Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah Ekonomi Regional

makalah ekonomi regional
Makalah Ekonomi Regional

BAB I PENDAHULUAN

Perekonomian nasional suatu negara senantiasa memerlukan analisis. Analisis tersebut diperlukan untuk dapat melihat kondisi ekonomi maupun perkembangannya dari waktu ke waktu. Pengetahuan tentang kondisi ekonomi dan perkembangannya tersebut diperlukan untuk mendukung suatu kebijakan, atau untuk melihat hasil-hasil dari suatu kebijakan.

Suatu analisis dilakukan dengan memanfatkan model-model (teori-teori), yang lazim digunakan, yang telah terbukti akurat didalam membuat prediksi-prediksi. Ilmu ekonomi memang penuh dengan model-model dan contoh-contoh ilustratif. Dengan didukung oleh data empiris dapat dibuat kesimpulan-kesimpulan menyangkut suatu masalah, dan dapat prediksi-prediksinya.

Suatu perekonomian secara umum dapat dianalisis pada dua aspek, yaitu analisis aspek sektoral dan analisis aspek regonal. Kajian tersebut dapat dilakukan untuk tingkat ekonomi nasional, maupun untuk tingkat ekonomi daerah (lokal). Untuk tingkat ekonomi nasional aspek regional yang akan dilihat adalah ekonomi pada tingkat-tingkat subnasional. Model analisisnya bisa sektoral lagi atau bukan sektoral. Sedangkan untuk ekonomi regional/daerah maka ekonomi daerah yang akan dilihat adalah ekonomi subregional, dan pendekatan analisisnya pun bisa aspek sektoral atau aspek regional. 

Secara skematis diperlihatkan pada gambar 1.1 Demikian pula model-model analisis aspek regional meliputi berbagai pendekatan, seperti pendekatan sektoral sendiri, pendekatan input-output, pendekatan arus barang, jasa, manusia dan kendaraan, dan sebagainya.

1.1. Aspek Sektoral 

Analisis aspek sektoral, baik perekonomian tingkat nasional, tingkat regional (sub nasional), maupun tingkat subregional perekonomian dilihat berdasarkan sektor-sektor kegiatan ekonomi atau lapangan usaha penduduk. 

1.2. Aspek Regional 

Dalam aspek regional ini perekonomian nasional dilihat berdasarkan wilayah-wilayah perekonomian (Regions of Economy). Namun, wilayah-wilayah perekonomian tersebut mungkin sama, dan mungkin juga tidak sama dengan wilayah-wilayah administrasi pemerintah daerah, mungkin merupakan kesatuan dua wilayah administrasi pemerintah daerah atau lebih, atau mungkin juga sebuah wilayah administrasi pemerintahan daerah dipecah masuk ke dalam wilayah ekonomi yang berbeda.

1.3 Perencanaan Pembangunan Ekonomi Regional Relatif Lebih Sulit

Perencanaan pembangunan ekonomi regional jauh lebih sulit dibandingkan dengan perencanaan pembangunan ekonomi nasional. Hal itu disebabkan oleh batas-batas daerah yang lebih terbuka dibandingkan batas-batas nasional. Karena batas-batas daerah yang relatif terbuka tersebut, 


1.4 Regionalisasi Pembangunan

Regionalisasi (Perwilayahan) pembangunan merupakan bahagian dari proses perencanaan pembangunan, sebagai usaha membagi wilayah nasianal menjadi wilayah-wilayah regional (subwilayah-subwilayah nasional), atau wilayah regional menjadi wilayah-wilayah subregional. Hasil penataan perwilayahan tersebut dinamakan wilayah perencanaan. 

1.5 Tujuan Pembangunan Regional di Indonesia

Pembangunan regional di Indonesia khususnya selama pelaksanaan Repelita lebih dimaksudkan sebagai pembangunan daerah (Local Dedvelopment). Tujuannya, seperti yang dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yaitu untuk:

(1) memelihara keseimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah.

(2) memelihara keseimbangan ekonomi antar wilayah dan mencegah kesenjangan antar daerah. 


1.6 Masalah-masalah Regionalisasi di Indonesia

Secara teoritis wilayah harus dapat memperlihatkan spesifikasinya masing-masing, seperti adanya variasi dalam hal sumber daya ekonomi yang potensial, sehingga dapat diambil kebijakan dalam pengembangan wilayah masing-masing yang lebih spesifik. 

Wilayah nasional yang relatif luas dan berbentuk kepulauan. Kalau hanya dipecah menjadi 5 WPU dan kurang lebih 80 WP, maka WPU-WPU tersebut terlalu luas. 


1.7. Keserasian Pembangunan antar Daerah

Keserasian pembangunan antar daerah pada masa Repelita dikembangkan Pemerintah Pusat (melalui perencanaan terpadu oleh Bappenas) berdasarkan pertimbangan sektoral, dimana proyek-proyek sektoral didistribusikan secara seimbang diantara berbagai daerah berdasarkan matrik tertentu (Bintoro Tjokroamidjojo, 1983). Proyek-proyek dirangking, diberi bobot, dipilih sesuai dengan kebutuhan nasional ataupun daerah. Proyek-proyek investasi diusahakan untuk dapat memberikan pemerataan, dapat memberikan pengaruh penyebaran (Spreading Effect) bagi perekonomian daerah. 


1.8. Penggunaan Teori Ekonomi Mikro dan Makro

Dalam Ekonomi Regional digunakan kedua aspek teori, baik teori ekonomi makro maupun teori ekonomi mikro. Pada tahap perkembangan pembangunan regional di Indonesia pada periode Reformasi sekarang ini, juga sudah menyentuh masalah pemerataan pembangunan antar daerah dengan mulai mencoba memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah tingkat II. Bahkan sejak tahun anggaran 1995/1996) daerah sudah dapat mengambil pinjaman (kredit) luar negeri untuk membiayai pembangunannya (seperti yang dilakukan oleh provinsi Jawa Tengah dalam membiayai pembangunan jalan tol kota Semarang).


BAB II TEORI LOKASI PASAR (HARGA) SPASIAL

2.1 Teori Harga Spasial ( Spatial Price Theory) 

2.1.1. Keseimbangan Harga Lokal dan Harga Spasial

Harga dari suatu barang tidak harus sama di seluruh wilayah, mungkin di bagian pasar (wilayah) yang satu berbeda dengan di bagian pasar (wilayah) yang lain. Pasar-pasar yang secara tata ruang terpisah, kurva permintaan maupun kurva penawarannya mungkin berbeda satu dengan yang lain. Oleh karena itu harga dari satu barang tertentu mungkin lebih tinggi dari yang dapat diperoleh di pasar yang lain

R1 dan R2  dipisahkan oleh suatu jarak tertentu. Misalkan : Biaya transport antara R1  -  R2  =  T21. Biaya transpor dari R1 ke R2  tidak perlu sama dengan kalau dari R2 ke R1. Begitu pula biaya transport tersebut tidak harus memiliki fungsi linier, memungkinkan non linier juga.

Route (trayek) transpor tidak perlu bolak-balik. Pos-pos biaya transpor tersebut meliputi, antara lain:   biaya asuransi, biaya bunga modal, biaya transit (biaya bongkar muat), dan lain-lain biaya yang dapat menambah biaya angkut. Diasumsikan pula, bahwa besar kecilnya volume angkutan tidak mempengaruhi biaya transpor per unit. 


2.1.3 Kasus Wilayah Lebih Dari Dua

Asumsi yang dibuat tetap sama, yaitu jenis barang satu macam, dan berlaku sistem perdagangan bebas antar wilayah. Jadi, ketentuan untuk kasus wilayah banyak (Multi Regions) ini adalah sebagai berikut :

(i)   ∑ E = 0, atau import = ekspor antar wilayah.

(ii) Harga di wilayah yang mengekspor ditambah dengan biaya transpor per unit dari/ke wilayah yang bersangkutan sama dengan harga di wilayah yang mengimpor.


2.1.4 Kasus Tiga Wilayah

Kasus tiga wilayah masih relative mudah dipecahkan, dimana dibuat asumsi bahwa ∑E =∑- E, harga keseimbangan spasial akhir dan perbedaan harga lokal wilayah semula masing-masing wilayah dapat ditulis :

E1 = b1 (P1 – A1);  E2 = b2 (P2 – A2);  E3 = b3 (P3 – A3)

Keterangan: b1, b2 dan b3 = konstanta-konstanta untuk wilayah-wilayah R1, R2 dan R3..A1, A2, dan A3 adalah harga-harga lokal di wilayah-wilayah R1, R2 dan di R3.T23, T31 dan T32 adalah biaya-biaya transpor dari R3 ke R2, dari R1 ke R3 dan dari R2 ke R3, yang besarnya diketahui. P1, P2, P3  adalah harga-harga keseimbangan spasial akhir yang merupakan permasalahan yang ingin diketahui. Kesulitan: A (harga lokal wilayah), T (biaya transpor). Keduanya merupakan data yang harus terlebih dulu diketahui untuk menentukan wilayah-wilayah mana yang akan mengimpor, wilayah-wilayah mana yang akan mengekspor dan wilayah-wilayah mana yang tidak membentuk perdagangan


2.1.5 Kasus n- Wilayah

Pada contoh kasus tiga wilayah, volume perdangan antar wilayah masih lebih mudah diperkirakan.

Contoh : kalau E21 dan E31  negatif, maka: E12 = - E21;   E13 = - E31

Pada kasus  n-wilayah setiap wilayah mungkin mengimpor dari wilayah lain atau mengekspor ke wilayah yang lain. Dengan demikian jumlah netto perdagangan tiap wilayah, volumenya tidak secara otomatis diketahui. Prosedur perhitungannya lebih sulit.

Sejumlah metoda yang pernah diperkenalkan untuk memecahkan masalah keseimbangan harga spasial kasus n- wilayah, atau model pasar banyak, antara lain:

Metoda Enke, yang menyusun sebuah sistem spasial tiruan dengan menggunakan sirkuit – sirkuit listrik. Harga-harga keseimbangan spasial dan biaya-biaya transpor dirancang sedemikian rupa untuk dapat dibaca pada alat-alat pengukur arus atau tegangan listrik yang diletakkan/dihubungkan secara spasial. Dengan menghidupkan saklar sistem akan bekerja dan membentuk keseimbangan akhir yang stabil  dengan voltase-voltase meter serta amper-amper meter tertentu yang dapat dibaca, atau dipilih kemungkinan-kemungkinannya.

(2) Metode Samuelson, yang melihat bahwa model tersebut dapat menjadi sebuah    permasalahan linier, dan bertujuan untuk memimimalkan “net social pay-off”, yaitu jumlah aljabar dari bagian-bagian wilayah di bawah kurva-kurva supply pada setiap pasar dikurangi sejumlah biaya transport (sisa bayaran social). Model tersebut dibuat untuk mencoba menyederhanakan dan mengatasi permasalahan keseimbangan harga spasial, manfaat perdagangan antar wilayah (pasar) secara timbal balik yang dihubungkan dengan sarana-sarana transportasi dengan biaya-biaya yang minimum.


2.2. Pola-pola Sebaran Spasial Secara Umum 

Sifat dasar dari wilayah secara spasial, atau pasar dalam suatu tata ruang, adalah sesuatu yang abstrak. Artinya, batas wilayah atau ruang lebih diartikan sebagai sesuatu yang berada di dalam pikiran. Di sini diasumsikan bahwa pembeli maupun produsen dipusatkan pada sejumlah titik (pasar) yang satu dengan yang lainnya terpisahkan oleh ruang tidak berkegiatan ekonomi. Kebenaran asumsi ini relatif. 


2.2.1. Pembeli Dengan Kurva Permintaan Sama Elastisitas Permintaannya Sama

Kasus ini dibatasi oleh asumsi: biaya transpor tidak berpengaruh terhadap permintaan, harga monopolist hanya satu (tunggal) untuk semua pembeli pada lokasi yang sama, harga monopolis berbeda untuk lokasi yang berbeda. T = biaya transport per unit dari lokasi produsen ke lokasi pembeli A. Pada lokasi tersebut permintaan pembeli A = Q produk, dengan harga P dan elastisitas permintaan E, adalah sama pada setiap titik pada kurva permintaan, untuk setiap pembeli. Harga tersebut dibayar pembeli sebelum monopolis mengenakan biaya angkut


2.2.2. Permintaan Pembeli Jauh Lebih Kecil tetapi Lebih Elastis.

Untuk mengilustrasikan dalil ini dan efeknya terhadap harga diskriminasi spasial, diasumsikan bahwa kurva permintaan linier dan kedua akses bekerja bersama-sama. Kita juga mengasumsikan bahwa para pembeli akan memiliki permintaan yang sama, yang mendapat pengaruh dari biaya-biaya transport yang sama. Pembeli-pembeli terpencil memiliki elastisitas permintaan lebih besar dibandingkan dengan elastisitas permintaan pembeli-pembeli dekat. Untuk memperoleh laba maksimal, si monopolist akan memberlakukan diskriminasi terhadap pembeli-pembeli yang memiliki Ed elastis dengan yang memiliki Ed yang relative kurang elastis. 


