam sistem bagi hasil terdapat pembagian hasil dan risiko.
Hubungan antara profit dan risiko dalam
perusahaan Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar
tersebut menjelaskan bahwa dalam perusahaan sekuler, bunga bersih yang dibayar
atas pinjaman ditunjuk dengan kurva AA1 dengan tangen dari kurva
indifferen pada titik I1. Kurva AA1 merupakan kurva
cembung terhadap sumbu laba, hal ini menunjukkan bahwa jika ada penambahan laba
perusahaan yang diharapkan, maka risiko akan bertambah setingkat penambahannya.
Sedangkan dalam perusahaan Islam yang menghilangkan bunga dan menggantinya
dengan bagi hasil, kurva akan cenderung bergeser ke arah kanan, yaitu ke posisi
BB1. BB1 adalah tangen dari kurva indifferent I1 pada titik T2. Maka dari itu, dalam
perusahaan islami memungkinkan perusahaan memiliki lebih banyak laba untuk
resiko yang sama, atau laba yang sama untuk resiko yang lebih rendah.
KESIMPULAN
Maksimalisai
laba dalam pandangan sekuler adalah sebagai kondisi rasional yang tidak
berhubungan dengan kesejahteraan. Dorongan untuk pengayaan diri dan penggandaan
penjualan dijadikan sebagai kompetisi antar pembisnis dalam kegiatan ekonomi.
Setelah kompetisi terganggu logika maksimalisai laba cenderung beroperasi dalam
arah berlawanan (tidak beretika). Sedangkan dalam sistem ekonomi Islam,
penentuan posisi laba dan perilaku rasional dalam maksimalisasi laba
dikondisikan oleh tiga faktor, yaitu pandangan bisnis adalah suatu Fardhu
Kifayah, perlindungan kepada konsumen, dan bagi hasil diantara faktor yang
mendukung. Perusahaan islami beroperasi dengan sistem bagi hasil. Dalam sistem
bagi hasil terdapat pembagian hasil dan risiko.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhamad. 2016. Ekonomi
Mikro Islam. Yogyakarta: BPF
Muhamad.
2011. Kekuatan Ekonomi Islam Dalam
Menciptakan Kesejahteraan Dan Keadilan. Jurnal Kajian Islam. Volume 03
Nomor 1
Fachruddin. 2018. Kajian Teori Laba Pada Transaksi Jual Beli Dalam Fiqh Muamalah.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam
Sukirno, Sadono. 2015. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Jakarta:
RajaGrafinfo Persada
Subagiyo,
Rokhmat. 2016. Maksimalisasi Laba
Nisak,
Khoirun, Faridah. Maksimalisasi Laba
Perspektif Sekuler vs Islam. Di akses dari https://dokumen.tips/documents/maksimalisasi-laba-perspektif-sekuler-dan-islampdf.html Pada 26 Juni 2020 Pukul 11.00
Sudaryatmo. 1996. Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: Citra Adya
Bakti
Suharto
dan Fasa, Iqbal Muhammad. 2018. Model
Pengembangan Manajemen Bisnis Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo,
Indonesia. Jurnal Studi Ekonomi dan Bisnis Islam. Volume 3, Nomor 2
Rizqan, Faikar, Zulafa. Maksimalisasi Laba Menurut Pandangan Islam. Di akses dari https://www.kompasiana.com/zulafafr/5c03e426677ffb21d97b8828/maksimalisasi-laba-menurut-pandangan-islam
Pada 26 Juni 2020 Pukul 14.25
Krisdayanti, Mecki., dkk. Maksimalisasi Laba. di akses dari https://www.academia.edu/35128051/ekonomi_miro_islam_8.docx
Pada 27 Juni 2020 Pukul 13.50
[1] Muhamad, Ekonomi Mikro Islam, (Yogyakarta: BPFE,
2016), h. 270
[2] Muhamad, Kekuatan
Ekonomi Islam Dalam Menciptakan Kesejahteraan Dan Keadilan, Jurnal Kajian Islam, Volume 03 Nomor 1, April
2011
[3] Fachruddin, Kajian Teori Laba Pada Transaksi Jual Beli
Dalam Fiqh Muamalah, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, 2018
[4] Muhamad, Op Cit
[5] Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, (Jakarta:
RajaGrafinfo Persada, 2015), h. 388.
[6] Rokhmat Subagiyo, Maksimalisasi Laba, 2016, h. 107
[7] Ibid
[8] Faridah Khourin Nisak, Maksimalisasi Laba Perspektif Sekuler vs
Islam, di akses dari https://dokumen.tips/documents/maksimalisasi-laba-perspektif-sekuler-dan-islampdf.html Pada 26 Juni 2020
Pukul 11.00
[9] Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia,
(Bandung, Citra Adya Bakti, 1996), h. 75
[10] Suharto dan Muhammad Iqbal
Fasa, Model Pengembangan Manajemen Bisnis Pondok Modern Darussalam Gontor
Ponorogo, Indonesia, Jurnal Studi Ekonomi dan Bisnis Islam, Volume 3, Nomor 2,
Desember 2018, h. 93.
[11] Zulafa Faikar Rizqan, Maksimalisasi Laba Menurut Pandangan Islam,
di akses dari https://www.kompasiana.com/zulafafr/5c03e426677ffb21d97b8828/maksimalisasi-laba-menurut-pandangan-islam pada 26 Juni 2020
Pukul 14.25
[12] Farida Khoirun Nisak, Op
Cit
[13] Muhamad, Op. Cit
[14] Mecki Krisdayanti dkk, Maksimalisasi Laba, di akses dari https://www.academia.edu/35128051/ekonomi_miro_islam_8.docx Pada 27 Juni 2020 Pukul
13.50
Posting Komentar untuk "Maksimalisasi Laba - Perspektif Islam Vs Sekuler"
Silahkan tinggalkan komentar agar kami lebih baik.