2.2.3. Batas-batas Monopoly Spasial

Pengendalian yang sempurna dari sebuah perusahaan monopoly yang mencakup seluruh area pasar jarang terjadi. Diskriminasi harga terhadap konsumen-konsumen pasar yang berdekatan dalam praktek juga sulit dilakukan, karena pasar-pasar tersebut cenderung terintegrasi. Penjual dapat melakukan pengawasan paling baik, meliputi pembeli-pembeli di sekitar (pasar dengan jarak sedang).


Monopoli dapat menguasai pasar secara keseluruhan dengan cara membentuk agen-agen tunggal di masing-masing wilayah.

2.2.4. Pengaturan Pasar Oleh Sebuah Industri

Lokasi-lokasi penjual saingan monopoli jauh cenderung berusaha memperlemah monopoli. Pasar jauh (wilayah belakang) cenderung saling membagi pasar diantara para penjual (menekan monopoli pada pengaruhnya yang minimum). Apabila pasar dirubah menjadi oligopoly, persaingan diantara penjual pada lokasi-lokasi tersebut akan berkurang, dapat ditetapkan harga kesepakatan. Permintaan dapat dihadapi bersama-sama. Harga dapat dikaitkan dengan sekala produksi masing-masing produsen secara kelompok.


2.2.5.Dua Penjual di Lokasi-lokasi Yang Berbeda dan Dikitari Banyak Pembeli (Hukum Luas Areal pasar). 

Kasus pasar yang terdapat lebih dari satu penjual. Pada dua wilayah geografis terdapat pasar-pasar penjualan X dan Y. Menurut analisis Samuelson – Enke, apabila barang bebas bergerak dari pasar yang satu ke pasar yang lain, perbedaan harga di kedua pasar tersebut tidak mungkin lebih besar dari biaya transpor. Kasus Samuelson – Enke, dua pasar tersebut seperti dua kantung ekonomi di dalam sebuah wilayah kosong.


Setiap titik pada kurva yang sama berbeda biaya angkut dari masing-masing pasar, tetapi harga pasarnya sama mengingat perbedaan biaya angkut akan berbeda harga pasar. Angka perbandingan (Ratio) perbedaan harga dengan biaya angkut dari kedua pasar menentukan batas cakupan lokasi. Harga pasar yang relatif lebih tinggi dan biaya angkut yang relatif lebih rendah membentuk area pengaruh yang lebih luas. Kurva batas-batas area pasar dan luas pengaruh cakupan tiap pasar tergantung kondisi ekonomi wilayah masing-masing.


2.2.6. Penjual Banyak Terkonsentrasi Sedangkan Pembeli Juga Banyak Tersebar.


Misalnya: penjual (s) dalam jumlah banyak terpusat pada R1 (satu titik); pembeli (d) dalam jumlah banyak tersebar di sekelilingnya mereka berada di sub-sub wilayah R1 – R6; barang yang dihasilkan oleh semua produsen di R1 tersebut diasumsikan homogen. Barang bebas keluar masuk; Perusahaan-perusahaan dalam kondisi persaingan satu sama lain; Harga (P) tunggal; Revenue rata-rata dari setiap produsen sama; batas area pasar masing-masing perusahaan berbeda; harga yang diberlakukan adalah harga of pabrik; kurva permintaan individu bergeser ke kiri oleh biaya transport. 


2.2.7. Pembeli Banyak Terkonsentrasi Sedangkan Penjual Juga Banyak tetapi Tersebar

Produsen-produsen tersebar pada lokasi-lokasi subwilayah R1 - R6. Konsumen terkonsentrasi di R1 (misalnya sebuah kota). Semua pembeli membayar harga yang berlaku yaitu harga pabrik (Pf.o.b). Penerimaan bersih setiap perusahaan sama, walau ada perbedaan jarak dengan lokasi pembeli (kota). Produk homogen, berlaku sistem pasar persaingan sempurna, dengan produk tunggal, dan kurva penerimaan individual firm (permintaan rata-rata per perusahaan) mendatar. Tidak menjadi masalah tentang diberlakukannya Pf.o.b, atau penyaluran bebas (tidak ada yang mengendalikan harga), juga tidak ada masalah tentang biaya transpor yang akan menciutkan kurva permintaan atau menambah biaya (harga pabrik atau harga lokasi pembeli). Tetapi tingkat harga pada lokasi dengan elastisitas permintaan sempurna dapat dibedakan diantara penjual yang satu dengan yang lain, berdasarkan jarak lokasinya dengan pasar.


2.2.8. Para Penjual dan Para Pembeli Sama-sama Tersebar tetapi Mempunyai Sebuah Pusat Pasar Bersama (Kasus Pasar Transito)

Asumsi: Pembeli di d1, d2, d3, d4, d5 hanya dapat memperoleh barang tersebut di pasar M1 walaupun produk SS tersebar dimana-mana. Ed di M =  ; revenue yang diperoleh masing-masing supplier sama, tetapi laba mungkin bervariasi, hal itu disebabkan, (diantaranya) dipengaruhi oleh jarak yang membedakan biaya transpor (T). Sungguhpun barang-barang tersebut dibawa kembali ke lokasi konsumen yang tersebar, tetapi barang-barang tersebut tetap disalurkan melalui pusat pasar M; ada persaingan baik diantara penjual maupun diantara pembeli.


2.2.9. Pembeli Maupun Penjual Tersebar (Persaingan Monopolistik/Oligopoli Spasial)

Asumsi dasar : para pembeli dan penjual tersebar; para penjual tersebar dan jarang; perusahaan mempraktekkan produksinya pada sekala profit maximizing atau loss minimizing; barang diproduksi untuk mereka yang sanggup membeli pada harga tersebut; area penjualan berbentuk lingkaran (bundar); keluar masuk barang-barang bebas (Free Entry); industri terbentuk tetapi masing-masing perusahaan sejenis memiliki pasar sendiri-sendiri dengan jarak tertentu satu sama yang lain, memiliki jarak yang lebih jauh dengan perusahaan yang menjual dengan profit nol; area-area pasar dari masing-masing perusahaan akan berbentuk segi enam (area maksimum), akibat dari Free Entry perusahaan akan cenderung memadatkan area-area pasar yang ideal tersebut. 


2.2.10. Alternatif Sistem Harga Spasial

Selain diberlakukannya harga of pabrik (Pf.o.b) terdapat pula harga alternatif yang ditemukan pada oligopoly spasial, misalnya (yang terpenting) harga frangko pembeli,atau harga dengan antaran (Delivered Price ). Harga ini oleh para penjual disusun dengan cara membebankan biaya transport rata-rata kepada Pf.o.b, dimana perusahaan berproduksi pada Profit Maximizing. Penyaluran barang-barang bebas ke seluruh areal pasar yang dikuasai semua penjual dan yang oleh para penjual juga diberlakukan sistem diskriminasi. Para pembeli yang berada di sekitar lokasi para penjual yang diperluas atau dipersempit oleh perkembangan dalam pendistribuasian ke area-area penting.

Kalau pengusaha (penjual) mengelompok dan tidak diberlakukan diskriminasi diantara mereka, sistem penyaluran bebas dapat dioperasikan, dimana keseimbangan harga tidak perlu diatur diantara para penjual. Stabilitas harga tergantung pada penjual secara keseluruhan. Setiap penjual bebas melakukan diskriminasi harga dengan membedakan area-area pasar, tetapi diberlakukan harga prangko konsumen yang bebas, yang mana harga tersebut berbeda antara penjual yang satu dengan penjual yang lain. Dengan sifat harga yang bersaing tersebut.


2.2.11. Keragaman-keragaman Harga Spasial : A Testable Model

Pada umumnya analisis harga spasial dilakukan berdasarkan asumsi yang begitu abstrak dan disajikan di dalam terminology model-model formal. Ini dilakukan untuk memungkinkan diperolehnya suatu pendekatan studi harga-harga spasial yang dapat diuji secara empirisn seperti halnya pendekatan yang pernah dianjurkan W. Wentz. Analisis tersebut merupakan sumbangan yang berharga, dimana model itu tidak terikat dengan penentuan pembeli maupun penjual, tetapi dapat membantu pusat-pusat penduduk yang padat (kota-kota) dan pemukiman-pemukiman penduduk yang tidak padat (desa-desa). Model ini sangat sederhana, sesuai dengan dalil bahwa harga ditentukan oleh penawaran dan permintaan, tetapi tidak meliputi pengaruh factor spasial kepada harga. Harga suatu komoditi beragam dalam suatu ruang, meliputi adanya pengaruh faktor spasial terhadap permintaan dan penawaran. Keragaman spasial di dalam intensitas penawaran dan permintaan cenderung membentuk keragaman secara geografis pada harga suatu komoditi. Suatu pembuktian hipotesis secara umum harus digambarkan secara sebanding dengan porsinya, bahwa harga cenderung dipengaruhi langsung oleh wilayah permintaan potensial (potensi waktu penawaran, 


BAB III

TEORI LOKASI INDUSTRI

3.1. Pendahuluan

Masalah lokasi industri adalah bagian dari masalah bagaimana menyebarluaskan kegiatan ekonomi di dalam suatu wilayah. Masalah ini secara spesifik terkait dengan masalah di mana suatu barang harus diproduksi, di mana dikonsumsi, dan bagaimana mendistribusikannya. Sebagaimana prisip ekonomi mikro, bahwa unit usaha ekonomi (perusahaan) haruslah senantiasa bekerja secara efisien, untuk menghemat sumberdaya, mampu bersaing, dan mampu menjawab keinginan konsumen secara maksimal. Salah satu faktor yang memungkinkan tercapainya tingkat efisiensi tersebut adalah mampu memilih lokasi yang optimal.


3.2. Prinsip Lokasi Median

Untuk menjelaskan prinsip lokasi median ini dibuat sebuah contoh ilustrasi. Misalkan ada rencana pendirian sebuah perusahaan roti, yang selain memproduksi roti juga mendistribusikannya kepada para langganan (konsumen). Baik biaya maupun volume produksi diasumsikan tidak berpengaruh terhadap lokasi perusahaan tersebut. Satu-satunya variabel yang berpengaruh adalah biaya pengiriman (Distribution Cost). Dengan demikian untuk maksimalkan keuntungan dilakukan dengan meminimalkan biaya pengiriman tersebut.

Misalkan pula, bila lebih lanjut diketahui bahwa langganan bakal pabrik roti tersebut ada 7 orang, mereka berada di sepanjang jalan (lihat gambar 3.1), dan perusahaan hanya bisa mengirim satu roti kepada seorang langganan pada setiap waktupengiriman. Maka pertanyaannya adalah, di mana lokasi perusahaan roti tersebut yang terbaik (yang optimal, atau yang meminimalkan biaya pengirimannya).


3.3. Persaingan Sepanjang Satu Garis Lurus (Teori Hottelling)

Misalkan seorang penjual cendol yang menjajakan cendolnya untuk konsumen wisatawan sepanjang pantai. Pembelinya tersebar merata di sepanjang pantai tersebut. Setiap orang ingin membeli satu gelas dan bersedia berjalan kaki sejauh yang diperlukan untuk memperolehnya, walaupun sebenarnya orang-orang itu lebih suka kalau cendol tersebut dapat diperolehnya dengan berjalan sesingkat mungkin. Kalau penjual cendol itu satu-satunya (penjual tunggal), dia tidak perlu memperhitungkan dimana lokasi yang terbaik bagi semua pihak, karena semua konsumen yang ingin minum cendol akan tunduk pada keputusan si produsen tunggal itu. 

Tetapi masalahnya akan berbeda kalau pedagang cendol ada dua, akan muncul persaingan diantara mereka. Keduanya ingin memperoleh keuntungan yang sebesar- besarnya, dan mereka sama sekali tidak berkepentingan terhadap fungsi pelayanan umum. Persaingan tersebut akan menghasilkan suatu lokasi keseimbangan bersama bagi kedua penjual. Proses itu akan menghasilkan konsentrasi kegiatan ke satu lokasi, atau yang disebut Aglomerasi. 


3.4. Industri Dengan Satu Pasar dan Satu Bahan Baku

Diasumsikan, bahwa biaya produksi peti baja tersebut sama dimanapun lokasi pembuatan dipilih. Dengan demikian satu-satunya pertimbangan pabrik adalah bagaimana meminimumkan biaya angkut bahan baku dan outputnya (Total Transport Cost). Total Transport Cost terdiri dari biaya perakitan (Assembly Costs) dalam mendatangkan input (plat-plat baja) dari kota M, dan biaya distribusi (Distribution Cost) dalam mengirimkan output (peti-peti baja) tersebut dari pabrik ke kota C.


3.5. Struktur Biaya Transpor (Transport Cost Structure)

Dalam kenyataannya kenaikan biaya transpor tidak proporsional dengan pertambahan jarak angkut. Hal itu disebabkan oleh:

1. Adanya biaya terminal, seperti: (1) Biaya bongkar muat, (2) Biaya Pengepakan, dan(3) Biaya Administrasi. Dengan demikian biaya transpor dapat ditulis : BT=Sm +rm.t

Keterangan: Sm adalah biaya terminal; rm adalah biaya transpor rata-rata/km, t = jarak. Dalam bentuk diagram digambarkan sebagai mana diperlihatkan gambar 3.4: Keterangan: A adalah biaya angkut proporsional terhadap jarak; B biaya angkutan dengan mempertimbangkan biaya terminal; C adalah biaya angkutan dengan mempertimbangkan biaya terminal dan juga penurunan biaya marginal atas setiap pertambahan kesatuan jarak. 


3.6. Lokasi Industri Titik-Titik Ujung (End Points Location)

Biaya terminal dan bentuk kurva biaya transpor berpengaruh terhadap daya tarik lokasi industri. Lokasi industri cenderung dipilih lokasi ujung (end points), seperti titik M dan C dalam gambar di atas. Dalam gambar, biaya transpor seperti untuk kasus plat baja dan peti baja, dikaji dengan menyesuaikan struktur biaya transpor yang lebih realistis. 


3.7. Keunggulan Lokasi Transhitment

Lokasi transhitment adalah suatu lokasi dimana terjadi perpindahan barang dari satu jenis alat transpor (Moda) ke jenis alat transpor yang lain. Lokasi tersebut misalnya pelabuhan laut, yaitu lokasi perpindahan angkutan dari kapal laut ke moda transportasi darat, atau sebaliknya. Lokasi transhipment tersebut memiliki keunggulan.

Misalkan kasus pabrik peti baja seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, yang bahan bakunya adalah plat-plat baja yang didatangkan dari lokasi M sedangkan pasar hasil produksinya tunggal, yaitu kota C. Seandainya lokasi M dengan B dipisahkan oleh laut, dimana lokasi B adalah di lokasi pelabuhan. Sedangkan dari B ke C dapat ditempuh dengan angkutan darat (truck atau kereta api). 


3.8. Lokasi Industri Kasus Satu Pasar dan Banyak Bahan Baku

Untuk kasus seperti ini, maka jika digambarkan biaya transportasinya sudah menjadi berdimensi tiga. Sebagai contoh diambil kasus industri dengan dua macam bahan baku dan satu pasar. Misalkan dua bahan baku tersebut adalah N1 dan N2, satu pasar hasil produksi (Output) adalah C. Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah menstandarisasi ukuran jumlah (Quantitas) bahan baku untuk setiap unit hasil produksi (peti baja). Misalnya untuk membuat satu peti baja diperlukan 2 ton N1 dan 1 ton N2. Biaya terminal adalah $ 1 perton bahan baku (baik untuk N1 atau N2). Diketahui pula biaya angkut bahan baku N1 = $ 0,67 perton per 100 km. Sedangkan biaya angkut N2 = $ 1 perton per 100 km.


3.9. Lokasi Industri dengan Pasar Banyak dan Bahan Baku Banyak

Komposisi penjualan produk adalah 20 % ke C1, 30 % ke C2 dan 50 % ke C3. Berdasarkan kaidah lokasi median maka biaya distribusi minimum kalau lokasi industri di C3, namun peta Isotims diperlukan karena dalam metode ini total biaya transpor terdiri dari dua unsur, yaitu biaya angkut hasil produksi (Distrution Cost) dan biaya input, atau biaya perakitan (Assembly Cost). Kita dapat menggambarkan peta isodapanes (kurva-kurva dengan biaya transpor total sama) dan menentukan isodapanes minimum.


3.10. Peranan Biaya Produksi

Pengusaha harus menghitung penghematan per unit output yang dihasilkannya sebagai pengaruh upah buruh yang lebih rendah itu, sebagai salah satu faktor efisiensi. Misalkan penghematan mencapai $ 10, maka L akan menjadi lokasi optimal untuk menggantikan A. Pada peta isodapanes dapat dibaca bahwa total biaya transport di L = $ 25,50. Ini berarti $ 5,80 lebih mahal dibandingkan dengan total biaya transpor di A, karena total biaya transpor di A = $ 19,70. Mahalnya total biaya transpor di L tersebut akan tergantikan oleh rendahnya upah buruh di lokasi L tersebut, yaitu sebesar $ 10. Jadi di L ada pengurangan biaya produksi sebesar $ 4,20 per unit produk.


BAB IV

EKONOMI PERKOTAAN

4.1. Pendahuluan

Dewasa ini ekonomi perkotaan sudah menjadi salah satu spesialis ilmu ekonomi, yang disebut Urban Economics.Lahirnya spesialis ilmu ekonomi perkotaan ini tidak terlepas dari sejarah munculnya masalah perkotaan pada pertengahan abad ke-20, dimana kota-kota menjadi miskin, kumuh, dan macet dalam segala aspek kehidupan. Proses urbanisasi pada awalnya membantu pemecahan masalah pengangguran di wilayah pedesaan, dan sekaligus membantu pertumbuhan sektor industri dan jasa di wilayah perkotaan. Sebelumnya, sebagian para ahli memandang ekionomi perkotaan sebagai bahagian dari ekonomi wilayah (Regional Economics).Kota sebagai bagian dari sestem wilayah yang tidak dapat dipisahkan dari wilayah yang lebih luas, yang terdiri dari subwilayah perkotaan (Urban Area) dan sub-subwilayah perdesaan (Rural Areas). 

Ekonomi perkotaan, sebagaimana halnya ekonomi regional, meliputi studi ekonomi mikro dan makro. Sebagai contoh, yang termasuk studi ekonomi mikro antara lain teori sewa lahan, teori lokasi berbagai aktivitas ekonomi dan komplek perumahan di dalam struktur tata ruang sebuah kota, dan sebagainya. 


4.2. Sifat-sifat Wilayah Perkotaan

John Freedman dan Cleyde Wever dalam bukunya Territory and Function: The Evaluation of Regional Planning (1979) membagi suatu wilayah atas Core dan Periphery. Core adalah pusat dari sebuah wilayah, sedangkan Periphery adalah wilayah di sekitar core atau subwilayah di sekitarnya atau hinterlandnya.Core merupakan lokasi pusat kegiatan atau lokasi pusat pertumbuhan kegiatan penduduk di suatu wilayah dalam semua aspek kehidupan, yang meliputi aspek-aspek sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Oleh karena itu core merupakan pusat kegiatan dan perkembangan semua aspek kehidupan penduduk wilayah, maka sifat-sifatnya dapat dibedakan dengan bagian wilayah yang lain (Periphery). 


4.3. Proses Tumbuh dan Berkembangnya Sebuah Kota

Ada tiga teori tentang proses tumbuhnya sebuah kota, yaitu: (1) Teori yang mengatakan bahwa sebuah kota tumbuh dari proses perkembangan tempat-tempat peristirahatan dalam perjalanan. (2) Teori yang mengatakan bahwa sebuah kota tumbuh dari proses perkembangan lokasi transit (bongkar muat barang atau naik turun penumpang) diantara jenis-jenis angkutan. (3) Teori yang mengatakan bahwa sebuah kota tumbuh dari proses perkembangan lokasi distribusi atau koleksi barang-barang dan jasa-jasa di suatu wilayah yang subur.

Kota yang tumbuh dari perkembangan pusat-pusat peristirahatan dalam perjalanan.Sebagai contoh dikemukakan bagaimana asal muasal tumbuhnya kota-kota di pesisir timur Amerika Serikat.Menurut sejarahnya kota-kota di wilayah tersebut bermula dari perkembangan lokasi-lokasi peristirahatan orang-orang yang melakukan perjalanan dengan kuda. Adanya orang-orang yang melepaskan lelah, kemudian disusul oleh adanya orang-orang yang mencoba menyediakan pelayanan, seperti warung, penginapan, dan sebagainya muncullah tempat-tempat yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota. 


4.4. Perkembangan Ekonomi Perkotaan

Dewasa ini ekonomi perkotaan sudah menjadi suatu spesialisasi ilmu ekonomi.Bahkan sebagian para ahli berpendapat bahwa ekonomi perkotaan sudah merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri (Sukanto dan Karseno, 1994).Para ahli yang berpendapat demikian itu mendasarkan pandangannya kepada luasnya masalah kajian dalam Ekonomi Perkotaan. Adapun masalah-masalah tersebut: (1) Masalah perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di wilayah perkotaan. (2) Masalah penganguran di wilayah perkotaan. (3) Masalah pendapatan di wilayah perkotaan, baik pendapatan kota maupun pendapatan perkapita penduduk kota. 


4.5. Aktivitas Masyarakat Kota Yang Multi Aspek

Kota tidak saja merupakan konsentrasi kegiatan ekonomi tetapi juga konsentrasi kegiatan semua aspek kehidupan manusia.Masalah ini merupakan suatu kerumitan dalam pemecahan permasalahan ekonomi perkotaan.Aspek-aspek tersebut melahirkan sejarah, kelembagaan, pandangan hidup, dan sebagainya yang khas.

Sebuah kota dalam hubungan dengan tata ruang meliputi keterkaitan ke dalam kota sendiri, ke dalam wilayah, dan ke luar wilayah (intra regional relationship dan inter regional relationship). Faktor tersebut memberikan dampak terhadap kondisi dan lingkungan suatu kota, baik dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Dampak yang diharapkan, misalnya masuknya modal, tenaga kerja terampil dan terdidik.


4.6. Berkembangnya Sebuah Kota

Sebuah kota lahir, kemudian tumbuh membesar dan mati. Apakah factor-faktor yang menyebabkan sebuah kota tumbuh dan membesar? Faktor-faktor tersebut adalah berkembangnya aktivitas penduduk kota dalam semua aspek kehidupan (utamanya kegiatan ekonomi), proses terkonsentrasinya kegiatan penduduk tersebut ke kota  yang bersangkutan (Aglomerasi), yang  kemudian diikuti oleh perpindahan penduduk dari wilayah pedesaan ke kota tersebut (Urbanisasi). Industri memerlukan lahan lokasi.

Lahan lokasi tersebut dipilih di mana yang paling ekonomis.Lahan lokasi yang paling ekonomis bukan di lokasi yang harga atau sewa lahannya paling rendah, tetapi di lokasi optimum (Optimum Location).Lokasi optimum adalah lokasi dimana titik kombinansi biaya sewa lahan dengan jumlah ouput maksimum yang dapat dicapai perusahaan bersinggungan 


4.7. Masalah Kota di Indonesia

Masalah kota di Indonesia, menurut Sukanto dan Karseno (1982) lebih komplek. Menurut dia ada tiga masalah pokok yang dapat diidentifikasi, yaitu: (a) Masyarakat kota masih menonjol ciri-ciri masyarakat pedesaannya, seperti sikap acuh tak acuh. (b) Masih lemah dalam kesadaran hukum. (c) Juga, masih lemah dalam penegakan hukum. 

Sebagai contoh, bila ada suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan umum, masyarakat cenderung tidak memperdulikan.Barang-barang kepentingan umum sering dirusak, bahkan dicuri.Aparat hukum cenderung memilih-milih masalah, bertindak jika diperintah, berperilaku ulur tarik, kurang ada kepastian, dan sebagainya.


4.8. Perencanaan Penduduk Kota

Jumlah penduduk kota tumbuh relatif cepat dan perlu direncanakan agar pertumbuhannya sebanding dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan dan berbagai pelayanan yang diperlukan. Angka pertumbuhan penduduk kota terdiri atas angka pertumbuhan alamiah dan migrasi. Oleh karena itu tingkat pertumbuhan penduduk kota umumnya jauh di atas rata-rata tingkat pertumbuhan penduduk wilayahnya secara keseluruhan. Faktor yang menyebabkan perpindahan penduduk desa ke kota meliputi faktor ekonomis dan non ekonomis. 

Pada sisi yang lain penduduk memerlukan pekerjaan yang produktif, atau pekerjaan yang layak. Jika tidak, banyak angkatan kerja yang menjadi kurang produktif, bahkan banyak yang mengangur (tidak produktif), selanjutnya kota akan terjebak kepada kondisi kemiskinan. Kondisi kemiskinan tersebut akan berdampak pada kekumuhan, kerusakan lingkungan, kemacetan lalu lintas, bahkan kemacetan dalam semua aspek kehidupan (seperti kurangnya pelayanan, suburnya kriminalitas, dan sebagainya). 


4.9. Pertumbuhan dan Perencanaan Penduduk Kota di Indonesia

Kondisi penduduk di Indonesia dewasa ini masih perlu mendorong pertumbuhan penduduk dan pembesaran kota-kota.Tujuannya adalah untuk mendorong pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi, walau itu harus dilakukan dengan hati-hati.Artinya, aktifitas ekonomi di wilayah perkotaan perlu didorong dengan penawaran tenaga kerja yang cukup. Sektor-sektor ekonomi perkotaan (sekunder dan tersier) memang memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi dibandingkan dengan sector-sektor ekonomi perdesaan (primer) dan kalau didorong perkembangannya melalu rencana pembangunan akan meningkatkan pendapatan perkapita penduduk, mempercepat peningkatan standar hidup penduduk. Disamping itu, masalah kelebihan penduduk (Over Populated) dari beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung dan Ujung Pandang memerlukan dana subsidi yang besar sekali untuk merehabilitasi kekumuhan dan kesemerautannya. 


4.10. Aglomerasi

Aglomerasi merupakan kondisi terkonsentrasinya berbagai aspek kegiatan penduduk ke lokasi perkotaan/sekitarnya.Sedangkan aglomerasi ekonomi adalah kondisi terkonsentrasinya kegiatan ekonomi ke wilayah perkotaan/sekitarnya. John Friedmann membuat teori yang cukup jelas mengenai proses aglomerasi ini. Apabila suatu wilayah dengan kegiatan ekonomi yang kecil-kecil dan tersebar di seluruh wilayah, kemudian dibangun jalur transportasi (fasilitas perhubungan) yang baik maka kegiatan ekonomi yang kecil-kecilan dan tersebar itu akan menghilang dan akan muncul kegiatan-kegiatan ekonomi yang berskala besar yang terpusat di suatu lokasi (terkonsentrasi). 


4.10. Aglomerasi

Aglomerasi merupakan kondisi terkonsen trasinya berbagai aspek kegiatan penduduk ke lokasi perkotaan/sekitarnya.Sedangkan aglomerasi ekonomi adalah kondisi terkonsentrasinya kegiatan ekonomi ke wilayah perkotaan/sekitarnya. John Friedmann membuat teori yang cukup jelas mengenai proses aglomerasi ini. Apabila suatu wilayah dengan kegiatan ekonomi yang kecil-kecil dan tersebar di seluruh wilayah, kemudian dibangun jalur transportasi (fasilitas perhubungan) yang baik maka kegiatan ekonomi yang kecil-kecilan dan tersebar itu akan menghilang dan akan muncul kegiatan-kegiatan ekonomi yang berskala besar yang terpusat di suatu lokasi (terkonsentrasi). Ini terjadi sebagai akibat adanya daya tarik kota terhadap kegiatan tersebut yang merupakan faktor ekonomis. 


4.11. Program Anti Konsentrasi dan Pengendalian Pertumbuhan Kota

Pertumbuhan kota perlu dibatasi, jangan sampai terjebak kepada kondisi kelebihan penduduk (Over Populated). Untuk itu pembangunan bidang transportasi di suatu wilayah perlu diimbangi dengan pembangunan perekonomian di wilayah pedesaannya. Tujuannya adalah untuk memelihara pendapatan rata-rata penduduk wilayah (antara penduduk kota dan desa) relatif seimbang. Kesenjangan pendapatan rata-rata ini adalah faktor ekonomis, yang menurut Todaro merupakan penyebab utama urbanisasi. Disamping faktor tersebut terdapat pula factor-faktor lain, seperti terbatasnya fasilitas-fasilitas pelayanan dan kurangnya rasa aman di wilayah pedesaan. Proses membesarnya kota-kota dengan jumlah penduduk puluhan juta jiwa, terutama berlangsung di negara-negara sedang berkembang yang daya dukung keuangannya lemah. Ini pernah dikemukakan oleh Lembaga Kependudukan A.S sebagai rekomendasi hasil studi berkenaan dengan perkembangan penduduk kota-kota di dunia.Kondisi tersebut merupakan sesuatu yang berbahaya dan belum begitu disadari oleh negara berkembang itu sendiri. 


4.12. Beberapa Model Observasi Lokasi Pemukiman Kota


  4.14. Pembangunan Wilayah di Negara-Negara ASEAN

Menurut Prantilla (1981), dari enam negara-negara ASEAN (pada waktu itu) empat diantaranya telah memasukkan pembangunan regional ke dalam rencana pembangunan nasionalnya, yaitu Malaysia, Thailand, Philipina dan Indonesia. Keempat negara ini memiliki bentuk dan bobot permasalahan yang berbeda, potensi sumber daya yang berbeda, kondisi geografis yang berbeda, posisi strategis yang tidak persis sama, dan kebijaksanaan yang berbeda termasuk dalam hal sistem perwilayahannya. Ternyata Malaysia relatif kecil permasalahan disparitas interregionalnya dan memiliki pendapatan perkapita yang paling tinggi diantara keempat negara tersebut.Malaysia tidak membuat perwilayahan pembangunan, mereka membagi wilayah-wilayahnya berdasarkan negara-negara bagian yang sembilan, perencanaan regional terkonsentrasi ke pusat.Thailand membagi wilayah nasionalnya kepada empat wilayah pembangunan, dengan main sektornya hanya pertanian, khususnya beras.Sedangkan Philipina membagi wilayah nasionalnya atas 12 regions, dan satu diantaranya adalah region metropolitan Manila.Regionalisasi di Philipina dibuat dengan jelas dimana pengorganisasiannya oleh lembaga-lembaga perencanaan disesuaikan dengan kebijaksanaan regionalisasi.

Di Indonesia, selama periode Repelita-I, belum begitu berdasar regionalisasinya, akan tetapi dinilai sangat menonjol pembangunannya karena ditunjang sumber daya pertambangan seperti minyak bumi, gas alam dan sebagainya. Telah diperkenalkan empat Wilayah Pembangunan Utama (WPU) pada Repelita II, dan berkembang mejadi lima WPU sejak Repelita  III, yang menurut Prantilla regionalisasi di Indonesia tidak memiliki alasan-alasan ekonomi yang cukup kuat, hanya sekedar menentukan pusat pertumbuhan di samping Jakarta. Belum begitu terlihat adanya sifat-sifat (characteristics) dari masing–masing wilayah yang spesifik, baik dilihat dari kandungan sumber daya alam (Natural Resources) maupun dari segi penduduk (Human Resources) sehingga tidak mudah dipilih main sector alternatif untuk dikembangkan dan dikaitkan dengan pasar domestik dan dunia dalam suatu keterkaitan yang saling membutuhkan dan efisien, atau adanya manfaat Comparative Cost atau Cooperative Advantage. 


BAB V

STRUKTUR TATA RUANG KOTA

5.1. Pendahuluan

Bab ini akan memusatkan perhatian kepada teori ekonomi di dalam struktur tata ruang kota. Bagaimana susunan tata ruang kota, baik kota besar ataupun kota kecil, ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi. Pengaruh kekuatan-kekuatan ekonomi tersebut jelas terlihat pada waktu mendiskusikan faktor-faktor minimalisasi biaya dan aksessibilitas. Masalah ini memang perlu didiskusikan, untuk mendapatkan pengertian konprehensif tentang struktur kota-kota modern, membatasi asumsi-asumsi pasar bebas, dan mengkaji berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah, berkenaan dengan perencanaan kota dan pelayanan umum.


5.2. Minimalisasi Biaya Ruang

Biaya transportasi merupakan salah satu unsur biaya dari bagian-bagian ruang tersebut. Transportasi merupakan suatu alat pemecah bagi terbagi-baginya ruang kota, dan jaringan transportasi yang lebih efisien membuat biaya transpor lebih rendah dan ruang-ruang kota akan menjadi kurang terpecah-pecah kepada bagian-bagian kota, dan lebih mudah terintegrasi satu sama lain. 

Berdasarkan formulasi semula, teori tersebut mengandung sejumlah kelemahan. Haig tidak menjelaskan bagaimana meminimalisasi biaya bagian-bagian ruang kota oleh rumah tangga atau perusahaan untuk minimalisasi biaya-biaya agregat di seluruh kota. Apabila potensi penerimaan (Revenue) berbeda-beda di satu tempat dengan tempat yang lain, dan tujuan perusahaan memaksimalisasi laba, biaya dari bagian-bagian ruang kota akan merupakan salah satu dari sekian banyak unsur biaya yang harus dikalkulasi dalam pendekatan biaya dan penerimaan di setiap lokasi. Jadi hipotesis tersebut lebih mungkin diterapkan pada industri-industri pengolahan di dalam persaingan sempurna daripada sebuah toko eceran. Minimalisasi biaya dari bagian-bagian ruang kota hanya sebagai sebuah ukuran lokasi kerja di dalam kasus yang istimewa dimana penerimaan-penerimaan dan biaya-biaya yang lain semuanya konstan. Hipotesis tersebut juga kurang menjabarkan perilaku rumahtangga-rumahtangga dalam mencapai kepuasan


5.3 Lingkungan Kota

Lingkungan kota juga merupakan suatu pendekatan hipotesis dari biaya-biaya minimum suatu bagian ruang kota, disesuaikan untuk mengangkat biaya-biaya variabel non-ekonomi, seperti misalnya nilai tanah. Rumusan-rumusan distribusi ekologi dan unit-unit pasar cenderung menjadi sedemikian rupa, dimana biaya total dari perolehan-perolehan kepuasan maksimum diminimalisir. Biaya tersebut telah tertera dalam suatu daftar, termasuk semua jenis kehilangan kegunaan (Disutility) seperti halnya biaya ekonomi dan lain-lain bentuk biaya.Jelasnya, karena kehilangan kegunaan tidak dapat diukur dalam terminilogi moneter, maka hipotesis dalam bentuk ini tidak dapat diuji.

Imalisasi biaya dari bagian-bagian ruang kota telah pernah dicoba oleh Guttenberg, tetapi dia menekankan pada pentingnya efisiensi transportasi di dalam penentuan struktur tata ruang sebuah kota, dan rumusan-rumusan model ini disajikan dalam terminilogi yang dinamis. 


5.4 Perilaku Konsumen Secara Spatial dan Lokasi Perdagangan Eceran

Menurut H.W Richardson, dengan berpedoman pada kegiatan toko eceran dapat diperluas generalisasi-generalisasi empiris tentang struktur tata ruang kota, khususnya di dalam konteks sebuah wilayah metropolitan. Penjualan perkapita lebih tinggi di pusat kota dibandingkan dengan di zona-zona (bagian-bagian) kota lainnya.

Di dalam konteks perdagangan eceran, bentuk interaksi potensial diantara seorang konsumen dan sumber daya perdagangan eceran tersebut (toko secara individual, dan sebagainya), sebuah pusat perbelanjaan pada sebuah wilayah perkotaan secara langsung bervariasi dengan ukuran masing-masing sumber daya, berbanding terbalik dengan perbedaan jaraknya dari titik-titik asal para konsumen. Sebuah model gravity jenis ini dapat digunakan untuk menjelaskan kenyataan bahwa pusat pertokoan yang lebih luas menarik langganan lebih banyak dibandingkan dengan pusat pertokoan yang kecil, dan memperlihatkan bagaimana kekuatan tersebut digambarkan untuk masing-masing pusat pertokoan dikurangi dengan faktor kenaikan jarak.


5.3. Model Banneal Ide

Model inimerupakansebuah model yang berbeda, yang pernah dikenalkan oleh Banneal dan Ide. Model tersebut bertolak dari anggapan bahwa seorang konsumen akan berbelanja pada suatu sumber lokasi apabila dia mempunyai fungsi permintaan sebagai berikut:

F (N,D) = w p (N) – v {(Cd…D+Cn √(N) + Ct)}

adalah positif.

F (N,D) mengukur net benefit (manfaat netto) konsumsi yang diperkirakan dari kepergian ke suatu pusat penjualan pada sebuah sumber tertentu. Keragamannya dengan suatu jarak tertentu dari pusat perbelanjaan dan N adalah jumlah item yang dijual pada pasar perbelanjaan tersebut.

Pembangunan industri kota hanya bagian dari pembangunan ekonomi wilayah. Model ini untuk memperbaiki atau mengembangkan sumberdaya yang dimiliki oleh suatu wilayah. Pembangunan seperti itu melibatkan banyak bidang keahlian (multi disiplin), seperti: sarjana teknik (Engineer),  Sarjana Pertanian (Agronomist), Sarjana Ekonomi (Economist), dan sarjana-sarjana administrasi, sehingga memerlukan koordinasi terhadap berbagai aspek pembangunan yang ada di dalam satu proyek. Walter Isard menyumbang banyak ke dalam literatur ekonomi lokasi dan analisis spasial.


5.4. Perkiraan Dampak Transportasi Pada Penggunaan Lahan 

5.5. Beberapa Observasi Pada Model-Model Struktur Tata Ruang Kota

Terlepas dari cara perlakuan hipotesis minimalisasi biaya bagian-bagian tata ruang seperti yang telah didiskusikan di atas, dan analisis detil model-model tersebut (diantaranya untuk lokasi pemukiman, perusahaan perdagangan, dan hubungan tata ruang antara para konsumen dan lokasi-lokasi berbelanja), dihindarkan ruang lebih banyak dari yang terstruktur di dalam teori tersebut dan uraian model-model spasial yang disebarkan di dalam sebuah kota.

Kebanyakan ahli analisis, khususnya analisis pendekatan sosiologi, kemudian analisis pendekatan ekonomi, dikonsentrasikan pada teori nilai-nilai tanah permukiman. Hawley, sebagai contoh, memberikan alasan bahwa perumahan disebarkan berdasarkan kepada (1) nilai lahan, (2) lokasi kegiatan, dan (3) biaya dan waktu yang dikeluarkan untuk transportasi ke pusat kegiatan. Ketiga-tiga faktor tersebut dikombinasikan di dalam suatu ukuran tunggal, yaitu nilai sewa tempat tinggal (rumah).


5.6. Model Operasional

Potensi operasional model ini bertolak dari kenyataan bahwa biasanya sasaran produksi tergantung pada perputaran dari keseluruhan hasil produksi, pada jumlah keseluruhan nilai lahan, yang kemudian dicoba menganalisis kondisi keseimbangan statisnya itu.Wendt membuat suatu perbedaan yang kritis antara faktor-faktor yang mempengaruhi keseluruhan nilai lahan di suatu lokasi tertentu. Dalam hal ini komponen revenue dan biaya merupakan fungsi jenis kegiatan produksi di atasnya, akan sangat tergantung perpindahan dari pemakai yang satu ke pemakai yang lain, para pemakai di lingkungan industri pelayanan (jasa) akan mendasarkan komponen penerimaannya pada volume penjualan yang diharapkan pada lokasi alternatif tersebut dan biaya operasi perdagangan pada lokasi tersebut, para pemakai di sektor industri akan membandingkan penjualan produksi potensial terhadap biaya produksi, untuk rumah tangga akan dilihat perbandingan antara nilai uang dari kemanfaatan lokasi-lokasi alternatif lain dan biaya yang diukur/ditentukan oleh biaya-biaya pulang dan pergi ke kota, pajak-pajak, biaya-biaya membangun, dan sebagainya.


5.7. Keseimbangan Lokal Sebuah Perushaan Yang Beroperasi Di Kota N 

Model yang diperkenalkan tergantung pada penyederhanaan tertentu.Kota diasumsikan dipusatkan secara tepat, dan pusat yang lebih dipilih adalah yang memiliki akses kepada konsumen terbesar.Masalah-masalah interdependensi lokal akibat pilihan pada harga produk perusahaan mengabaikan, dianggap sudah tertentu (Given). Jadi, volume penjualan dan revenue dari penjualan lokal akan meningkat jika perusahaan dilokasikan lebih dekat ke pusat kota (Core). Diasumsikan lebih lanjut bahwa perubahan-perubahan diperlihatkan sesuai dengan struktur yang given berdasarkan keragaman dari harga-harga lahan yang merupakan kebalikan dengan arah dari pusat kota, dilukiskan oleh fungsi Pd, dimana Pd adalah harga lahan pada lokasi given, d adalah jarak dari pusat kota. 


5.8. Pemanfaatan Lahan

Setiap kegiatan manusia memerlukan ruang dan ruangan tersebut berada di atas lahan. Lahan sebagaimana halnya faktor-faktor produksi lain (tenaga kerja, modal dan skill) memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam pemanfaatannya. Balas jasa terhadap lahan adalah sewa (Rent). Lahan merupakan sumber dasar makanan (lahan pertanian), lokasi di mana berdirinya gedung-gedung, dan area konsesi pertambangan dan sebagainya. Pemanfaatan lahan sama dengan pemanfaatan lingkungan hidup manusia, yang memerlukan pertimbangan bagi perkembangan mutu kehidupan yang lebih baik.


BAB VI

KERANGKA WILAYAH

6.1. Wilayah Sebagai Sebuah Konsep

Apa yang dijadikan dasar hukum suatu wilayah dan bagaimana ekonomi nasional dipecah ke dalam suatu sitem ekonomi wilayah perlu diperjelas, sebagai prasyarat penting bagi analisis ekonomi wilayah. Dalam hal ini terdapat kesulitan, karena adanya dua konsepsi wilayah: Pertama: Wilayah berdasarkan administrasi pemerintahan. Data bagi penelitian empiris tidak begitu sulit, karena tersedia pada kantor-kantor pemerintah daerah dan lembaga-lembaga daerah.Kedua: Wilayah yang tidak didasarkan kepada batas-batas administrasi pemerintah Daerah, tetapi didasarkan kepada pengaruh-pengaruh lokasi dan keseimbangan-keseimbangan harga spasial.


6.1.1 Wilayah Homogen

Wilayah ini merupakan satu kesatuan tata ruang yang dibentuk oleh wilayah-wilayah yangmemiliki sifat-sifat (charateristics) sama atau mirip. Misalnya: struktur produksinya sama, struktur pekerjaan penduduk sama, faktor geografis, sumber daya alam yang menonjol, dan mungkin pula meliputi sifat-sifat (characteristic) yang non ekonomis seperti: kesamaan perilaku sosial,latar belakang sejarah dan budaya, pandangan politik, dan sebagainya.

Di dalam kenyataannya perbedaan-perbedaan di dalam suatu wilayah tetap ada.Ini merupakan gejala ekonomi yang umum, misalnya perbedaan karakteristik antara wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan.Oleh karena itu pula di dalam sebuah wilayah terdapat perbedaan tingkat pendapatan dan selera penduduk di antara sub-subwilayah tersebut.Kepadatan penduduk sering tidak merata.Oleh karena itu pula konsep wilayah homogen banyak ditinggalkan oleh ahli-ahli ekonomi regional. Terkecuali untuk wilayah-wilayah yang sangat luas dan pusat-pusat pertumbuhan kota selalu diintrodusir sebagai homogen.


6.1.2 Wilayah Modal (Wilayah Polarisasi)

Perbedaan kategori wilayah ini adalah pada adanya saling ketergantungan di antara bagian-bagian wilayah yang berbeda.Hubungan di antara kesatuan-kesatuan wilayah di dalam batas (lingkupan) ruang berfungsi saling keterkaitan, dan tidak dimasukkan faktor jarak, sebagaimana halnya di dalam model grafiti potensial (Graffiti Potential Model).

Ahli-ahli geografi berpendapat bahwa wilayah nodal ini merupakan wilayah yang real, sedangkan wilayah Homogen bersifat subjektif.Fungsi saling terkait terlihat pada gejala arus penduduk, arus barang dan jasa, arus komunikasi, dan rute alat transportasi.Arus tersebut biasanya tidak merata, terpola, dimana pada pusat-pusat kegiatan (kota-kota besar) arus tersebut lebih padat. 


6.1.3 Wilayah Perencanaan (Planning Region)

Wilayah perencanaan dibuat atas dasar: kedekatan, saling terkait secara logis, dan merupakan kesatuan pengambilan keputusan ekonomi. Planning Region disebut juga Programming Region.Melalui perencanaan, pemerintah mencoba mengatur aktifitas dalam rangka meningkatkan manfaat bagi rakyat banyak.Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan, dan salah satu kebijakan itu adalah kebijakan perwilayahan.Rencana-rencana atau program-program pemerintah tersebut diimplementasikan.Melalui perencanaan-perencanaan yang cukup fleksibel pemerintah membuat pengaturan-pengaturan tersebut berbeda-beda. Untuk suatu wilayah perencanaan perlu diketahui ruang lingkup (batas-batas) pengaruhnya, sebagai batas-batas pengaruh ekonominya.Dengan demikian ekonomi wilayah tersebut dapat didorong dengan suatu perencanaan yang didasarkan kepada batas-batasnya secara alamiah dan pengetahuan tentang sifat-sifat wilayah tersebut. Kalau perencanaan tidak memperhatikan fungsi-fungsi keterkaitan dari wilayah seperti itu maka besar kemungkinan keputusan-keputusan pemerintah yang dibuat untuk mendorong pembangunan wilayah tidak akan efektif.


6.2. Akuntansi Wilayah (Regional Account)

Uraian tentang akuntansi wilayah ini dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu:

  1. Pendahuluan
  2. Pehitungan Pendapatan dan Produksi Wilayah
  3. Perhitungan Input-Output Wilayah 


6.2.1. Pendahuluan

Fungsi perhitungan pada tingkat wilayah sama saja dengan fungsi perhitungan pada tingkat nasional, yang bertujuan untuk dapat melakukan analisis ekonomi pada tingkat wilayah, yaitu analisis ekonomi yang bersifat makro. Secara umum terdapat perbedaan antara analisis yang dilakukan untuk tujuan jangka pendek dan jangka pannjang.Banyak analisis yang lebih mengutamakan untuk menjawab masalah-masalah fluktuasi ekonomi jangka pendek, yaitu bagaimana dapat menjaga stabilisasi ekonomi jangka pendek dari gelombang fluktusi siklus bisnis.

Kerangka akuntansi wilayah diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah yang kompleks.Sifat dan fungsi-fungsi akuntansi wilayah tidak melihat kepada lebih kompleks atau sederhananya di dalam struktur perhitungan tersebut. Variabel-variabel yang digunakan sama, walaupun ada juga perbedaan-perbedaan antara keterkaitan secara akuntansi dengan keterkaitan secara teoritis. Masalah-masalah wilayah biasanya dibedakan dengan masalah-masalah yang ditonjolkan pada tingkat nasional, masalah-masalah wilayah tidak merupakan suatu kebutuhan lebih lanjut untuk kelengkapan perhitungan pendapatan/produksi nasional, sebagai kerangka dasar informasi.


yang dilakukan oleh organisasi vertical pemerintah pusat, yang bila disatukan dengan transaksi wilayah dapat mempengaruhi neraca antarwilayah, menghilangkan signifikansi wilayah.Kegiatan-kegiatan produksi pemerintah daerah dan berbagai bentuk produksi lainnya disatukan ke dalam kelompok perhitungan produksi, pendapatan dan modal wilayah. 6.2.2 Perhitungan Produk dan Pendapatan Regional

Sebagai contoh diperkenalkan perhitungan Richard Stone, Departemen Ilmu Ekonomi Terapan Universitas Cambridge. Model ini mengelompokkan kegiatan ekonomi wilayah (Daerah) ke dalam tiga kelompok utama, yaitu: (1) Produksi, (2) Konsumsi, dan (3) Investasi.

Di dalam suatu sistem perekonomian terbuka, pengelompokan seperti ini juga diperlukan untuk menampung transaksi sisa perdagangan luar negeri.Sisa ekspor-impor ini di satu kelompokkan dengan transaksi antar wilayah.Akuntansi wilayah tersebut dilengkapi pula dengan kelompok transaksi pemerintah pusat.Transaksi pemerintah pusat dipisahkan dengan transaksi daerah (wilayah) untuk menghindari kesalahan-kesalahan di dalam pencatatan transaksi 

Susunan atau bentuk lengkap dari perhitungan (akuntansi) wilayah disajikan dalam bentuk matrik sebagaimana diperlihatkan dalam tabel 6.1.Baris pertama dan kolom-kolomnya meliputi tiga perhitungan.Impor semuanya dimasukkan ke dalam perhitungan produksi sebuah wilayah, diperlihatkan baris pertama, diimbangi dengan besaran-besaran yang diperlihatkan sebelumnya pada kolom pertama.Perkiraan pendapatan dan pengeluaran wilayah  disajikan di dalam baris dan kolom dua. Baris dan kolom tiga menyajikan perkiraan modal masuk dan modal ke luar wilayah.


BAB VII

ANALISIS PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI WILAYAH

7.1. Pendahuluan

Salah satu sasaran pembangunan ekonomi jangka panjang adalah terjadinya perubahan pada struktur ekonomi wilayah. Seperti diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu sasaran pembangunan, terutama bila dimulai dari kondisi keterbelakangan ke kondisi yang maju, akan disertai oleh proses perubahan pada struktur ekonomi wilayahnya. Tidak semua sektor dalam suatu perekonomian memiliki kemampuan tumbuh yang sama. Oleh karena itu perencana pembangunan ekonomi biasanya akan memanfaatkan sektor-sektor yang dapat tumbuh tinggi (sektor basis, atau sektor kunci, atau sektor unggulan) untuk mendorong pertumbuhan rata-rata yang relatif tinggi. Memang tidak selalu kebijakan yang seperti itu dapat dipilih begitu saja, karena hal itu dapat menghasilkan ketimpangan pendapatan antar sektor, antar kelompok dan antar wilayah, jika komposisi lapangan perkerjaan pada masing-masing sektor tidak  diusahakan relatif proporsional dengan tingkat pertumbuhannya. Para perencana ekonomi biasanya mempertimbangkan pilihan pertumbuhan moderat untuk menghindari ketimpangan yang mencolok.


7.2. Analisis Indeks Konsentrasi

John Glasson mengatakan bahwa kemakmuran satu wilayah berbeda dengan wilayah yang lain. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan pada struktur ekonominya, dan faktor ini merupakan faktor utama.Gambaran dari perbedaan struktur ekonomi tersebut dapat tercermin pada data statistik, perkembangan neraca pembayaran antar wilayah, dan tabel input-output antar wilayah.Perubahan wilayah kepada kondisi yang lebih makmur tergantung kepada usaha-usaha di wilayah tersebut dalam menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa, serta usaha-usaha pembangaunnan yang diperlukan.


7.2.1.Angka PenggandaPemanfaatanTenaga Kerja

Sektor basis akan memperluas kesempatan kerja, baik di sektor basis sendiri maupun di sekktor bukan pasis sebagai pengaruh aktivitasnya. Seberapa besar perluasan kesempatan kerja yang diciptakan dapat dihitung. Dalam kaitan ini dikenal istilah apa yang disebut angka pengganda pemanfaatan tenaga kerja (k).

Contoh, suatu wilayah  memiliki 500.000 orang  penduduk yang bekerja. Penduduk yang bekerja itu sebanyak 250.000 orang bekerja dalam aktivitas ekonomi sektor-sektor basis, dan 250.000 orang yang bekerja pada aktivitas ekonomi sektor-sektor bukan basis (1 : 1). Dengan demikian angka pengganda pemanfaatan tenaga kerja (k) di wilayah tersebut

Dengan memiliki data sektor basis dan prospeknya di masa yang akan datang, serta angka pengganda pemanfaatan tenaga kerja perekonomian di wilayah tersebut dapat diperkirakan jumlah tenaga kerja yang akan terserap di masa yang akan datang. Misalnya, k = 2, tambahan tenaga kerja yang diserap sektor basis diperkirakan 20.000 orang, maka tenaga kerja yang akan diserap sektor bukan basis 20.000 orang juga. Total tenaga kerja yang akan dimanfaatkan perekonomian wilayah naik dari 500.000 orang menjadi 540.000 orang.


7.2.2. Analisis Location Quotient (LQ)

Menurut A.Bendavid (1991) LQ adalah suatu indeks untuk mengukur tingkat spesialisasi (relatif) suatu sektor atau subsektor ekonomi suatu wilayah tertentu. Pengertian relatif di sini diartikan sebagai tingkat perbandingan suatu wilayah dengan wilayah yang lebih luas (wilayah referensinya), dimana wilayah yang diamati  merupakan bagian dari wilayah yang lebih luas tersebut. Misalnya, ukuran konsentrasi satu sektor atau subsektor di suatu provinsi dibandingkan dengan sektor atau subsektor tersebut untuk tingkat nasionalnya.

Menurut Bendavid, konsep LQ juga memiliki beberapa kelemahan, namun telah ditemukan jalan keluar untuk mengatasi kelemahan tersebut. Kelemahannya adalah: (1) jika daerah yang diamati merupakan bahagian yang menonjol, baik dalam hal luas ataupun besarnya nilai tambah sektor, nilai pembaginya (nominator, ) cenderung mendekati nilai pembilangnya (denominatornya, ), sehingga nilai LQ-nya akan cenderung  bias mendekati 1. Jalan keluarnya adalah menukar, atau merubah wilayah referensinya dengan yang lebih luas. 


7.2.3. Analisis Concentration Indeks (CI)

Model analisis ini mirip dengan model LQ. Tetapi model ini mengacu kepada rasio angkatan kerja dengan jumlah penduduk.

dimana P adalah jumlah penduduk. Contoh-1 (Perhitungan CI ukuran tenaga kerja).Jika diketahui sektor i di wilajah j memiliki kesempatan kerja 40.000 orang dengan jumlah penduduh 240.000.Sedangkan sektor i di wilayah referensinya memiliki kesempatan kerja 120.000 orang dengan jumlah penduduknya 1.200.000 orang. Perhitungan CI: perbedaan antara model LQ dengan model CI adalah, jika dijumlahkan LQ semua sektor dan dibagi dengan jumlah sektor maka hasilnya sama dengan 1. Disamping nominator dengan ukuran (terminologi) jumlah penduduk juga dapat digunakan usia kerja, dan sebagainya. Baik model LQ maupun model CI dapat juga diterapkan untuk wilayah kota dengan wilayah referensinya. Hasil-hasil perhitungan dari data berurutan tahun (Time Series) akan memberikan makna yang lebih mendalam tentang kedua indeks tersebut. 


7.2.4. Spesialisasi Indeks (SI)

Analisis indeks ini merupakan salah satu cara untuk mengukur perilaku kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Misalnya, bagaimana tenaga kerja di suatu daerah tersebar ke berbagai sektor ekonomi, yang dibandingkan secara relatif dengan kondisi wilayah referensinya. Indeks ini juga bisa mengngunakan  ukuran (Terminology) nilai tambah produksi, dan lain-lain. Perbedaannya dengan model LQ dan model CI, seperti yang telah dibicarakan terdahulu, yaitu jika indeks LQ dan CI memberikan undeks-indeks sektor untuk suatu wilayah yang bersifat relatif terhadap wilayah referensinya, maka indeks SI merupakan indeks wilayah yang bersifat relatif terhadap wilayah referensinya.


7.2.5. Location Indeks (LI)

Indeks lain yang digunakan sebagai ukuran indeks konsentrasi adalah indeks lokasi (LI). Walaupun demikian, LI tidak terfokus pada suatu daerah, tetapi pada suatu sektor dan persebarannya diantara daerah-daerah yang berbeda di dalam suatu negara.Di dalam indeks ini diperbandingkan distribuasi angkatan kerja suatu sektor daerah-daerah dengan variabel referensinya.Misalnya, total angkatan kerja sektor industri pengolahan dengan variabel referensinya.Keduanya dinyatakan dalam persen.Kemudian, untuk setiap daerah dihitung perbedaan selisihnya.


7.3 Analisis Shift and Share 

Menurut Bendavid, konsep ini memperbaiki konsep LQ dan konsep-konsep konsentrasi sektoral lainnya. Pada konsep ini dimasukkan unsur tingkat pertumbuhan.Tingkat pertumbuhan dihitung secara berurutan tahun (Time Series). Oleh karena itu, analisis Shift and Share ini  besifat dinamis, sehingga dinilai dapat memberikan informasi yang lebih bermanfaat dibandingkan dengan konsep LQ dan indeks konsentrasi lainnya. Namun demikian, masih diperlukan juga kehati-hatian dalam mengintepretasikan hasil-hasil perhitungan yang didapat.Bendavid (1991) mengatakan bahwa perubahan relatif kesempatan kerja wilayah terhadap kesempatan kerja nasional selama satu periode tertentu dapat digambarkan dalam tiga efek.

Yang paling penting dalam analisis ini adalah gambaran tentang potensi pertumbuhan ekonomi  wilayah (daerah) tergantung pada: (1) perpaduan sektoral (The Sectoral Mix), yang meliputi sektor-sektor yang berbeda di dalam suatu wilayah, dan (2) kinerja masing-masing sektor. Di dalam perekonomian suatu wilayah terdapat sektor-sektor yang relatif baik dan relatif buruk. Pengertian relatif di sini dibandingkan di antara sektor satu dengan sektor lain. Pengertian baik atau buruk diartikan dalam terminologi yang ingin dilihat, misalnya dalam menyerap tenaga kerja melebihi porsi persentase wilayah referensi atau sebaliknya. 

Untuk mendefinisikan kinerja sektor-sektor di suatu wilayah dihitung tingkat pertumbuhannya untuk beberapa tahun (yang disebut elemen dinamis). Berbeda dengan di dalam konsep LQ di mana elemen-elemen dinamis akan diperoleh jika  dihitung berdasarkan  seri waktu (dua kali pengamatan atau lebih). Sedangkan pada analisis Shift-Share unsur dinamis tersebut sudah tercermin langsung di dalam modelnya sendiri, dengan menggunakan tingkat pertumbuhan.


BAB VIII

TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL

8.1 Pendahuluan

Perkembangan ekonomi suatu wilayah ada fase-fasenya, atau peringkat-peringkat ekonominya. Teori peringkat ekonomi ini, menurut Dominick Salvatore,dikembangkan oleh Friedrich List, Bruno Hinderbrand, Karl Bucher, dan Walter W.Rostow. 

Menurut Glasson pembangunan wilayah pada dasarnya merupakan proses pengembangan lima strata ekonomi dengan urutannya sebagai berikut: Peringkat pertama, yang disebut strata ekonomi subsistence, dimana keluarga-keluarga berproduksi cukup untuk kehidupan sendiri, investasi dan perdagangan relative kecil. Penduduk pada umumnya bekerja di sektor pertanian dan berorientasi pada lokasi sumberdaya alam. Peringkat kedua, dimana sektor transportasi sudah berkembang, wilayah dapatmengembangkan perdagangan dan spesialisasi produksi. Pada strata ini perekonomianmengembangkan usaha-usaha industri pedesaan bagi petani. 

Bahan baku dan tenagakerja disediakan pedesaan, oleh karena itu strata ini erat hubungannya dengan pengembangan dari strata satu. Peringkat tiga, yaitu dengan berkembangnya peringkat dua (atau meningkatnya perdagangan), diikuti pula oleh meningkatnya permintaan dan produksi sector pertanian. 


8.2 Perpektif Neo Klasik

Teori pertumbuhan ini dikembangkan oleh Solow (1956) dan Swan (1956).Menurut teori ini pertumbuhan ekonomi wilayah memiliki dua unsur penting, yaitu (1)unsur yang berkaitan dengan alokasi dan migrasi faktor-faktor produksi wilayah (yangdidasarkan pada dua kerangka analisis pula, yaitu analisis “satu-sektor” dan analisis“dua-sektor”; (2) unsur yang berkaitan dengan sifat-sifat hubungan antar faktor-faktorproduksi dan perubahan teknologi. Model ini mengasumsikan bahwa perekonomiandalam kondisi persaingan, permintaan terhadap faktor-faktor produksi ditentukan olehproduk marginalnya, yang teralokasikan berdasarkan mekanisme pasar dan digunakanpada produktivitas terbaiknya.


8.2.1 Hubungan Model Satu-Sektor dengan Model Dua-Sektor

Kemiringan PPF menggambarkan Marginal Rate of Transformation di antaradua output, dan diberikan oleh ratio biaya produksi marginal kedua barang padaberbagai kombinasi input. Pada model antar wilayah satu-sektor, pada Gambar 8.2, PPFantar wilayah merupakan sebuah garis lurus. Ini mengimplikasikan bahwa ratio biaya produksi marginal untuk produksi diantara kedua wilayah tetap dan tidak dipengaruhi oleh tingkat output di setiap wilayah.

Ratio biaya marginal di antara kedua wilayah berubah secara konstan dan tergantungpada tingkat output di masing-masing wilayah. Bentuk-bentuk “Contract Curve” danPPF model dua-sektor ini mirip dengan pada model keseimbangan umum perdagangang internasional yang didasarkan pada “Comparative Advantage”. 


8.2.2. Akuntansi Pertumbuhan Wilayah dan Analisis Fungsi Produksi

Kelompok Neo Klasik berpendapat bahwa proses integrasi wilayah berperan penting dalam realokasi faktor-faktor produksi lintas wilayah untuk model satu-sektor.Dengan berlangsungnya proses tersebut dalam jangka panjang, fungsi-fungsi produksidi semua wilayah (seperti: ratio modal/tenaga kerja, tingkat pengembalian modal dantingkat upah wilayah) cenderung menjadi konvergen. Garis perluasan produksinyamenjadi lurus. Pada tingkat alokasi faktor-faktor produksi yang lebih efisien pertumbuhan output akan meningkat. Proses ini dapat menciptakan pertumbuhan tambahan sebagai akibat pengaruh kreasi perdagangan. 


8.2.3. Teknologi dan Pertumbuhan Endogenous Wilayah

Berdasarkan persamaan (5), maka menurut Neo Klasik, pertumbuhan wilayah tergantung pada perubahan persediaan faktor-faktor produksi dan tingkat teknologi wilayah. Dengan asumsi bahwa faktor-faktor produksi bergerak bebas, maka perbedaan tingkat pertumbuhan yang bersumber dari faktor-faktor produksi menjadi tidak sistematis untuk jangka panjang. Dengan demikian perbedaan pertumbuhan yang disebabkan oleh perbedaan persediaan faktor produksi hanya mungkin terjadi untuk jangka pendek dan menengah, sebagai akibat dari suatu proses penyesuaian kepada efisiensi kepada Pareto Optimal dari alokasi faktor-faktor produksi. 


8.3 Pandangan Keynesian Tentang Pertumbuhan Wilayah

Pandangan-pandangan Keynesian untuk pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan pendekatan alternatif. Perekonomian suatu wilayah memiliki keterkaitan kedalam dan ke luar. Permintaan suatu wilayah meliputi permintaan dari dalam dan dari luar wilayah, kedua-duanya akan membentuk arus pendapatan dan multiplier wilayah.Ada kaitan antara arus investasi local dan pendapatan wilayah. Sehubungan dengan pandangan tersebut mazhab Keynesian mengembangkan model multiplier pada tingkat wilayah (local). Sedikit banyaknya ada perbedaan antar pendapatan wilayah (local) dantingkat nasional. Arus pengeluaran pemerintah lokal cenderung mengalir untuk mengimbangi pendapatan wilayah dan aliran tersebut relatif bebas dibandingkan dengan pada tingkat nasional.


8.4 Fungsi Cobb-Douglas dan Akuntansi Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Pendekatan Classic maupun Neo-Classic kcduanya mengembangkan fungsi produksi Cobb-Douglass untuk menjelaskan teori pertumbuhan ekonomi makro. Demikian pula untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi wilayah,.fungsi produksi tersebut digunakan.

Contoh Perhitungan Dengan Menggunakan model Neo-Classic: Samuelson (2001) memaparkan hasil penelitian terhadap kasus pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat selama periode satu abad terakhir, memberikan contoh bagaimana menentukan kontribusi tenaga kcrja, modal, dan faktor produksi lainnya, serta perkembangan teknologi pada pertumbuhan output nasional. Diketahui, untuk pertumbuhan ekonomi AS periode 1900 —1999, ¾ dari pendapatan nasional mengalir ke buruh dan ¼ ke modal. Dengan mengasumsikan fungsi produksi “constant return to scale”. Dengan memasukkan komposisi sumbangan masing-masing faktor produksi ke dalam persamaan.


BAB IX

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN WILAYAH

1. Konsep Wilayah

Ada dua pengertian wilayah yang sering digunakan, yaitu:

1. Wilayah berdasarkan batas-batas administratif pemerintahan Daerah, dan

2. Wilayah yang tidak berdasarkan batas-batas administratif pemerintahan daerah.

Konsep wilayah yang berdasarkan administratif pemerintahan daerah relatif lebih sederhana, dan jika ingin melakukan penelitian misalnya, batas-batas wilayahnya sudah jelas, dan datanya biasanya juga telah tersedia pada berbagai instansi di daerah tersebut, baik instansi pemerintah maupun non-pemerintah. Konsep wilayah yang tidak berdasarkan administrasi pemerintah yaitu wilayah yang didasarkan kepada pengaruh- pengaruh lokasi (kepada pengaruh daya tarik kota-kota tertentu) dan keseimbangan- keseimbangan harga secara spasial.


9.2. Kebijakan Pembangunan Wilayah (Daerah)

Berbagai kebijakan nasional dan daerah perlu dibuat untuk digunakan sebagai dasar pembangunan wilayah (daerah). Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan peralatan (instruments) pembangunan daerah. Peralatan-peralatan pembanguan daerah tersebut berupa UU, Peraturan Pemerintah Pusat, Keputusan Mentri, Peraturan Daerah(Perda), Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, dan sebagainya. Instruments tersebut bertujuan untuk mengatur pembangunan daerah, meliputi ketentuan tentang otonomi (kekuasan) daerah, tentang keuangan daerah, tentang kelembagaan daerah, dan sebagainya. Sebagai contoh, sekarang ini, UU no. 32 tahun 2004 yang mengatur tentang otonomi daerah, UU no. 33 tahun 2004 yang mengatur tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Peraturan Pemerintah tentang Bappeda Provinsi Daerah Tingkat-I, Peraturan Pemerintah tentang BappedaKabupaten/Kota Daerah Tingkat–II, dan sebagainya.


9.2.4 Pekerjaan dan Kebijakan Pelatihan.

Wilayah yang paling inovatif bagi kebijakan ekonomi pembangunan untuk tahun-tahun terakhir ini, yang telah terbukti di lapangan, adalah pekerjaan dan pelatihan. Adanya UU untuk Pekerjaan dan Pelatihan sebagai bagian dari kebijakan lapangangan kerja dijalankan oleh kebijakan pembangunan ekonomi.Semula pekerjaan dan pelatihan yang didisain untuk memperbaiki kecakapan para pekerja di pusat-pusat pengangguran yang penting, atau memperbaiki kemampuan untuk mengisi lapangan-lapangan kerja tertentu atau segment-segment penduduk untuk memasuki pasar kerja. Permasalahannya sekarang dan untuk masa yang akan datang yang dapat diramalkan adalah: tidak mencukupinya lapangan pekerjaan, atau tidak mencukupinya lapangan pekerjaan yang baik.


9.2.5 Kebijakan Perdagangan

Apakah kondisi neraca pembayaran luar negeri surplus, defisit, atau seimbang.Ini merupakan salah satu indikator perekonomian yang penting bagi sebuah negara.Begitu pula pada tingkat daerah, neraca pembayaran antar daerah/luar negeri merupakan salah satu indikator penting. Neraca pembayaran tersebut memberi gambaran tentang aktivitas ekspor impor, baik pada neraca perdagangan barang, jasa, modal, dan cadangan devisa. Bedanya pada neraca pembayaran antar daerah tidak ada biaya sector moneter, karena hanya ada satu mata uang negara yang berlaku di semua daerah, yaitu mata uang nasional. Jika sebuah negara, atau daerah melakukan ekspor berarti negara/daerah itu memiliki sektor ekonomi basis di sektor tersebut.


9.2.6 Kebijakan Pembangunan Regional/Lokal

Kebijakan-kebijakan untuk wilayah tertinggal telah menjadi tonggak sejarah bagi New Deal (konsep pembangunan sosial ekonomi dari Presiden Roosevelt).Pembangunan Otorita Waduk Tennessee, listrik pedesaan, perluasan toko-toko koperasi, program-program besar yang ditujukan untuk wilayah pedesaan tertinggal, telah menjadi bagian dari pola kehidupan di Amerika Serikat. Pada tahun 1960-an, PresidenKennedy dan Presiden Johnson mengembangkan ide-ide cemerlang dengan menstimulir pembangunan-pembangunan dalam kota, wilayah-wilayah di sekitar kota, Central Business Districts (CBD), dan wilayah-wilayah pedesaan. Program-program yang pernah dikembangkan sebelumnya tersebut dikembangkan kembali.


9.2.7 Kebijakan Nasional dan Pembangunan Ekonomi Regional

Sebagaimana tujuan perbincangan ini semula, kebijakan-kebijakan nasional untuk mendapatkan lapangan pekerjaan riil dengan konsekwensinya harus mendasari perbaikan kemampuan perusahaan-perusahaan untuk mampu bersaing, seperti peningkatan kapasitas masyarakat lokal untuk mengembangkan kesempatan kerja. Pemerintah nasional dapat memperlihatkan kebijakan-kebijakannya, mempertinggi kapasitas wilayah dan lokalitas untuk mengejar strategi pembangunan untuk memperkuat perolehan daya saing sendiri seirama dengan perkembangan ekonomi pada tingkat nasional.

 

9.2.8 Tantangan-tantangan Baru dan Kesempatan Lokal

Jika pemerintahan dan komunitas local mendasari pengorganisasian yang dihubungkan kepada institusi-institusi dengan mengangkat tantangan-tantangan yang dikaitkan kepada transformasi industri nasional yang didiskusikan di sini, mereka akan mengalami peningkatan yang dapat digambarkan ke dalam perdebatan sebagai jalan atau jalan-jalan keluar mengatasi ekonomi dari ekonomi lokal selanjutnya. Untuk mempertemukan tantangan ini, pemimpin-pemimpin negara perlu menguji pilihan- pilihan yang ada dalam bentuk sebuah gambaran nyata. Dia dapat memberikan kejelasan di mana industri, pertanian, dan sumberdaya lokal penyebab dislokasi ekonomi untuk komunitas setempat. Bagaimana pun, dia tidak jelas, pemimpin local memiliki kapasitas untuk merumuskan rencana-rencana memecahkan permasalahan-permasalahan ekonomi lokal secara jelas. Umumnya, penampilan-penampilankomunitas-komunitas berbeda-beda, tergantung pada keadaannya masing-masing.

 

9.2.9 Jenis-jenis Kumunitas dan Kesesempatan2 Pembangunan Ekonomi Lokal.

Komunitas dari berbagai ukuran menjadi sebuah ketentuan penting untuk dimainkan di dalam membantu negara dan Departemen Pekerjaan Umum. Pemerintah Pusat membantu membentuk, memperluas perusahaan-perusahaan baru untuk bersaing di pasar domestik dan internasional. Ada tiga jenis dasar komunitas yang merespon perubahan kondisi ekonomi.


BAB X

ANALISIS KEBIJAKAN EKONOMI PERKOTAAN DAN REGIONAL

10.1 Pendahuluan

Kebijakan ekonomi perkotaan (Urban Economy Policy) dan Wilayah (RegionalEconomy Policy) merupakan bentuk lain dari kebijakan ekonomi publik, yang mencakup pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat geografis. Motivasi dan implementasi kebijakan ini memiliki ciri-ciri dan sifat-sifat yang spesifik tata-ruang (Spacial). Tujuan kebijakan ini adalah mencari bentuk campurtangan pemerintah untuk mempengaruhi perkembangan kondisi ekonomi daerah (Local Economy). Persepsi ekonomi lokal akan ditentukan oleh sifat-sifat kebijakan, implementasi, dan evaluasinya. Definisi dan ruang lingkup ekonomi local dapat diperluas lebih dari ukuran sebuah ekonomi wilayah suburban secara individual sampai ekonomi sebuah wilayah perkotaan yang sangat besar (Metropolitan).


10.2 Kebijakan Perkotaan

Kebijakan ekonomi yang diimplentasikan pada tingkat perkotaan (Urban Level),pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan daya tarik wilayah perkotaan atau subwilayahnya (Suburban Level) sebagai lokasi investasi. Bagaimanapun, untuk berhasilnya sebuah kebijakan memerlukan target-target tertentu, memerlukan inisiatif-inisiatif untuk mendapatkan sektor-sektor atau jenis-jenis investasi tertentu yang dapat mempengaruhi ekonomi dan lingkungannya pada sekala perkotaan atau subperkotaan yang beraneka ragam sifatnya. Sektor-sektor yang umum dipandang paling peka terhadap wilayah-wilayah spasial sekala kecil (wilayah perkotaan atau subwilayahperkotaan) adalah sektor pengembangan komplek perumahan (Real Estate) dan pertanahan (Property). Oleh karena itu, kebijakan ekonomi perkotaan cenderung memfokuskan diri pada pengembangan komplek perumahan dan pengembangan lahan lokasi, dan lain-lain sektor ekonomi perkotaan lokal.


10.2 Kebijakan Perkotaan

Kebijakan ekonomi yang diimplentasikan pada tingkat perkotaan (Urban Level), pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan daya tarik wilayah perkotaan atau subwilayahnya (Suburban Level) sebagai lokasi investasi. Bagaimanapun, untuk berhasilnya sebuah kebijakan memerlukan target-target tertentu, memerlukan inisiatif- inisiatif untuk mendapatkan sektor-sektor atau jenis-jenis investasi tertentu yang dapat mempengaruhi ekonomi dan lingkungannya pada sekala perkotaan atau subperkotaan yang beraneka ragam sifatnya. Sektor-sektor yang umum dipandang paling peka terhadap wilayah-wilayah spasial sekala kecil (wilayah perkotaan atau subwilayah perkotaan) adalah sektor pengembangan komplek perumahan (Real Estate) dan pertanahan (Property).


10.2.1 Kebijakan-kebijakan Zoning Perkotaan

Salah satu kebijakan yang lazim digunakan para perencana tata-guna lahan kota dan tata ruang regional pada umumnya negara adalah aktivitas zonasi (Zoning Activity) secara geografis. Pada jenis kebijakan ini, jenis kegiatan yang berbeda hanya diaturmelalui perizinan dalam memilih lokasi yang telah ditentukan oleh sebuah kota sesuai dengan rencananya. Dengan kata lain, sistem perencanaan tata – guna lahan kotadidukung oleh sistem hukumnya, dan lembaga tersebut akan menentukan dalam penataan jenis investasi dan kegiatan pembangunan tertentu yang memungkinkan dipilih di dalam sebuah kota. Biasanya, jenis investasi dan aktivitas tersebut sekaligus ditentukan bersama ukuran luas zona dalam ruang dua demensi (peta tata guna lahan) sebuah kota, ini juga sekaligus memberi gambaran tentang jumlah penawaran lahan lokasi terhadap suatu jenis kegiatan. Kadang-kadang sistem zoning ini juga bisa tidak berhasil, karena bekerjanya sistem zoning tersebut mendapat pengawasan (Control) dariharga lahan. Harga lahan sendiri ditentukan oleh interaksi permintaan pada harga pasar lahan lokasi tertentu. Sedangkan jumlah penawaran lahan telah ditentukan oleh system zoning sendiri untuk masing-masing jenis investasi dan aktivitas.


10.2.2 Kebijakan Regenerasi Kota

Kebijakan-kebijakan perencanaan tata-guna lahan untuk masa depan diberikan oleh gambaran perubahan-perubahan lingkungan dan kelembagaan yang mempengaruhi bekerjanya pasar lahan kota. Pada umumnya, kebijakan-kebijakan yang seperti itu diimplementasikan dalam kondisi dimana otoritas-otoritas Pemerintah percaya bahwa mekanisme pasar itu akan mengarah pada hasil-hasil yang secara sosial tidak efisien karena adanya pengaruh ekternalitas. Bagaimanapun, di sana juga ada situasi-situasi dimana dengan implementasi kebijakan tertentu yang menghasilkan pengaruh yang tidak dapat mendukung peningkatan kesejahteraan. Sebagai contoh, kasus skema-skema regenerasi kota, sebagai inisiatif yang akhir-akhir ini sedang populer di AmerikaUtara, seperti di kota-kota Philadelvia dan Boston, dan juga di Eropa seperti London,Manchaster, dan Rotterdam. Skema tersebut di disain secara spesifik untuk mendorong pembangunan area-area kota yang sedang mengalami kemunduran, untuk mencegah migrasi ke luar (Outmigration) dan pemukiman kembali penduduk dari area-area pusat kota.


10.2.3 Pengelompokan (Centrification) 

Diskusi tentang skema-skema pembangunan kembali kota di sini adalahmencoba dengan sebuah contoh ilustrasi membagi-bagi seluruh efek-efek kesejahteraan yang kompleks yang ada di dalam setiap gagasan kebijakan perkotaan. Di dalam kasus yang istimewa ini, kelompok yang berpenghasilan tinggi akan terdorong bergerak ke belakang, ke area-area di pinggiran kota melalui usaha perbaikan lingkungan fisik.Kelompok yang berpendapatan tinggi ini, dalam proses tersebut bergerak ke belakang dari area pusat kota, yang dikenal di dalam istilah pengelompokan (Gratification). Didalam beberapa kasus proses pengelompokan ini berlangsung secara alamiah. Biasanya, bagian-bagian kota yang sudah tua, seperti: London, New York, dan Paris yang memiliki pertumbuhan kesempatan kerja yang menyenangkan, setelah ada efek aglomerasi, setelah berkembangnya sektor-sektor tertentu seperti sektor keuangan, terbukti secara signifikan terjadinya pengelompokan-pengelompokan. 


10.2.4 Jalur Hijau (Greenbelts)

Di beberapa negara yang kepadatan penduduknya secara spasial relatif tinggi, seperti Negeri Belanda, Korea Selatan, dan Inggeris, tata-guna dan alokasi lahan pada kedua tingkat (nasional dan local), terutama yang diorganisasi di dalam suatu sistim jalur hijau. Jalur hijau adalah sebuah zona lahan di sekitar wilayah kota yang tidak akan diizinkan untuk dibangun di dalam skema pembangunan kota, dalam keadaan bagaimana pun. Dengan kata lain, jalur hijau adalah berbentuk sebuah cincin konsentrasi di sekitar kota, yang diberikan batasan yang jelas di sekitar pinggiran area kota. Dasar pemikiran jalur hijau adalah untuk membatasi perluasan area kota ke luar,agar dapat terpertahankan dan terlindunginya lahan pedesaan.


10.3 Kebijakan Regional

Kebijakan-kebijakan ekonomi yang diimplementasikan pada tingkat regional seringdicoba, termasuk yang bertujuan untuk meningkatkan daya tarik wilayah-wilayah tertentu sebagai lokasi investasi. Didalam kenyataannya kebijakan-kebijakan regional sering digunakan untuk meningkatkan daya tarik relatif wilayah-wilayah yang kurang terbangun. Dalam pengertian ini, kebijakan-kebijakan regional hampir sama dengan kebijakan peremajaan (Regeneration) perkotaan yang telah didiskusikan di atas. Bagaimanapun, kunci perbedaan diantara kebijakan regional dan kebijakan perkotaan terletak pada target untuk mengembalikan sektor-sektor industri, yang pada kebijakan regional cenderung sangat berbeda dibandingkan dengan kebijakan pada sekala kota.


11.3.1 Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Belanja Pimpinan dan Anggota DPRD diatur dalam Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat. Pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD dapat menerbitkan obligasi daerah untuk membiayai investasi yang menghasilkan penerimaan daerah. 


11.3.2 Pinjaman Daerah

Ketentuan mengenai pinjaman daerah dan obligasi daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah sekurang-kurangnya mengatur tentang:

persyaratan bagi pemerintah daerah dalam melakukan pinjaman.

penganggaran kewajiban pinjaman daerah yang jatuh tempo dalam APBD.


10.3.2 Efek-efek Kesejahteraan dari Kebijakan Regional

Dimana kebijakan regional didasarkan pada ketentuan investasi-investasi transportasi lokal, kita dapat bertolak dari sebuah perspektif sosial, apakah sebuah skema pembangunan jalan dapat dipilih di perekonomian yang relatif peripheral (wilayah pedesaan di sekitar kota). Misalnya, sebuah kasus dimana ada sebuah wilayah pedesaan kecil di sekitar sebuah kota yang memiliki kepadatan penduduk dan terpencar-pencar. Di wilayah tersebut dibangun infrastruktur jalan bebas hambatan baru, yangsecara signifikan akan mengurangi waktu perjalanan di antara wilayah pedesaantersebut dengan kotanya. Berkurangnya waktu perjalanan tersebut akan menekan biaya transpor, dan dalam hubungannya dengan transportasi bisnis akan menyebabkan menurunnya biaya marginal (MC) semua output yang diproduksi dan dikonsumsi di wilayah tersebut.


10.3.3 Efek-efek Ekonomi Makro dari Kebijakan Regional.

Sebagaimana halnya kita mendasarkan kebijakan regional masing-masing kepada perpektif ekonomi mikro agregat dan kesejahteraan sosial, kita dapat juga mendasarkannya secara rasional kebijakan regional tersebut kepada perpektif ekonomi makro. Pada diskusi-diskusi sebelumnya telah meyakinkan kita bahwa pada tingkat bunga umum mungkin tingkat investasi regional tidak cukup untuk mengatasi semua pengangguran pada tingkat lokal. Untuk sebuah model analisis ekonomi makro yang tidak begitu terbuka, tingkat bunga di dalam bagian-bagian wilayah ditentukan oleh tekanan-tekanan permintaan di wilayah-wilayah yang netral. Di wilayah-wilayah yang berkesempatan kerja penuh, upah-upah dan sewa-sewa lahan nominal lokalnya tinggi.


BAB XI

KEBIJAKAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH DI INDONESIA

11.1. Pendahuluan

Masalah keuangan daerah merupakan bagian yang penting dalam masalah Pembangunan Daerah. Di masa Orde Baru (Masa Repelita) masalah otonomi dan keuangan daerah diatur dengan UU Otonomi Daerah, yaitu UU No. 5 tahun 1974. UU ini mempunyai masa berlakunya yang relatif cukup lama, yaitu sekitar 26 tahun. Setelah memasuki periode Reformasi, dimana semangat desentralisisi dan dekonsentrasi mewarnai kehidupan politik di Indonesia, UU tersebut diganti dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang keuangan daerah, yang diberlakukan sejak tahun 2001. Kedua UU yang mengatur otonomi dan keuangan daerah ini tidak bertahan lama, karena tahun 2004 kedua UU ini diganti lagi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Keuangan Daerah. UU no. 5 tahun 1974 membedakan pengeluaran atas Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Pembangunan, sedangakan pada UU NO. 32 tahun 2004 tidak dibedakan. Dari sisi penerimaan juga ada perbedaan diantara kedua UU tersebut, yaitu pada nama sebagian pos penerimaan. Jumlah pos penerimaan daerah juga menjadi lebih banyak, demikian pula dalam kewenangan pemungutan, dan dalam nilai penerimaan.


11.2. Keuangan Daerah

Perencanaan daerah akan mengikuti kebijakan perencanaan pusat. Demikian pula halnya keuangan daerah, akan mengikuti kebijakan keuangan pemerintah pusat.Kebijakan tersebut diwujudkan dalam bentuk alat-alat (instruments) kebijakan, yang berbentuk UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan sebagainya. UU tentang keuangan daerah (UU no. 33 tahun 2004) mengikuti UU tentang Otonomi Daerah (UU no. 32 tahun 2004) yang berlaku sekarang ini. Undang-undang tersebut masih memisahkan antara administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dari administrasi pendanaan yang menjadi urusan pemerintah pusat di daerah.


11.2.1 Pendapatan Daerah

Sumber-sumber pendapatan daerah terdiri atas:

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi:

  • Hasil pajak daerah;
  • Hasil retribusi daerahhasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
  • Lain-lain PAD yang sah.

2. dana perimbangan; dan

3. lain-lain pendapatan daerah yang sah.


11.2.2 DAU dan DAK

DAU dialokasikan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu yang menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang formula dan penghitungannya ditetapkan sesuai dengan UU. DAK dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu dalam rangka pendanaan pelaksanaan desentralisasi untuk: (a) mendanai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah atas dasar prioritas nasional, (b) mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Penyusunan kegiatan khusus yang ditentukan oleh Pemerintah dikoordinasikan oleh Gubernur. Penyusunan kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu dilakukan setelah dikoordinasikan oleh daerah yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut DAK diatur dengan Peraturan Pemerintah.


11.2.3 Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah

Merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan Pemerintah. Hibah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari Pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri. Pendapatan dana darurat merupakan bantuan Pemerintah dari APBN kepada pemerintah daerah untuk mendanai keperluan mendesak yang diakibatkan peristiwa tertentu yang tidak dapat ditanggulangi APBD. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai peristiwa tertentu ditetapkan dengan peraturan Presiden. Besarnya alokasi dana darurat ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan Mendagri dan Menteri Teknis terkait. 


11.3 Belanja Daerah

Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah, yaitu: melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan keamanan nasional, serta keutuhan NKRI;

  • Meningkatkan kehidupan demokrasi;
  • Mengembangkan kualitas kehidupan masyarakat;
  • Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
  • Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;


11.3.1 Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Belanja Pimpinan dan Anggota DPRD diatur dalam Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat. 


11.3.2 Pinjaman Daerah

Ketentuan mengenai pinjaman daerah dan obligasi daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah


11.4 Surplus dan Defisit APBD

Dalam hal APBD diperkirakan surplus, penggunaannya ditetapkan dalam Perda tentang APBD. Surplus tersebut dapat digunakan untuk:

  • Pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo;
  • Penyertaan modal (investasi daerah)
  • Transfer ke rekening dana cadangan.

Dalam hal APBD diperkirakan defisit, dapat didanai dari sumber pembiayaan daerah 


11.5 Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi

Pemda dalam meningkatkan perekonomian daerah dapat memberikan insentif/atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor yang diatur dalam Perda dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.


11.6 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Pemda dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan pemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.


11.7 Pengelolaan Barang Daerah

Barang milik daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan umum tidak dapat dijual, diserahkan haknya kepada pihak lain, dijadikan tanggungan, atau digadaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Barang milik daerah dapat dihapus dari daftar inventaris untuk dijual, dihibahkan, dan/atau dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan pengadaan barang dilaksanakan sesuai dengan kemampuan keuangan dan kebutuhan daerah berdasarkan prinsip efisiensi, efektivitas, dan transfaransi dengan mengutamakan produk dalam negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan penghapusan dilakukan berdasarkan kebutuhan daerah, mutu barang, usia pakai, dan nilai ekonomis yang dilakukan secara transfaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


11.8 APBD Dasar Pengelolaan Keuangan Daerah

APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah selama satu tahun anggaran, dihitung mulai 1 Januari s/d 31 Desember. Kepala daerah dalam menyusun rencana APBD menetapkan prioritas dan plafon anggaran sebagai dasar penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah. 

Berdasarkan prioritas dan plafon anggaran, kepala satuan kerja perangkat daerah menyusun rencana kerja dan satuan kerja perangkat daerah dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah disampaikan kepada penjabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan Perda tentang APBD tahun berikutnya.


11.8.1 Perubahan APBD

Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi: Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD; Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja; dan sebagainya.


11.8.2 Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD

Kepala daerah menyampaikan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan keuangan tersebut sekurang-kurangnya meliputi laporan realisasi APBD, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan badan usaha milik daerah. Laporan keuangan tersebut disusun dan disajikan sesuai dengan akuntansi pemerintahan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


11.8.3 Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah

Tentang APBD, Perubahan APBD dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD. Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujuai bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat tiga hari disampaikan kepada Mendagri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi disampaikan oleh Mendagri kepada Gubernur paling lambat 15 hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. Apabila Mendagri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.


11.9 Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah

Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas daerah yang dikelola oleh Bendahara Umum Daerah. Untuk setiap pengeluaran atas beban APBD, diterbitkan surat keputusan obligasi oleh kepala daerah atau surat keputusan lain yang berlaku sebagai surat keputusan otorisasi. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja daerah jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam APBD, Kepala daerah, wakil kepala daerah, pimpinan DPRD, dan pejabat daerah lainnya, dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD.


11.10. Tidak Seluruh Pembiayaan Infrastruktur dan Pelayanan Harus Dibiayai Pemerintah Daerah

Sebenarnya tidak semua biaya pengembangan infrastruktur dan pelayanan harus dibiayai oleh pemerintah/pemerintah daerah sendiri. Jika harus oleh pemerintah daerah sendiri tentu akan besar sekali pajak yang harus dibebankan kepada masyarakat, atau DAU, DAK dan lain-lain sumber penerimaan yang bersumber dari Pemerintah Pusat.

Sebagian dari biaya infrastruktur dan pelayanan dapat dibebankan kepada konsumen sendiri dengan cara memasukkan biaya tersebut ke dalam komoditi yang dibeli oleh masyarakat melalui sistem hipotik. Sebagai contoh, jika orang membeli rumah maka infrastruktur dan pelayanan yang diperlukan oleh calon penghuni perumahan sudah termasuk kedalam harga rumah. Kebijakan dalam pengembangan lahan dan pembangunan kompleks-kompleks perumahan harus diatur dan diberlakukan secara pasti. 


11.11 Sumber Pembiayaan Sektor Swasta

Bersamaan dengan perencanaan pembangunan wilayah sudah harus dipikirkan kemungkinan dari mana sumber-sumber pembiayaan pembanguan (investasi) itu diperoleh. Pembiayaan pembangunan yang bersumber dari pemerintah biasanya relative kecil (sekitar 20%), yang ditujukan untuk membangun infrastruktur dan pelayanan publik. Pada awal-awalnya mungkin relatif besar untuk membangun infrastruktur dan pelayanan yang mungkin harus bersekala besar, untuk memancing partisipasi sector swasta dan peranserta masyarakat. Pembiayaan pembangunan yang bersumber dari sektor swasta merupakan komponen yang relatif besar dari total pembiayaan pembangunan yang diperlukan, kurang lebih 80%. Mengalirnya investasi sektor swasta ke suatu daerah/wilayah, disamping harus didukung oleh perencanaan pembangunandaerah yang jelas, yang merupakan bagian dari perencanaan pembangunan nasional,yang disesuaikan dengan visi/misi (Pola Dasar) pembangunan daerah dan potensi daerah, juga berbagai faktor lain yang mendukung, baik yang terkait dengan kondisi lingkungan pembangunan nasional maupun yang terkait dengan kondisi lingkungan pembangunan di daerah itu sendiri. Di masa Repelita, dikenal adanya PMA dan PMDN. Investasi PMA ada yang langsung (Direct Investment) ada yang tidak langsung (IndirectInvestment).


makalah ekonomi regional
materi ekonomi regional
ekonomi regional pdf
pengertian ekonomi regional dan contohnya
buku ekonomi regional
contoh penerapan ilmu ekonomi regional
jurnal ekonomi regional
masalah ekonomi regional

Posting Komentar untuk "Makalah Ekonomi Regional"